Tahun Baru Dan Demokrasi

Tahun Baru Dan Demokrasi 01/01/2021 856 view Politik pixabay.com

Kita memasuki tahun 2021, dengan harapan ada perubahan. Berbeda dengan tahun 2020, tahun baru harus menjadi tahun paling nyata bagi warga negara Indonesia dengan terlibat aktif dalam gerakkan politik, konsolidasi kebijakan, kebebasan berpendapat, berdemonstrasi, kebebasan pers, dan sebagainya.

Semua jenis kebebasan tersebut kita sebut sebagai demokrasi. Dimana ada pengakuan hak dan kebebasan bagi setiap warga negara dalam iklim demokratis. Apa yang membuat semua itu perlu diperjuangkan ialah, karena, pada abad ini hak asasi manusia (HAM) merupakan manifestasi dari tujuan kita berbangsa dan bernegara.

Dari perspektif yang lain, tahun 2021 harus dimaknai sebagai tahun bagi gerakkan demokrasi menuju tatanan yang demokratis. Dalam arti bahwa, semua bentuk pengekangan, individu dan kelompok harus ditinggalkan.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, menemukan bahwa, hanya 17,7% responden yang menilai Indonesia sekarang menjadi lebih demokratis. Sebaliknya, 36% responden menilai bahwa Indonesia kini kurang demokratis dan 37% menganggap tetap sama saja keadaannya (Burhanuddin Muhtadi, 2020).

Ini merupakan sinyalemen bagi demokrasi Indonesia yang mesti diperhatikan secara serius oleh semua kalangan (civil society, partai politik, elit politik, media). Karena itu, tahun baru 2021 merupakan momentum tahun yang tepat bagi gerakkan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia agar tidak mengalami dekonsolidasi demokrasi.

Jika ini diabaikan, hemat saya, besar kemungkinan keakraban warga negara tidak tumbuh, melainkan justru semakin menguat primordialisme yang menyebabkan kita rentan disulut emosi. Pada tingkat seperti ini, meminjam kalimat Edward Aspinall (2014), ‘gerakkan dari bawah’ akan sangat sulit tercapai jika masyarakat terpecah dan tidak terorganisasi secara baik.

Dalam kondisi demikian, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa tahun baru 2021 mesti menjadi tahun refleksi kritis di tengah menguatnya kehadiran oligarki, disamping lemahnya kekuatan civil society.

Momentum tahun baru, harus digeser lebih luas, yakni melihat bahwa urusan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kebijakan, tidak serta merta mengekslusi kehadiran civil society. Namun, peranan aktif melalui konsolidasi, membawa angin segar baru bagi gerakkan civil society dalam lanskap demokrasi yang hari ini kian dikukuhkan dalam rengkuhan oligarki.

Arah Baru Demokrasi

Sejarah mencatat, bahwa, demokrasi Indonesia mengalami pasang-surut seturut dinamika sosial, ekonomi, dan politik di tengah masyarakat. Tahun 2020, harus diakui, tahun paling rumit, menyebalkan dan tentu saja tahun paling penting bagi ujian bagi kematangan demokrasi di Indonesia. Sebab, kita semua tahu, kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia justru dibuat di tahun tersebut.

Ada banyak kebijakan dan peristiwa politik yang bisa kita kritisi, salah satunya pengesahan rancangan Undang-Undang Omnibus Law, yang menuai penolakan yang sangat massif dari semua elemen masyarakat. Bahkan, di tengah krisis hantaman wabah covid-19, kita masih melihat ada beberapa menteri yang tertangkap karena melakukan korupsi. Hal ini menandakan, sebetulnya demokrasi mengalami ujian yang paling nyata di Indonesia yang tentu bisa menyebabkan ancaman resesi demokrasi.

Semua persoalan yang dihadapi di tahun 2020, hemat saya, harus dibaca dan dipersoalkan secara serius dalam rangka membangun ‘kesepakatan bersama’ tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Menurut saya, semua persoalan politik, ekonomi, dan kebijakan lain yang telah diputuskan di tengah berbagai penolakan dan kontroversi masyarakat luas, mesti dan harus direfleksi kembali sebagai sebuah pilihan politik. Ini penting, karena menurut saya, pada tingkat seperti ini, kita musti kembali ke khitah awal demokrasi, yakni pemenuhan akan hak, kebebasan dan tanggung jawab bagi warga negara.

Karena itu, khitah demokrasi mesti terus disuarakan sebagai bentuk dukungan di tengah meluasnya gejolak upaya pembusukan terhadap demokrasi. Bahkan tidak berhenti di situ, kita harus akui bahwa, di tengah upaya memperjuangkan dan merawat iklim demokrasi menuju tatanan yang demokratis, tantangan yang paling rill yakni menguatnya konsolidasi oligarki, yang melahirkan beragam bentuk kebijakan politik yang berwatak oligarkis.

Di samping itu, sebagaimana dijelaskan Jeffrey Winters (2014), bahwa, kelemahan civil society di Indonesia, cepat buyarnya kekuatan rakyat setelah Soeharto tumbang, dan direbutkannya kelembagaan politik Indonesia oleh kaum oligark (terutama melalui partai politik dan media) memungkinkan kuasa kekayaan menyebar luas bersama setiap babak baru persaingan elektoral. Apa yang dijelaskan oleh Winters menurut saya tepat di tengah civil society yang lemah dan tidak terorganisasi secara baik.

Implikasinya sangat nyata, yakni sebagaimana Winters (2014) juga menilai bahwa, civil society di Indonesia tidak efektif sebagai penyeimbang cengkraman kuat oligark terhadap berjalannya demokrasi. Ini tentu saja mau mengatakan bahwa, sebenarnya demokrasi di Indonesia sedang berada dalam ancaman oligarki. Tentu saja, jika hal ini diabaikan, besar kemungkinan pengekangan hak dan kebebasan civil society semakin meluas.

Untuk alasan tersebut, hemat saya, tahun 2021 harus menjadi momentum bagi gerakkan rakyat dalam mengkonsolidasikan diri memperjuangkan demokrasi. Pada aras ini, yang menurut saya penting dilakukan ialah, membentuk semacam aliansi masyarakat sipil yang didalamnya mendiskusikan persoalan ekonomi, politik dan kebijakan.

Melalui kelompok itu, hemat saya, gerakkan politik masyarakat kelas bawah akan semakin intens dalam menyuarakan tuntutan mereka. Karena itu, jalan satu-satunya ialah membangun ikatan solidaritas dan kesepakatan bersama dalam rangka memposisikan masyarakat sipil sebagai subjek dalam iklim demokrasi.

Di sinilah yang saya maksud dengan arah baru demokrasi. Yakni menempatkan masyarakat sipil sebagai kekuatan progresif paling depan yang ‘membendung’ munculnya kekuatan bibit-bibit oligarki di semua tingkatan (pusat dan daerah).

Hemat saya, hal ini harus dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap antisipasi regresi demokrasi dan tentu saja sebagai jaminan bagi kesejahteraan masyarakat sipil di tahun-tahun yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya