Ketika Penegakan HAM Menjadi Retorika Politik Semu: Demi Citra Positif di Mata Internasional Semata

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM di Lembaga Pusat Riset dan Kajian HAM
Ketika Penegakan HAM Menjadi Retorika Politik Semu: Demi Citra Positif di Mata Internasional Semata 20/10/2024 1308 view Hukum Istockphoto

Dalam beberapa dekade terakhir, isu hak asasi manusia (HAM) sering kali menjadi topik utama dalam berbagai forum internasional. Pemimpin negara dan pemerintah selalu berbicara lantang tentang komitmen mereka terhadap penegakan HAM, seolah-olah hal tersebut menjadi prioritas utama dalam agenda nasional mereka. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, apakah benar semua retorika ini dilakukan dengan tulus demi melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat? Atau hanya sekadar alat untuk membangun citra positif di mata internasional?

Saya melihat bahwa isu HAM sering kali dijadikan senjata politik untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari dunia internasional. Di permukaan, komitmen terhadap HAM ditunjukkan melalui berbagai kebijakan dan pernyataan publik. Namun, ketika melihat lebih dalam, banyak kasus pelanggaran HAM yang justru dibiarkan berlangsung tanpa penyelesaian yang adil. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dalam menegakkan HAM secara nyata.

Sebagai contoh, laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan bahwa banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih belum terselesaikan. Salah satunya adalah kasus pembunuhan Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM yang tewas diracun pada tahun 2004. Hingga kini, aktor intelektual di balik pembunuhannya belum terungkap, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan pihak-pihak tertentu. Kasus ini hanya satu dari banyak kasus lainnya yang menggambarkan bagaimana penegakan HAM sering kali hanya menjadi retorika politik.

Pemerintah kerap kali menggunakan retorika HAM untuk menutupi ketidakmampuan atau ketidakmauan mereka dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di dalam negeri. Ketika ada tekanan internasional, barulah mereka bergerak untuk menunjukkan seolah-olah mereka peduli. Namun, begitu perhatian dunia beralih, kasus-kasus tersebut kembali diabaikan. Sikap ini mencerminkan adanya agenda tersembunyi di balik retorika HAM yang dilontarkan.

Prof. R. S. Sharma, seorang ahli dalam bidang politik dan HAM, pernah mengatakan, "Retorika tanpa aksi adalah tanda nyata dari ketidaktulusan." Kutipan ini menggambarkan bagaimana retorika HAM yang sering dilontarkan oleh pemerintah kita belum tentu mencerminkan komitmen sejati mereka terhadap penegakan HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terus terjadi dan tidak pernah mendapatkan keadilan yang layak.

Tidak hanya kasus Munir, kita juga bisa melihat contoh lainnya dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini belum terselesaikan. Tragedi 1965-1966, tragedi penculikan aktivis, dan masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan ribuan orang menjadi korban kekerasan politik, hingga kini masih menyisakan banyak luka dan ketidakadilan bagi para korban dan keluarganya. Meski pemerintah telah berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, namun kenyataannya, upaya tersebut terhenti pada tahap retorika tanpa tindakan nyata. Hingga detik ini, belum ada perkembangan signifikan dalam penyelesaian kasus ini, yang menunjukkan betapa lambannya proses penegakan keadilan di negeri ini.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah adanya kepentingan politik yang lebih dominan dibandingkan dengan komitmen tulus terhadap penegakan HAM. Banyak pemimpin negara lebih memilih untuk menggunakan isu HAM sebagai alat untuk mendapatkan dukungan internasional, daripada benar-benar memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Ini menciptakan paradoks di mana retorika HAM digunakan untuk meningkatkan citra positif, namun di sisi lain, pelanggaran HAM tetap berlangsung tanpa penyelesaian yang adil.

Sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis dalam menilai komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM. Tidak cukup hanya dengan mendengar janji-janji manis dan pernyataan publik, kita harus melihat apakah ada tindakan nyata yang diambil untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam penegakan HAM, bukan sekadar alat retorika untuk membangun citra positif.

Menurut Human Rights Watch, ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil untuk menunjukkan komitmen sejati terhadap penegakan HAM, antara lain: memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum, memberikan perlindungan kepada korban dan saksi, serta memastikan adanya proses hukum yang adil dan transparan. Tanpa langkah-langkah ini, penegakan HAM hanya akan menjadi retorika semu yang tidak memberikan perubahan nyata bagi masyarakat.

Isu HAM seharusnya menjadi fondasi dalam pembangunan bangsa, bukan sekadar alat politik untuk meraih pujian internasional. Sebagai negara yang berdaulat, kita memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak setiap warga negara, bukan hanya demi citra di mata dunia, tetapi demi keadilan dan kesejahteraan bersama.

Dalam refleksi ini, saya ingin menegaskan bahwa penegakan HAM tidak boleh hanya menjadi alat retorika politik semu. Kita membutuhkan tindakan nyata yang didasari oleh komitmen tulus untuk melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat. Dengan demikian, kita bisa membangun bangsa yang adil dan bermartabat, di mana setiap orang mendapatkan perlindungan yang layak atas hak-haknya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya