Obor Rakyat Untuk UU Tapera

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Obor Rakyat Untuk UU Tapera 07/06/2020 1060 view Opini Mingguan pixabay.com

Masyarakat segera merasakan dampak penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Kebijakan ini dilakukan secara bertahap dan ditargetkan mencapai 13 juta peserta pada tahun 2024 oleh Badan Pengelola Tapera. Hingga sekarang, peserta awal program Tapera mencapai 4,2 juta peserta dari eks-Bapertarum PNS. Akan tetapi, kebijakan ini mengundang pro dan kontra dari mulai penyaluran dana hingga transparansi dana yang rawan akan penyalahgunaan.

Pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menyatakan besaran simpanan peserta ditetapkan 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta mandiri. Peserta yang berstatus sebagai pekerja, simpanan akan ditanggung bersama-sama oleh pemberi kerja, yaitu pekerja sebesar 2,5% dan pemberi kerja 0,5%. Sementara pekerja mandiri harus membayar sendiri tangungannya.

Eko Arianto, Deputi Komisioner bidang Pengerahan Dana Badan Pengelola (BP) Tapera menjelaskan bahwa pelaksanaan Tapera merupakan pelengkap atas kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sudah tercantum dalam Undang-Undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Harapannya Tapera ini menjadi solusi atas kekurangan rumah yang ada di Indonesia.

Akan tetapi, di mata para pengusaha pengadaan Tapera semakin mempersulit keadaan mereka. Para pengusaha ramai menolak Tapera yang dirasa tumpang tindih dengan peraturan lainnya. Wakil Ketua Apindo Bidang Industri Jhonny Darmawan mengungkapkan keresahannya tentang UU Tapera. Menurutnya peran yang ada dalam Tapera hanya menduplikasi peran yang sudah dimainkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, Tapera terlalu dipaksakan pada dunia usaha dan pekerja, padahal dua golongan inilah yang nantinya diberi beban Tapera.

Pengadaan Tapera dinilai sebagai beban baru dalam dunia usaha. Rakyat harus menyisihkan uangnya untuk BPJS Ketenagakerjaan dan Tapera. Padahal fungsi keduanya hampir sama dan hanya dimodifikasi sedikit saja. Dalam BPJS Sendiri sudah disediakan tunjangan untuk hari tua yang bisa saja dimanfaatkan sebagai modal untuk membeli rumah. Dengan melihat kenyataan ini, rakyat nantinya harus membayar dua kali untuk kebijakan dengan fungsi sama.

Selain itu, dana Tapera yang sudah terkumpul sejatinya dana amanat dari peserta tabungan yang notabene berasal dari pekerja dan pengusaha. Dengan begitu, kepemilikan dana ini seharusnya berada di tangan penuh pekerja dan pemberi kerja. Akan tetapi, dalam proses pengolahannya, keduanya tidak dilibatkan dalam pengelolaannya. Hal ini bisa dilihat dari Badan Pengelola (BP) Tapera sendiri yang di dalamnya tidak terdapat pekerja ataupun pemberi kerja. Jelas ini tidak ada unsur keterwakilan dan tidak bisa disebut sebagai dana amanat.

Dalam peraturannya, kebijakan Tapera bertumpu pada tiga instrumen, yaitu penarikan dana, pengumpulan dana, dan pemanfaatan dana. Pengerahan dana melibatkan para pekerja dan orang yang memberikan kerja. Pengumpulan dana dan pemanfaatan dana diambil dari pihak ketiga, yakni manajer investasi dan perbankan. Kelompok penarikan dana tidak dilibatkan sama sekali pada proses pengumpulan dan pemanfaatan dana.

Dengan keadaan seperti ini akan terjadi kesulitan dalam pengawasan dana. Akses masuk dari pekerja ataupun pemberi kerja menjadi terbatas. Padahal dalam pelaksanaannya, mereka lah yang memberikan pemasukan kepada program Tapera. Mereka juga tidak akan bisa merubah ataupun mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Badan Pengelola (BP), sehingga fungsi pengawasan di bidang pengambilan keputusan tidak bisa dijalankan.

Pada sisi lain semakin terlihat kejanggalan dari program ini. Dana Tapera yang sejatinya sebagai bantuan kepada masyarakat untuk memiliki dana murah pengadaan rumah dalam jangka panjang, akan tetapi kehadiran pemerintah hanya sebagai pengatur, bukan sebagai penyumbang. Meskipun ada beberapa sumbangan di awal dari pemerintah, itu hanya untuk membiayai operasional BP Tapera bukan sebagai tambahan dana cicilan rumah.Padahal dalam berbagai program, seharusnya pemerintah ikut andil di dalamnya, baik secara operasional maupun dana yang ada. Kalau seperti ini, kesannya pemerintah lepas tangan dan hanya memberikan beban baru pada masyarakat yang dibebankan Tapera. Pemerintah hanya menggodok program tanpa harus repot-repot menjalankannya dengan penuh persiapan. Jika seperti ini, akibatnya bisa ditebak, akan ada banyak gelombang protes dari elemen masyarakat yang dirasa dirugikan.

Dalam pembuatan kebijakan seperti ini, seharusnya pemerintah sudah bisa belajar dari BPJS yang memancing kemarahan masyarakat. Kenaikan iuran BPJS acap kali diwarnai protes keras masyarakat. Keputusan yang diambil BPJS disebut sebagai kerugian masyarakat. Kenaikan yang begitu tajam, membuat masyarakat rugi dan tidak kuat menyicil lagi. Pemerintah dianggap gagal dalam memberikan bantuan karena tingginya angka beban yang ditanggung masyarakat.

Pemerintah menjadi faktor kuat terjadinya program yang relevan untuk semua orang. Oleh karenanya, peran pemerintah harus bersifat menyeluruh, tidak hanya sebagai pengontrol saja. Pemerintah harus menjangkau sistem penyumbang dalam program Tapera, sehingga rakyat yang notabene sebagai pemasok yakin akan keberadaan pemerintah dalam setiap program yang dijalankan. Begitu pula, Pemerintah harus melibatkan peran pemasok dana agar mereka yakin akan transparansi dana dan pengambilan kebijakan yang terjadi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya