Masih Relevankah Hukuman Mati Diterapkan Saat Ini?

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Masih Relevankah Hukuman Mati Diterapkan Saat Ini? 24/01/2023 661 view Hukum unsplash.com

Sejarah menunjukkan bahwa umat manusia telah menerapkan sanksi terhadap pelanggar hukum sejak awal munculnya peradaban. Hal ini dibuktikan dari kisah Raja Hammurabi dari Babilonia yang terkenal akan prinsip lex talionis-nya, yakni prinsip mata dibalas mata. Hukum Hammurabi (Code of Hammurabi) menjadi hukum tertulis pertama sekaligus yang tertua dalam peradaban manusia yang memuat mengenai sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Sejak saat itu, manusia mulai mengembangkan berbagai jenis sanksi mulai dari yang paling ringan seperti kerja sosial hingga hukuman mati yang didahului dengan penyiksaan seperti yang berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan.

Sejak era Hammurabi hingga sebelum pertengahan abad ke-20, esensi penjatuhan sanksi pidana adalah untuk memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Pandangan demikian merupakan tujuan pemidanaan dalam teori keadilan retributif. Teori keadilan retributif memandang bahwa pelaku tindak pidana layak untuk dihukum atas perbuatannya dengan pembalasan yang setimpal atau proporsional. Oleh karena itu, penjatuhan hukuman mati dibenarkan apabila seorang terpidana terbukti telah menghilangkan nyawa orang lain. Hukuman mati dianggap adil dan setimpal untuk membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh terpidana tersebut. Di samping pembunuhan, hukuman mati juga diberlakukan terhadap tindak pidana lain sesuai dengan hukum yang berlaku di masing-masing negara.

Namun, seiring dengan perkembangan kesadaran dunia internasional akan hak asasi manusia, paradigma mengenai hukuman mati sebagai pembalasan perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Di akhir abad ke-20, negara-negara di dunia mulai menghapus hukuman mati dari sistem pemidanaan mereka, khususnya negara-negara di Eropa. Hingga hari ini, hampir seluruh negara di Eropa telah menghapus hukuman mati, kecuali Belarusia dan Rusia. Selain Eropa, negara-negara lain seperti Australia, Selandia Baru, dan Kanada juga turut menghapus hukuman mati dalam hukum pidana mereka. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia adalah salah satu negara yang masih menjalankan hukuman mati sebagai salah satu jenis sanksi pidana. Hukuman mati di Indonesia diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu seperti pembunuhan berencana, terorisme, dan narkoba. Di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok yang pelaksanaannya diatur dengan UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yakni dengan ditembak mati oleh regu penembak.

Hal ini berbeda dengan ketentuan hukuman mati yang termuat dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang baru disahkan Desember lalu. Di dalam ketentuan KUHP baru, hukuman mati merupakan pidana yang diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir (last resort) untuk mencegah tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Sanksi alternatif bermakna ada upaya lain yang dilakukan sebelum hukuman mati dilaksanakan. Upaya ini adalah masa percobaan selama sepuluh tahun dengan memperhatikan sikap terpidana selama masa percobaan tersebut. Apabila terpidana menunjukkan sikap yang terpuji selama masa percobaan tersebut, hukuman mati yang dijatuhkan dapat diubah dengan penjara seumur hidup.

Menjadikan hukuman mati sebagai upaya terakhir dalam penjatuhan sanksi pidana tidak berarti Indonesia telah menghapus hukuman mati. Hal ini sangat disayangkan jika melihat perkembangan kesadaran dunia internasional terkait hak asasi manusia yang mulai meningkat. Di dalam dokumen-dokumen HAM internasional, hak untuk hidup menjadi salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental. Ketentuan ini salah satunya termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang merupakan salah satu dokumen HAM internasional terpenting sepanjang sejarah umat manusia. Di dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. Selain itu, dokumen internasional lain yang memuat mengenai hak untuk hidup adalah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), tepatnya di Pasal 6. Di Indonesia, hak untuk hidup dijamin dan dilindungi oleh UUD NRI 1945, tepatnya di Pasal 28A dan 28I. Bahkan, Pasal 28I UUD NRI 1945 menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Di dalam doktrin tentang hak asasi manusia, ada yang disebut sebagai non-derogable rights dan derogable rights. Non-derogable rights adalah hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun, sedangkan derogable rights adalah sebaliknya. Hak untuk hidup merupakan satu dari non-derogable rights yang diakui secara internasional dan konstitusi Indonesia, yakni di Pasal 28I UUD NRI 1945. Hal ini berarti tidak ada entitas mana pun, termasuk negara atau lembaga yudisial, yang berhak untuk mengambil kehidupan seseorang dalam keadaan apa pun dan dengan alasan apa pun.

Dilihat dari perspektif ini, hukuman mati jelas merupakan pelanggaran terhadap hak untuk hidup karena negara menjadikan penjatuhan sanksi sebagai justifikasi untuk mengambil kehidupan seseorang yang jelas-jelas menjadi hak fundamental setiap individu. Hak untuk hidup bersifat hakiki yang berarti setiap individu telah memilikinya semenjak ia dilahirkan. Hak ini tidak diberikan oleh negara sehingga negara pun tidak berhak untuk mencabutnya dengan alasan apa pun, termasuk untuk menjatuhkan sanksi terhadap terpidana. Hadirnya ketentuan hukuman mati sebagai salah satu sanksi pidana dalam KUHP baru tidak hanya bertentangan dengan Pasal 28I UUD NRI 1945, melainkan juga melanggar hak asasi manusia yang paling mendasar.

Di tengah tren dunia internasional yang semakin menjunjung tinggi hak asasi manusia, ada secercah harapan bahwa di masa depan Indonesia akan menghapus hukuman mati untuk seluruhnya. Hal ini karena sejatinya setiap manusia berhak atas kehidupan dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya sejak ia lahir hingga meninggal dunia. Tidak ada entitas mana pun, khususnya negara, yang berhak untuk mencabut hak tersebut dengan alasan apa pun dan dalam keadaan apa pun.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya