26 Tahun Reformasi, Pemberantasan Korupsi, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Demonstran dan Pejuang HAM
26 Tahun Reformasi, Pemberantasan Korupsi, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia  22/05/2024 1964 view Lainnya bengkulutoday.com

Reformasi politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan tonggak sejarah penting yang mengubah arah demokrasi dan pemerintahan di tanah air. Dalam 26 tahun perjalanan reformasi, upaya pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu fokus utama dalam memperkuat fondasi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.

Saat ini, ketika Indonesia memasuki masa depan demokrasi yang semakin menantang, penting untuk mengevaluasi peran pemberantasan korupsi dalam konteks reformasi dan merumuskan langkah-langkah strategis untuk memastikan masa depan demokrasi di Indonesia yang lebih kuat dan berintegritas.

Reformasi 21 Mei 1998 menandai titik balik penting dalam sejarah Indonesia. Jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa memberikan harapan baru bagi rakyat Indonesia untuk membangun negara yang lebih demokratis dan transparan. Reformasi ini ditandai dengan serangkaian perubahan konstitusi yang bertujuan untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi, meningkatkan peran parlemen, dan menjamin kebebasan pers serta Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun, euforia reformasi tidak lama bertahan. Tantangan dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis segera muncul ke permukaan. Salah satu tantangan terbesar adalah pemberantasan korupsi yang telah mengakar kuat dalam sistem pemerintahan dan birokrasi Indonesia.

Pemberantasan Korupsi: Perjuangan Tanpa Akhir

Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak era Orde Baru, praktik korupsi telah menjadi bagian dari budaya birokrasi dan pemerintahan. Pada masa awal reformasi, ada upaya kuat untuk memberantas korupsi melalui pembentukan lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan pada tahun 2002. KPK berhasil membongkar banyak kasus korupsi besar dan menjerat pejabat tinggi negara, termasuk menteri dan anggota parlemen.

Misal, kasus korupsi KTP – el yang menjerat mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Kasus yang mencuat pada tahun 2017 ini cukup menghebohkan karena diliputi drama. Kala itu, di media sosial muncul tagar #IndonesiaMencariPapah. Ini karena usai ditetapkan sebagai tersangka, justru Setya Novanto, mantan anggota DPR RI daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II menghilang, bermain "petak umpet" dengan KPK yang akan menjemputnya. Tiba-tiba, Setnov, begitu panggilan Ketua DPR RI 2014-2019, muncul dengan drama kecelakaan mobil, konon, menabrak tiang listrik. Sang pengacara kala itu menyebut bahwa kliennya mengalami luka sebesar bakpau di kepala (Sumber: aclc.kpk.go.id).

Setnov divonis bersalah pada 24 April 2018 atas kasus korupsi terkait proyek pengadaan KTP-el tahun anggaran 2011-2013. Hakim menyatakan Setnov telah mengatur pembahasan anggaran proyek di Kementerian Dalam Negeri tersebut. Ia dihukum 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair tiga bulan kurungan. Selain itu, ia wajib membayar uang pengganti US$7,3 juta dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan pada penyidik. Jika dihitung dengan kurs 2010, uang penggantinya sekitar Rp 66 miliar. Tidak hanya itu, hakim juga mencabut hak politiknya selama lima tahun setelah masa pidana.

Beberapa tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, pejabat dari Kementerian Sosial (Kemensos), dan pihak swasta atas dugaan korupsi dalam pengadaan bantuan sosial penanganan Corona Virus Disease 19 (Covid-19) berupa paket sembilan bahan pokok (sembako) di Kementerian Sosial. Juliari diduga menerima dana sebesar Rp 32,2 miliar dari 109 perusahaan yang ditunjuk sebagai penyedia dalam proyek tersebut. Kasus korupsi ini mendapat kecaman luas, terutama karena tindakan tersebut terjadi di tengah-tengah kemerosotan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akibat pandemi Covid-19. Selain itu, anggaran bantuan sosial (bansos) merupakan salah satu kebijakan perlindungan sosial yang terbatas, sehingga tidak mampu mencakup semua warga yang membutuhkan (Sumber: ICW).

Kasus korupsi tersebut di atas mau menegaskan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Intervensi politik, kelemahan dalam sistem hukum, dan resistensi dari kelompok-kelompok yang diuntungkan oleh korupsi menjadi hambatan besar. Kasus-kasus korupsi seringkali melibatkan jaringan yang luas dan kuat, sehingga sulit untuk diungkap secara tuntas. Selain itu, revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 yang dianggap melemahkan kewenangan KPK menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi masih jauh dari selesai.

Di tengah dinamika politik yang kerap memengaruhi proses hukum, tantangan untuk mempertahankan independensi KPK dan lembaga penegak hukum lainnya menjadi semakin besar. Kasus-kasus di mana elit politik atau pejabat pemerintah terlibat dalam skandal korupsi sering kali diwarnai dengan upaya-upaya untuk menghalangi proses hukum, baik melalui intervensi politik maupun manipulasi hukum.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada pencapaian yang dapat dicatat dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK, meskipun menghadapi berbagai tantangan, telah berhasil menindak dan memenjarakan banyak pelaku korupsi (koruptor), termasuk pejabat tinggi negara dan anggota parlemen. Langkah-langkah preventif seperti penguatan sistem pengawasan dan audit internal di berbagai lembaga pemerintah juga telah dilakukan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi.

Selain itu, peran masyarakat sipil juga semakin penting dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Berbagai organisasi non-pemerintah, aktivis pemuda dan mahasiswa serta lembaga swadaya masyarakat telah aktif dalam mengawasi kinerja pemerintah dan melaporkan dugaan korupsi kepada instansi yang berwenang.

Masa Depan Demokrasi: Harapan dan Tantangan

Seiring dengan upaya pemberantasan korupsi, masa depan demokrasi di Indonesia juga menjadi fokus perhatian. Demokrasi Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk polarisasi politik, populisme, dan tekanan terhadap kebebasan sipil serta kebebasan pers. Fenomena politik identitas yang menguat dalam beberapa tahun terakhir juga mengancam kohesi sosial dan stabilitas politik.

Indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, menyulut kekhawatiran akan masa depan kebebasan pers di Indonesia. Terutama, skor kebebasan pers pada tahun 2023 juga turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Menurut data dari Freedom House, indeks demokrasi Indonesia menurun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023. Sementara itu, data dari Reporters Without Borders (RSF) juga menunjukkan penurunan skor kebebasan pers Indonesia, dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas, menyatakan bahwa indeks demokrasi berkaitan langsung dengan kebebasan pers. Pelemahan atau penurunan demokrasi di Indonesia memicu kecemasan terhadap masa depan kebebasan pers. Peristiwa tahun 2023 meningkatkan kecemasan publik. Pelemahan demokrasi diikuti dengan melemahnya sejumlah institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, pemilu kali ini juga dicatat dengan intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dari aktivis HAM dan masyarakat yang ingin mengawasi jalannya kontestasi. Padahal, demokrasi yang berkualitas harus didukung oleh pemilu yang bebas, adil, dan berintegritas (Sumber: Kompas.id).

Namun, ada alasan untuk tetap optimis. Partisipasi politik masyarakat semakin meningkat, terutama dengan adanya teknologi digital yang memungkinkan informasi dan mobilisasi massa lebih mudah dilakukan. Generasi muda Indonesia menunjukkan minat yang besar dalam isu-isu politik dan sosial, yang bisa menjadi kekuatan pendorong bagi perubahan positif di masa depan.

Perlu ada komitmen yang kuat dari semua elemen masyarakat untuk menjaga dan memperkuat demokrasi. Pendidikan politik yang menyeluruh, transparansi dalam pemerintahan, dan penegakan hukum yang tegas merupakan kunci untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan (sustainable). Selain itu, perlu adanya mekanisme yang efektif untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Menuju Demokrasi yang Lebih Matang

Setelah 26 tahun reformasi, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pemberantasan korupsi dan penguatan demokrasi harus terus menjadi prioritas. Reformasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan (sustainable) untuk mencapai pemerintahan yang lebih baik dan masyarakat yang lebih adil.

Masa depan demokrasi di Indonesia tergantung pada kemampuan kita untuk belajar dari masa lalu dan beradaptasi dengan tantangan baru. Pendidikan yang berkualitas, penegakan hukum yang adil, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat adalah kunci untuk membangun demokrasi yang kuat dan berkelanjutan.

Mari, kita terus berjuang untuk Indonesia yang lebih baik. Reformasi bukanlah hanya sebuah peristiwa sejarah, tetapi sebuah amanah untuk generasi penerus. Dengan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan cita-cita reformasi dan mengantarkan Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah, bebas dari korupsi, dan berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi yang sejati.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya