Ibu Kota Apa Kabar, Jadi Pindah..?

Akhirnya kami pindah apartemen. Kalau dulu sempit, sekarang kamar yang kami sewa ini lebih luas. Cukup lega untuk men-set tempat belajar. Tugas-tugas perkuliahan bisa diolah dengan lebih nyaman.
Tapi ada pula hal lain dari apartemen yang baru ini. Bila dulu pemandangannya pepohonan, adapun sekarang gedung beton. Perkantoran tinggi menjulang langit. Jenuh menulis dan membaca tak bisa lagi langsung disapu oleh pepohonan dan kicauan burung di seberang jendela.
Namun apa dan bagaimanapun itu, penyesuaian-penyesuaian harus dilakukan. Karena berpindah adalah hal yang mustahil dihindari di dalam kehidupan. Maka demikian pula dengan konsekuensi penyesuaian yang mengikutinya.
Berpindah dan penyesuaian, ini pula yang sedang menghangat beberapa bulan terakhir.
"Ibu Kota Pindah ke Kalimantan Timur", demikian bunyi headline surat kabar. Perubahan besar akan terjadi. Memaksa orang-orang terdiam, merenungi nasibnya masing-masing.
Suatu malam teman lama saya bercerita. Bagaimana kebijakan kontroversial ini menguntungkan dirinya.
"Rumahku masih ada di Balikpapan. Dulu saja ditawar 750 juta belum aku lepas. Apalagi sekarang". Ucapnya tersipu sambil menyeruput nescafe.
Masuk akal. Balikpapan kecipratan proyek pindah Ibu Kota. Harga properti berlarian naik. Dalam lima tahun ke depan harga jual rumah pasti merangkak menyentuh bilangan milyar.
Sementara teman saya itu dihanyut rasa bahagia, di tempat lain percekcokan berlangsung. Di sebuah grup media sosial kebijakan besar ini berwajah lain. Tak sama seperti yang dilihat kawan ngopi malam itu.
Persoalan bermula dari status sosial. "Bekerja di Jakarta adalah lambang kesuksesan", demikian premisnya selama ini.
Siapa-siapa yang berhasil bekerja di Kementerian dan Lembaga Indonesia, di Jakarta sana, punya gengsi yang tinggi. Setidaknya itu menurut mereka-mereka sendiri.
Lalu setelah bertahun-tahun demikian, situasi tiba-tiba terbalik. Ibu Kota di pindah ke 'pedalaman' Kalimantan. Semua yang bekerja di Kementerian dan Lembaga Nasional musti turut pindah. Yang tak pindah hanya yang sudah memasuki pensiun, kata pemerintah.
Cukup dengan bertanya, "bagaimana nasib anak istri mu nanti?", kaum sudra 'pedalaman' Kalimantan anggota grup medsos itu sudah bisa membuat kaum ningrat Jakarta meradang. Tak perlu capek-capek bertanya, "kalian sudah tahukan, kalau di sini endemis malaria?"
Entah bagaimana remuknya perasaan kaum ningrat Jakarta itu. Pindah ke tempat yang belum pernah dibayangkan.
Status sosial bukan hancur. Tapi mengambang. Tak jelas. Harus bangga karena bekerja di kementerian/ lembaga. Atau menanggung malu karena tinggal di 'pedalaman'.
Urusan status sosial memang sering membingungkan. Tapi persoalan politik lebih sering jelas duduk persoalannya.
Pemerintah bilang, "ibu kota pindah ke Kalimantan Timur". Lalu DPR berkata, "hei bung, tunggu dulu. Sudah tahu belum pindah ibu kota perlu merevisi UU? Dan bagaimana pula regulasi-regulasi lain yang harus disesuaikan?"
DPR protes karena dilangkahi. Pindah ibu kota harus mengubah UU. Mengubah UU berarti membutuhkan persetujuan politisi senayan.
Jadi bila pemerintah tiba-tiba bilang ibu kota pindah, itu artinya mengabaikan kuasa yang dimiliki DPR. Ini semacam pelecehan.
Demikianlah perdebatan politik. Semua adalah tentang siapa punya kuasa bagaimana. Namun jika kita terbang ke wilayah yang akan dijadikan ibu kota baru, ceritanya lain lagi. Di sana perpindahan dan penyesuaian punya kisah berbeda.
Katakanlah di empat desa Dayak Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara. Kebijakan kontroversial ini menambah resah hati-hati yang telah lama menderita.
Selama bertahun masyarakat di sana mengalami perubahan sosial. Sebuah situasi yang berjalan tidak dengan senyum.
Program transmigrasi, pembukaan lahan sawit dan proses pembangunan membuat masyarakat dayak kehilangan tanah dan hutan leluhur. Tak lagi sepenuhnya bisa berburu dan meramu. Mereka kini lebih bergantung pada berkebun. Bahkan tak sedikit harus bekerja sebagai buruh operator alat berat di perusahaan sawit.
Dalam situasi begini, penguasa pusat tiba-tiba bilang ibu kota pindah ke Kaltim, ke wilayah keempat desa Dayak ini. Alih fungsi hutan tak lagi dalam senyap. Melainkan terbuka dan oleh tangan kekar tak terkalahkan.
Entah bagaimana cara melukiskan perasaan mereka. Tapi kalau meminjam istilah Yando Zakaria, "abih tandeh". Habis sehabis-habisnya. Habis yang tak bersisah. Tak ada harapan lagi.
Beberapa dari anda boleh saja tersenyum karena harga properti meningkat karena kebijakan simsalabim ini. Atau sah-sah saja tertawa geli karena kaum ningrat Jakarta tengah bingung perihal status sosialnya. Atau terbahak melihat Pemerintah yang sulit menjawab protesnya DPR.
Tapi seumpama orang-orang ekonomi beserta status sosial dan politik minded disatu-meja-kopikan dengan masyarakat yang abih tandeh tadi, kira-kira apa yang akan terjadi? Adakah pembicaraan berubah menjadi empati kepada mereka yang akan ditempati ibu kota baru?
Tapi tunggu sebentar. Kami pindah apartemen karena alasan yang jelas dan proses transparan.
Mau tidak mau, butuh ruang yang lebih luas. Saya harus ujian proposal semester ini. Istri yang juga sekolah harus lolos qualifying exam semester ini juga. Sedangkan putri kecil kami perlu ruang cukup luas untuk menyelesaikan PR yang semakin mengganas.
Pun demikian. Jauh-jauh hari kami sudah rembukan dengan putri kecil kami. "Engkau akan satu apartemen dengan anak-anak indo teman main mu itu. Ruangannya lebih luas. Dan ada bathubnya." Kata kami meyakinkan.
Ada kejujuran dan keterbukaan di dialog tersebut. "Tapi engkau akan kehilangan suasana kamar dan taman dekat rumah kesayangan mu", cerita kami. "Engkau pikirlah dulu dua bulan ini".
Kami punya kebutuhan sama dan kami akan sama-sama merelakan kehilangan sesuatu berharga buat masing-masing orang. Demi tempat lain yang manfaatnya lebih kami butuhkan di situasi saat ini.
Lalu terkait pindah ibu kota. Sebetulnya ini buat (si)apa? Pemerintah belum pernah menjelaskan alasan dibalik itu, bertanya kepada rakyat, apalagi memberi waktu untuk menimbang.
Apa jangan-jangan ini cuma bercanda. Padahal kita-kita sudah terlanjur berhitung begini dan begitu.
Artikel Lainnya
-
406506/04/2020
-
149128/07/2021
-
105326/07/2020
-
Melihat Persaingan Perebutan Lapangan Pekerjaan Saat New Normal
119009/06/2020 -
Nikmatnya Pemuda di Jaman Proyekan
183702/05/2020 -
Tambang, Konflik Sosial dan Kesehatan Reproduksi Perempuan
211931/01/2020