Kebahagiaan dalam Pemikiran Etis Miskawaih
Etika sering kali disamakan dengan moral (atau moralitas), meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam pengertian. Moral lebih merujuk pada "Nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia," sedangkan etika lebih ditekankan sebagai "Ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk." Dengan kata lain, etika adalah teori tentang baik dan buruk, sementara moral adalah penerapannya. Dalam tradisi Barat, pandangan tentang etika umumnya terbagi menjadi tiga kelompok utama: etika hedonistik, utilitarian, dan deontologis.
Jika dikaitkan dengan etika Islam, terlihat bahwa ada berbagai kesamaan dan perbedaan antara etika Barat dan etika Islam. Etika Islam mendukung teori etika yang bersifat fitrah. Di sinilah titik temu antara etika Islam dengan etika Yunani seperti Socrates dan Plato, serta dengan etika Barat modern seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant. Namun, meskipun etika Islam juga menekankan rasionalitas, dasar etikanya berasal dari wahyu sebagai sumber tindakan etis. Ini juga terlihat dalam karya Ibnu Miskawaih, yang mengajukan argumen-argumen dalam sistem etikanya tanpa mengutamakan wahyu untuk menyelesaikan berbagai kesulitan teoretis. Oliver Leaman menekankan bahwa pendekatan ini menunjukkan kombinasi keanggunan gaya, relevansi praktis, dan ketegaran filosofis dalam karya Ibnu Miskawaih, yang terus berpengaruh dalam dunia Islam.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih al-Khazin ar-Razi al-Isfahani, lebih dikenal sebagai Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M). Ia berasal dari kota Ray, Iran, sehingga dikenal juga dengan julukan ar-Razi atau Abu Khazin. Disebutkan bahwa ayahnya kemungkinan beragama Majusi sebelum memeluk Islam.
Ibn Miskawaih menimba ilmu dari sejumlah ulama, termasuk Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (w. 350 H/960 M) dalam bidang sejarah, terutama terkait Tarikh al-Thabari; Ibn al-Khammar, seorang penafsir terkenal karya-karya Aristoteles, dalam bidang filsafat; dan Abu Thayyib al-Razi, seorang ahli kimia. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengabdi pada pemerintahan Dinasti Bani Buwaihi, sebuah dinasti beraliran Syi’ah. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam hidupnya adalah Abu Fadhl ibn al-‘Amid (w. 360 H/970 M). Ibn Miskawaih bekerja selama tujuh tahun sebagai pustakawan dan penjaga perpustakaan besar milik Ibn al-‘Amid,
Di akhir masa hidupnya, Ibn Miskawaih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan menulis. M. M. Syarif mencatat bahwa Ibn Miskawaih telah menulis 18 karya. Dari karya-karya tersebut, hanya tujuh yang masih dapat ditemukan, yaitu: (1) Al-Fauz al-Asghar (tentang kalam dan studi agama-agama); (2) Tajarib al-Umam (sejarah banjir besar, ditulis pada tahun 369 H/979 M); (3) Tahdzib al-Akhlaq (mengenai etika); (4) Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi Jauhar al-Nafs; (5) Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql; (6) Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats; dan (7) Thaharat al-Nafs. Dalam konteks etika, karya Tahdzib al-Akhlaq sangat menonjol. Dalam kitab ini, Ibn Miskawaih merumuskan konsep untuk membangun etika yang dapat membawa kebahagiaan bagi individu dan masyarakat, terutama dalam masyarakat yang moralnya sangat rusak pada masa itu.
Menurut Ibn Miskawaih, kebahagiaan adalah puncak dan kesempurnaan dari kebaikan. Dalam pandangan ini, kebahagiaan yang benar-benar sempurna hanya dinikmati oleh individu yang istimewa dan sempurna juga. Tingkat ini merupakan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dicapai melalui kesempurnaan intelektual. Dalam konteks ini, pengaruh Aristoteles pada pemikiran Ibn Miskawaih terlihat jelas, karena Aristoteles menyatakan bahwa hal yang paling membahagiakan bagi manusia adalah filsafat atau kontemplasi tentang hal-hal yang abadi dan Ilahi. Konsepsi kebahagiaan dalam pandangan Ibn Miskawaih dijelaskan sebagai sesuatu yang paling nikmat, utama, baik, dan sejati. Kenikmatan dalam kebahagiaan terbagi menjadi dua bagian: kenikmatan pasif dan aktif.
Berdasarkan analisisnya, Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya "Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam" mencoba mengkategorikan kebahagiaan dalam pemikiran Ibn Miskawaih menjadi lima jenis atau tingkatan yang dapat dirasakan oleh manusia. Kebahagiaan tertinggi dapat dicapai dengan melepaskan diri dari ambisi dunia dan menerima emanasi dari yang Maha Tinggi yang akan menyempurnakan intelektual dan memungkinkan untuk disinari oleh cahaya Ilahi.
Tahap pertama adalah kebahagiaan fisik atau sensual, yang bisa juga dikenal dengan kesenaangan (pleasure). Kebahagiaan jenis ini sering dipandang banyak orang sebagai satu-satunya kebahagiaan. Misalnya orang beranggapan bahwa kalau kaya pasti bahagia. Di sini bukan berarti kebahagiaan seperti ini tidak penting. Kebahagiaan seperti ini juga perlu untuk menopang jenjang-jenjang kebahagiaan yang lainnya.
Tahap kedua adalah kebahagiaan mental, yang lebih berhubungan dengan keadaan batiniah daripada fisik. Bentuk kebahagiaan ini lebih abstrak dari kesenangan fisik semata. Kesenangan mental seperti ini termanifestasi dalam kebahagiaan imajiner, di mana filsuf Muslim menganggap imajinasi sebagai salah satu aspek batiniah.
Tingkat ketiga dari kebahagiaan adalah kebahagiaan intelektual, yang diperoleh melalui pengetahuan. Al-Qur'an menyoroti perbedaan antara orang berilmu dan tidak berilmu, menyamakan perbedaannya dengan orang yang melek dan orang buta. Orang yang memiliki pengetahuan diibaratkan seperti orang yang melek, yang dengan ilmunya dapat menemukan jalan keluar dari kegelapan dan kesesatan menuju pencerahan dan keamanan.
Tingkat keempat adalah kebahagiaan moral. Salah satu bentuk kebahagiaan moral adalah kepuasan yang dirasakan ketika kita mampu mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur'an menekankan tindakan daripada hanya memiliki ide. Dalam konteks moralitas, seseorang yang baik adalah orang yang bertindak baik, bukan hanya mengetahui apa yang baik.
Tingkat kelima adalah kebahagiaan spiritual. Bagi Ibn Miskawaih, kebahagiaan moral mungkin merupakan tingkat kebahagiaan yang tinggi, tetapi ada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan spiritual. Melalui ibadah, seseorang dapat mencapai kebahagiaan spiritual.
Pandangan etika yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih dalam karyanya yang monumental, Tahdzib al-Akhlaq, secara umum memusatkan perhatian pada etika keutamaan, yaitu menekankan pada pertanyaan tentang jenis manusia seperti apa yang seharusnya kita menjadi. Etika keutamaan tidak terlalu memperhatikan setiap tindakan secara terpisah, apakah itu sesuai atau tidak dengan norma moral, tetapi lebih menitikberatkan pada karakter manusia itu sendiri. Tujuannya adalah untuk membimbing individu menjadi pribadi yang memiliki moralitas yang baik.
Dalam Tahdzib al Akhlaq, Ibn Miskawaih mencampurkan pemikiran filosofis dengan penggunaan ayat al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw., dengan pendekatannya yang sistematis, ia bertujuan menanamkan kualitas moral dalam tindakan-tindakan utama kita secara alami. Etika keutamaan telah menjadi sangat penting dalam tradisi kajian etika dan merupakan salah satu teori etika tertua. Etika ini telah diajarkan oleh para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, dan telah berkembang selama berabad-abad.
Etika dalam pemikiran Kant menekankan kewajiban, yang dikenal sebagai "etika kewajiban". Etika ini didasarkan pada kehendak untuk melakukan kebaikan, yang selalu dianggap baik tanpa batasan. Kant percaya bahwa manusia tidak hanya makhluk spiritual, tetapi juga makhluk alami yang rentan terhadap dorongan emosional, kebutuhan fisik, dan keinginan batin. Oleh karena itu, manusia dapat melakukan tindakan kejahatan. Moralitas bagi Kant adalah upaya manusia untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan hati nuraninya untuk melakukan kebaikan, meskipun dihadapkan pada berbagai tarikan dan dorongan yang bersifat alami. Dalam praktiknya, etika kewajiban lebih didasarkan pada pertimbangan rasional dan keyakinan bahwa tindakan yang dilakukan adalah kebaikan. Dalam kehidupan nyata, kita sering berhadapan dengan kedua teori etika tersebut.
Di satu sisi, kita ingin menjadi individu yang bermoral, memiliki karakter yang mulia, dan mencapai kebahagiaan. Namun, memenuhi kewajiban bukanlah hal yang mudah, seperti yang sering kita lihat ketika orang mengabaikan aturan untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Artikel Lainnya
-
123602/08/2020
-
168901/01/2021
-
170808/12/2020
-
Dapatkah Uni Eropa Menjadi Contoh bagi ASEAN?
5205/07/2024 -
Mahasiswa, Demokrasi, dan Demonstrasi
223421/10/2020 -
131603/04/2021