Model Pendidikan Menuju Indonesia Emas

Model Pendidikan Menuju Indonesia Emas 04/05/2024 513 view Pendidikan testing.smartcu.id

Berbicara soal sistem pendidikan di Indonesia, tentu masih banyak persoalan yang perlu dibenahi. Lalu, ada apa dengan sistem pendidikan di Indonesia? Nampaknya, berbagai macam terobosan yang dibuat oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia masih belum sampai pada titik yang tepat. Meski demikian, perlu juga untuk diapresiasi usaha yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait terutama dalam hal ini pemerintah.

Pendidikan yang pada dasarnya merupakan proses transfer of knowledge dan transfer of skills (Maran, 2000) masih menghadapi beberapa hambatan untuk mencapai apa yang diidealkan. Untuk merekonstruksi sistem pendidikan untuk mencapai yang ideal, maka perlu menggali akar permasalahan yang terus menghambat proses pendidikan sampai saat ini.

Ada beberapa komponen dalam proses pendidikan yakni pendidik, peserta didik, orang tua dan pemerintah. Tentang pendidikan, pemerintah telah menyediakan undang-undang khusus tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni dalam bab I pasal 1 yang berbunyi “Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pembelajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Jika undang-undang ini dimengerti secara baik maka tujuan pendidikan itu sebenarnya merupakan proses untuk menyiapkan para peserta didik untuk masa depan dengan segala tantangannya yang semakin baru terutama di tengah arus globalisasi. Untuk itu diharapkan setiap komponen pendidikan perlu menjalankan tugasnya dengan baik bukan secara terpisah-pisah melainkan tetap berdiri sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Telah banyak program yang dibuat oleh pemerintah untuk semakin memantapkan sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu yang telah diterapkan adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang telah menjadi sebuah gerakan nasional sejak tahun 2010 (Sriwilujeng, 2017). Mengapa harus karakter yang dididik? Karena karakter merupakan sebuah jawaban atas pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang. Orang yang berkarakter tahu akan mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak baik sebab melalui pendidikan karakter para peserta didik akan dilatih untuk memiliki pemahaman, perhatian terhadap nilai-nilai etika dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Jika kita melihat realitas yang ada, nampaknya program pendidikan karakter ini belum sepenuhnya tercapai.

Dalam mengimplementasikan pendidikan karakter tersebut masih banyak hambatan yang perlu diteliti dan diperbaiki terutama di tengah porak-porandakan oleh serangan budaya baru yakni globalisasi. Terdapat tiga hambatan yang dikaji dalam tulisan ini yakni mengenai mental, struktur dan kultur.

Pertama, mental dari para peserta didik dan juga pendidik itu sendiri. Mental yang dimaksud dalam kaitannya dengan peserta didik saat ini adalah mental instan, hanya menunggu dari guru, seperti suap nasi dan tinggal ditelan. Seharusnya kemajuan teknologi telah membantu untuk mengembangkan pengetahuan tidak hanya monoton dari pendidik saja. Mental ini berdampak ketika guru memberi kesempatan bertanya tentang materi yang baru saja dibahas, cenderung lebih mengatakan sudah mengerti dengan tujuan agar proses belajar dapat berlalu dengan cepat. Ini artinya peserta didik tidak serius dan tekun mengikuti pembelajaran kemudian gejalanya adalah menghasilkan peserta didik yang tidak kritis. Mental takut salah sebelum mencoba mengeluarkan pendapat, karena takut dimarahi, ditertawai dan lain sebagainya juga masih sering melanda proses belajar.

Hambatan yang kedua adalah struktur. Meski saat ini kita tahu bahwa saat ini kita berada dalam suatu tembusan yang sangat cemerlang dari kementrian pendidikan yakni konsep merdeka belajar, masih belum sepenuhnya dipahami dan diimplementasikan. Nyatanya, guru yang merupakan fasilitator menempatkan peserta didik sebagai objek bukan subjek dalam proses pembelajaran, sifatnya doktrinal yang kaku dan tidak memberi kesempatan bagi peserta didik untuk secara bebas mengekspresikan pendapatnya. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan para peserta didik tidak untuk mengeksplorasi hasil temuannya berdasarkan pengalaman yang dialami dalam kehidupan setiap hari. Akibatnya peluang untuk mentransfer pengetahuan dan kemampuan menjadi semakin kecil jika peserta didik hanya dipaksa untuk duduk dan mendengar. Struktur dan pola yang tidak sehat inilah yang mematikan daya kreasi dan inovasi sesuai tuntutan zaman.

Kultur juga merupakan salah satu penghambat kemajuan pendidikan. Menurut Rafael raga Maran dalam bukunya disebutkan bahwa untuk mencapai suatu tahap kematangan intelektual, peserta didik tidak cukup hanya dibekalkan dengan pengetahuan dan keterampilan teknis melainkan harus memiliki basis pengetahuan sosial-budaya yang memadai (2000: 3).

Saat ini kita telah masuk dalam peradaban budaya baru yakni pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses komersialisasi. Saling memanfaatkan demi kepentingan dan kepuasan pribadi. Juga pendidikan sekarang ialah menciptakan peserta didik untuk mampu bersaing di dunia pasar global dan tentu pendidikan yang semakin tinggi membutuhkan biaya yang besar misalnya untuk memiliki keterampilan yang memadai dalam dunia pasar global hanya bisa lewat bersekolah di luar negeri. Ini justru menimbulkan banyak ketimpangan. Jurang pemisah antara yang berduit dan tidak berduit akan semakin kentara. Maka yang muncul adalah pendidikan bukan untuk menciptakan kesetaraan, memanusiakan manusia melainkan semakin menciptakan ketimpangan di mana setiap orang berusaha untuk saling mengeksploitasi. Pengenalan akan budaya kita sendiri menjadi penting untuk dikembangkan dan budaya asing hendaknya tidak dipakai tanpa ada penyaringan kritis terlebih dahulu.

Kita sebagai warga masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan perlu mengapresiasi beragam usaha pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, karena belum sepenuhnya setiap komponen pendidikan mengartikan fungsi dan tugasnya masing-masing, sehingga masih terdapat ketimpangan dan nampaknya sistem pendidikan kita belum beres.

Dengan mengenal hambatan-hambatan yang masih terus mengganggu jalannya proses pendidikan secara baik yakni masalah mental, struktur dan kultur diharapkan mampu membawa sebuah pencerahan bahwa sejatinya kita perlu menyadari posisi kita masing-masing.

Kita perlu mengatasi hambatan-hambatan yang ada. Sebagai peserta didik, pendidik dan orang tua bahwa dengan menjalankan peranannya dengan tepat dan benar tentu dalam satu kesatuan yang utuh, akan menciptakan harapan bagi masa depan bangsa yang maju dan sejahtera.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya