Oreo Supreme: Diputar, Dijilat, Dikibulin
Kalau ada kekonyolan yang paling tidak masuk akal, mungkin geger Oreo Supreme berbanderol fantastis ini menjadi juaranya. Ibarat sebuah pertunjukan stand-up comedy, absurditas harga biskuit ini adalah punchline di masa pandemi.
Sebagaimana berita yang sedang geger di jagat maya saat ini, Oreo berkolaborasi dengan sebuah perusahaan retail fashion streetwear asal Amerika, Supreme, untuk membuat biskuit. Harga yang beredar di pasaran sangat fantastis, kisaran Rp 300-600 ribu per bungkus. Setara dengan tunjangan kartu pra kerja sebulan.
Tidak perlu kaget dulu karena di situs jual beli online luar negeri harganya bisa jauh lebih absurd, sampai ratusan juta rupiah per bungkus. Padahal, isinya hanya tiga keping.
Ya, hanya tiga keping biskuit yang “membuat” gigimu hitam ketika memakannya. Bedanya, karena produk ini berkolaborasi dengan Supreme yang identik dengan warna merah, mungkin gigimu jadi merah kalau makan biskuit ini. Lalu apa bedanya dengan mengunyah sirih? Justru sirih lebih murah dan menyehatkan.
Terlepas dari itu, apakah memang setimpal antara rasa dan harga biskuit sultan ini sehingga penting sekali kita mencicipinya? Kita yang sejak kecil telah didikte terkait cara makan Oreo sudah paham betul bagaimana rasanya biskuit itu. Ya gitu-gitu aja.
Saya kira rasa Oreo Supreme juga kurang lebih sama. Komposisi bahannya pun kemungkinan serupa. Saya yakin tidak akan mungkin ada caviar, apalagi ekstrak cula badak dalam kandungan biskuit itu sehingga harganya menjadi mahal.
Supreme sendiri sebenarnya tidak membanderol sebegitu mahalnya. Di akun Instagram resminya, harga eceran biskuit itu “hanya” USD 3 (sekitar Rp 45 ribu). Namun harga itu meroket di pasaran lebih dari 10 kali lipatnya. Para tengkulak berhasil mendompleng nama besar Supreme untuk “mengibuli” konsumen dengan harga yang tidak masuk akal.
Akan tetapi, dengan harga yang tidak masuk akal itu, ternyata ada juga yang membelinya. Membuat ketidak-masuk-akalan ini menemukan bentuk sempurnanya. Absurd di atas absurd. Coba saja cari di Youtube, sudah banyak youtuber atau influencer yang mengulas biskuit sultan ini.
Ya, entah kenapa untuk hal-hal yang absurd, influencer begitu sigap merespon. Padahal di tengah pandemi ini, banyak sekali orang kesusahan. Cemas diteror corona sekaligus stres dihimpit ekonomi. Jangankan untuk kebutuhan tersier, perkara makan sehari-hari saja begitu memberatkan.
Lalu para influencer ini begitu bangga menghabiskan 600 ribu demi tiga keping biskuit yang mungkin habis dimakan hanya dalam waktu lima menit. Dimana ciri khas putra-putri ibu pertiwi yang katanya penuh tenggang rasa?
Dengan 600 ribu, padahal mereka bisa membeli lebih dari 40 porsi nasi bungkus yang bisa dibagikan ke kaum papa. Dengan 600 ribu pula mereka bisa membeli APD untuk tenaga medis yang masih konsisten bertarung melawan corona. Atau mereka juga bisa menyumbangkannya kepada lembaga donasi umum.
Ya, mungkin mereka sudah menyumbang untuk penanggulangan corona, tapi meski demikian tidak bisa menjadi pembenaran bagi mereka untuk berfoya-foya dan menunjukannya di media sosial. Kalau untuk menyumbang lagi dirasa berat, minimal tunjukkan empati di tengah kondisi bangsa yang sedang menderita.
Apalagi sekarang kita masih di bulan puasa. Dengan mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, momen puasa semestinya bisa dimaksimalkan untuk mewujudkan potensi-potensi kebaikan. Ajakan untuk berbagi, zakat atau sedekah semestinya menjadi tema utama yang terpatri di kepala kita.
Ditambah lagi puasa adalah ibadah yang tidak hanya menuntut pengendalian diri dari makan dan minum, tapi juga hawa nafsu. Maka hal-hal yang sifatnya penurutan hawa nafsu semestinya dihindari karena bertentangan dengan semangat puasa.
Dengan jumlah pengikut (follower) yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang, para influencer semestinya bisa menjadi agen perubahan yang membantu negeri ini untuk berjuang melawan corona. Tetapi apa yang sering kita lihat di media sosial seringkali membuat kita bergumun sesal.
Prank bodoh, kerumunan perpisahan ayam goreng, hingga deklarasi tidak takut corona menjadi penghias media sosial selama pandemi. Kekonyolan demi kekonyolan itu membuat murwah atau harga diri kita sebagai bangsa menjadi rendah. Apa sebaiknya kita tawarkan saja kepada Supreme untuk menaikkannya?
Artikel Lainnya
-
59827/01/2024
-
157018/02/2020
-
98901/01/2021
-
Kartu Pra Kerja; Nasibmu Malang Seperti Para Guru Honorer
162619/04/2020 -
92823/05/2021
-
335211/06/2020
