Memahami Prinsip Laissez Faire Berdasarkan Nilai-Nilai Islam

Santri Ma'had Aly Salafiyyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo
 Memahami Prinsip Laissez Faire Berdasarkan Nilai-Nilai Islam 05/02/2023 70 view Agama wikimedia.org

Jangan salah paham, meski Adam Smith masyhur dengan prinsip ekonomi kapitalisnya yang identik dengan materialistik, ia juga banyak mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlandaskan nilai moralitas. Karena, nama lain dari ekonomi itu sendiri adalah filsafat moral. Sehingga, begitu banyak pemikirannya itu berlandasakan prinsip moral dan tak heran salah satu bukunya berjudul The Theory Of Moral Sentiments yang memberikan dasar-dasar etika, filosofis, dan ekonomis.

Pemikiran filsuf yang berkebangsaan Skotlandia ini merupakan refleksi konteks sosio historis yang terjadi saat awal-awal zaman modern, sekitar abad ke-18. Pada saat itu yang terjadi adalah revolusi industri 1.0 (1760-1840), revolusi politik antara Ingris, Perancis, dan Amerika, serta merupakan refleksi dari era individulisme juga, yaitu pandangan bahwa setiap individu dibiarkan dan didorong untuk merdeka, bertanggung jawab, serta memprioritaskan kebebasan dirinya. Setiap individu dihargai sampai ke taraf individu, kesejahteraan masyarakat diukur dari kesejahteraan individu.

Revolusi industri 1.0 adalah era yang terjadi pada abad ke-18 (1760–1840) dan ditandai dengan adanya penemuan mesin uap pada tahun 1776 oleh James Watt di negara Inggris sehingga membawa perubahan besar di berbagai sektor. Pada saat itu mesin-mesin (alat-alat produksi), pabrik-pabrik, dan korporasi sudah mulai dikenal sekaligus berkembang secara perlahan. Dengan demikian, efektifitas dan produktifitas meningkat secara tajam sebab bantuan dari alat-alat produksi yang begitu canggih.

Pada akhirnya, revolusi industri melahirkan imperialisme modern sebagai dampak perubahan di bidang politik. Sementara individualisme asalnya merupakan buah dari antroposentrisme, di mana ideologi yang populer dan berkembang sebelumnya adalah biosentrisme dan teosentrisme.

Prinsip moralitas yang begitu digaungkan Adam Smith ini begitu tampak kentara tatkala ia menolak merkantilisme untuk kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan suatu negara. Jadi, kronologi gagasan-gagasan dia yang akhirnya memunculkan paham kapitalis adalah kritik terhadap merkantilisme. Hal ini penting untuk disampaikan karena stereotipe yang beredar tentang Adam Smith dilakukan serampangan dan dilebih-lebihkan, padahal ia mempunyai visi mulia.

Merkantilisme itulah yang telah menyebabkan peperangan di antara berbagai negara Eropa dan eksploitasi terhadap negara kecil. Yaitu suatu teori yang meyakini bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh jumlah modal atau aset yang tersimpan dalam negara tersebut, serta ditentukan juga oleh perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Artinya, kekayaan yang dimiliki oleh suatu negara ataupun alam memiliki batasan. Dengan demikian, kekayaan merupakan nama samaran dari tindakan monopoli individu ataupun kelompok. Teori ini juga mencakup terhadap kebijakan ekonomi nasional dengan tujuan akumulasi cadangan devisa lewat neraca perdagangan yang positif.

Kritik Adam Smith pada merkantilisme pada akhirnya menjadi gagasan yang dikenal oleh publik sebagai prinsip Laissez Faire (biarkan saja terjadi). Dikarenakan negara dengan merkantilisme sangat mengatur jalannya ekonomi masyarakat serta mengungkungnya, maka Adam Smith berkomentar bahwa negara tidak patut melakukan intervensi pada pasar, biarkan saja terjadi. Berikut di antara berbagai kritiknya pada negara yang berpaham merkantilis sebagaimana yang dinyatakan oleh Hamdy berdasarkan Price-Specie Flow Mechanism dari David Hume:

Adam Smith berpendapat bahwa kemakmuran suatu negara tidaklah ditentukan oleh banyaknya LM (logam mulia) yang dimilikinya, namun ditentukan oleh besarnya GDP (Gross Domestic Product) dan sumbangan perdagangan luar negeri terhadap pembentukan GDP negara tersebut. GDP adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan GDP dan perdagangan luar negeri, pemerintah harus tidak melakukan intervensi terhadap pasar, sehingga tercipta perdagangan bebas (Free Trade). Perdagangan bebas merupakan langkah awal untuk lahirnya persaingan positif yang sifatnya natural. Sementara intervensi negara diduga memiliki visi negatif, yaitu monopoli ekonomi yang ujung-ujungnya merupakan suap-menyuap dan diskriminasi pada pedagang yang lain.

Pengertian Laissez Faire dan Sejarahnya

Ungkapan atau istilah Laissez Faire berasal dari bahasa Perancis yang berarti “biarkan terjadi”. Pertama kali yang memakai istilah ini adalah para psiokrat pada abad ke-18 dengan maksud menunjukkan sikap kontra terhadap adanya intervensi pemerintah pada pasar ataupun perdagangan. Karena itu, Laissez Faire merupakan doktrin untuk mengimplementasikan sistem ekonomi pasar bebas selama abad ke-19 awal dan pertengahan.

Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, prinsip Laissez Faire cuma memiliki pengikut sedikit saat abad ke-19 di Inggris, namun pengikut yang sedikit itu cukup kuat. Semisal, Liberalis Manchester seperti Richard Cobden dan Richard Wright. Pada tahun 1867, terjadi kesepakatan perdagangan bebas yang ditandatangani oleh Britania dan Prancis, setelah beberapa dari perjanjian ini ditandatangani bersama negara-negara Eropa lainnya.

Koran The Economist didirikan sebelumnya pada tahun 1843, dan perdagangan bebas didiskusikan dalam sebuah tempat berjulukan The Cobden Club, didirikan setahun setelah kematian Richard Cobden, tahun 1866.

Ada bebera poin yang menjadi dasar dari Laissez Faire, seperti individu merupakan tolak ukur sosial masyarakat (penilaian paling dasar terletak pada individu), individu berhak menikmati kebebasannya, terakhir alam merupakan mesin harmonis mekanistik dalam mengatur dirinya (semuanya saling berkaitan).

Laissez Faire kerap kali dipahami juga dengan Invisible Hand, yaitu suatu pandangan bahwa pasar akan terbentuk secara seimbang dan natural dengan adanya penawaran (supply) dan permintaan (demand). Invisible Hand akan melahirkan kompetisi atau persaingan yang konotasinya positif.

Laissez Faire Berdasarkan Nilai-nilai Islam

Sebelum prinsip Laissez Faire ataupun Invisible Hand lahir dan menjadi trending di antara abad 18-19, Islam sudah terlebih dahulu membincangkan konsep ekonomi yang sehat terhadap ummatnya. Islam juga menekankan betapa pentingnya ekonomi sebagai dasar kesejahteraan individu, kelompok, bahkan suatu negara. Meskipun hal ini bukanlah jalan satu-satunya yang bisa ditempuh, namun tetap merupakan unsur yang urgen.

Secara umum, omset atau pendapatan negara Islam di zaman dahulu diperoleh dari muslim, non muslim, dan umum. Pendapatan yang diambil dari muslim semisal zakat, sedekah, wakaf, khumus (pajak), dan lain sebagainya. Pendapatan yang diambil dari non muslim semisal jizyah (pajak perkapita dari non muslim), kharaj (cukai hasil tanah yang dikenakan pada non muslim), dan ushr (sepersepuluh). Sementara pendapatan yang diambil dari umum semisal ghanimah, fai’, uang tebusan, dan lain-lain.

Rasulullah telah memberikan petunjuk untuk bersikap secara adil untuk tercapainya kestabilan ekonomi ini, berikut hadis dari Anas bin Malik berkenaan dengan Laissez Faire:

غلا السِّعرُ فسعِّر لَنا ، قالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ : إنَّ اللَّهَ هوَ المسعِّرُ القابضُ الباسطُ الرَّازقُ ، وإنِّي لأرجو أن ألقَى اللَّهَ وليسَ أحدٌ منكُم يطالبُني بمَظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ

“Harga melambung pada zaman Rasulullah Saw. Orang-orang itu mengajukan saran kepada Rasulullah seraya berkata: “Ya Rasulullah, hendaklah engkau menurunkan harga”. Rasul menjawab: Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sesungguhnya aku sangat mengharapkan kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorangpun dari kamu menuntutku tentang kedzaliman darah maupun harta.”

Bisa diperhatikan hadis di atas menunjukkan bahwa sekalipun rasul memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat, beliau tetap enggan untuk menaikkan harga. Padahal, seandainya dia mau menurunkan harga, masyarakat tetap akan mentaatinya. Tentu, sikap beliau ini dilakukan demi keadilan dan keseimbangan pasar yang natural berdasarkan supply dan demand.

Ini artinya, dalam Islam prinsip ekonomi Laissez Faire bukanlah suatu masalah. Islam justru menyempurnakan prinsip ini dengan zakat, sedekah, infaq, dan sebagainya untuk menghindari kekayaan yang menumpuk pada individu tertentu yang ujung-ujungnya identik dengan kapitalisme. Pada prinsipnya, monopoli pasar bukanlah prinsip yang baik untuk diterapkan, baik yang melakukan monopoli adalah negara ataupun seorang pedagang tertentu. Tugas pemerintah adalah untuk menjaga keamanan, tegaknya keadilan, dan memfasilitasi sarana-prasarana yang menguntungkan demi kesejahteraan rakyatnya. Wallhua’lam.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya