Mereformasi Sanksi Pelanggaran Dalam Revisi UU Pemilu

Pemilu adalah jantung demokrasi, namun integritasnya di Indonesia kerap diuji oleh berbagai pelanggaran. Mulai dari aparatur sipil negara (ASN) yang tidak netral, praktik politik uang yang merajalajalela, hingga penyalahgunaan fasilitas negara untuk kampanye. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejatinya telah mengatur sanksi pidana untuk pelanggaran ini.
Meskipun demikian, harus diakui, efektivitasnya dalam menciptakan efek jera masih jauh panggang dari api. Sudah saatnya kita berpikir ulang dan berani merevisi UU Pemilu, menggeser fokus sanksi dari ancaman pidana yang seringkali tumpul, menuju sanksi administratif atau denda yang lebih cepat, tegas, dan tepat sasaran.
Pertama, mari kita akui bersama bahwa penegakan sanksi pidana dalam pemilu kerap menemui jalan buntu. Proses hukumnya panjang dan berbelit. Bayangkan, sebuah kasus pelanggaran kampanye yang terjadi di tengah hiruk pikuk pemilu, baru diputus setelah tahapan pemilu selesai atau bahkan ketika pemerintahan baru sudah terbentuk. Ini membuat putusan hukumnya terasa tidak relevan lagi dengan dinamika politik yang telah bergerak (Santoso: 2021).
Lalu, standar pembuktian untuk pidana itu sangat tinggi, butuh minimal dua alat bukti sah. Ini jadi tantangan besar, apalagi banyak pelanggaran pemilu terjadi secara tersembunyi atau melibatkan banyak pihak. Akhirnya, proses hukum pidana ini juga rentan terhadap politisasi, yang bisa mengikis kepercayaan publik. Di sisi lain, hukuman yang dijatuhkan seringkali ringan, tak mampu memberi efek jera yang berarti bagi para pelanggar.
Kemudian, mengapa sanksi administratif dan denda bisa jadi solusi yang lebih baik? Teori hukum modern memberikan penjelasannya. Ada yang disebut Teori Hukum Administratif, yang melihat bahwa lembaga seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya kapasitas untuk menerapkan sanksi secara cepat dan efisien (Pierce: 2002). Ini bisa memangkas kerumitan birokrasi peradilan pidana. Selain itu, ada juga Behavioral Law and Economics atau hukum dan ekonomi perilaku. Teori ini menyadari bahwa manusia tidak selalu rasional dan seringkali dipengaruhi oleh bias kognitif.
Seringkali, probabilitas deteksi dan kecepatan penerapan sanksi itu jauh lebih penting daripada besaran sanksi itu sendiri dalam memengaruhi perilaku (Sunstein: 2000). Artinya, denda yang langsung terasa dampaknya atau diskualifikasi yang cepat bisa lebih efektif mengubah perilaku pelanggar daripada ancaman penjara yang prosesnya lama dan belum tentu terjadi.
Calon atau pihak yang melakukan pelanggaran mungkin lebih gentar pada pembatalan pencalonan atau denda yang harus segera dibayar, ketimbang ancaman bui yang entah kapan terwujud. Di sisi lain, Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo (2006) juga menggarisbawahi pentingnya hukum untuk terus bergerak dan menyesuaikan diri dengan realitas sosial, termasuk dalam hal efektivitas penegakan.
Pelajaran dari Pemilu Mancanegara: Sanksi Administratif yang Lebih Menggigit
Melihat praktik di negara lain, kita bisa menemukan contoh nyata bagaimana sanksi administratif mampu menjadi alat yang lebih efektif dalam menjaga integritas pemilu. Di banyak negara, terutama yang memiliki lembaga pengawas pemilu yang kuat dan independen, pelanggaran seperti penggunaan fasilitas negara, kampanye di luar jadwal, atau bahkan pelanggaran kode etik kampanye seringkali ditangani dengan cepat melalui mekanisme administratif.
Misalnya, di Amerika Serikat, Komisi Pemilihan Federal (FEC) memiliki kewenangan untuk mengenakan denda administratif yang signifikan untuk pelanggaran terkait keuangan kampanye, seperti pelaporan yang terlambat atau tidak akurat. Denda ini bersifat progresif, meningkat jika ada pelanggaran berulang atau jika terkait dengan laporan yang sensitif terhadap pemilu. Prosesnya lebih cepat daripada litigasi pidana dan langsung berdampak pada entitas kampanye atau individu yang melanggar. Meskipun penjara masih menjadi opsi untuk pelanggaran berat, denda administratif ini berfungsi sebagai pencegah yang efektif untuk sebagian besar pelanggaran.
Begitu pula di beberapa negara Eropa, seperti di dalam yurisdiksi Uni Eropa, di mana ada penekanan pada sanksi administratif untuk pelanggaran etika politik atau penyalahgunaan sumber daya. Badan pengawas pemilu atau komisi etik di negara-negara tersebut dapat mengeluarkan teguran, perintah penghentian kegiatan, atau bahkan pembatasan aktivitas kampanye tanpa harus melalui proses pengadilan pidana yang panjang. Hal ini memungkinkan penegakan yang responsif dan langsung, menjaga integritas proses pemilu secara real-time. Kecepatan penindakan ini penting karena dinamika pemilu sangat cepat; putusan yang datang terlambat seringkali tidak lagi relevan.
Usulan Revisi Undang-Undang Pemilu: Fokus pada Sanksi Administratif dan Denda
Maka dari itu, mari kita lihat pasal-pasal mana di UU Pemilu yang perlu segera direvisi. Ambil contoh Pasal 280 yang melarang ASN, TNI, dan Polri terlibat kampanye. Saat ini, pelanggaran ini bisa berujung pidana penjara dan denda yang tak seberapa (Pasal 494 UU Pemilu). Usulan revisinya? Hapus atau minimalkan sanksi pidana. Ganti dengan sanksi administratif yang lebih tajam: misalnya, penurunan pangkat atau golongan secara progresif bagi ASN yang tidak netral, pemberhentian sementara jika pelanggaran berulang atau berat, hingga pembatalan pencalonan jika ASN tersebut adalah calon peserta pemilu. Tambahkan juga denda signifikan yang bisa langsung disetorkan ke kas negara.
Lalu ada Pasal 284 tentang politik uang. Meskipun ancaman pidana penjara mungkin perlu dipertahankan sebagai upaya terakhir (ultima ratio) untuk kasus-kasus yang sangat berat dan terorganisir (Pasal 515 UU Pemilu), sanksi administratif dan denda harus jadi garda terdepan. Usulkan denda yang sangat progresif dan masif bagi pemberi maupun penerima. Bayangkan, denda hingga puluhan atau ratusan juta rupiah bisa menjadi pukulan telak. Yang tak kalah penting adalah pembatalan pencalonan atau diskualifikasi otomatis bagi calon yang terbukti melakukan politik uang, tanpa harus menunggu putusan pidana yang inkrah. Ini bisa diputuskan langsung oleh Bawaslu atau KPU berdasarkan bukti permulaan yang kuat.
Kemudian, untuk pelanggaran kampanye di luar jadwal atau lokasi yang ditentukan (Pasal 286), sanksi pidana penjara dan denda saat ini terasa terlalu lunak (Pasal 492 UU Pemilu). Lebih efektif jika Bawaslu bisa langsung memberikan teguran tertulis, menghentikan kegiatan ilegal, membatasi aktivitas kampanye selanjutnya jika pelanggaran berulang, atau mengenakan denda administratif yang progresif. Demikian pula dengan penyalahgunaan fasilitas negara (Pasal 292). Daripada pidana penjara (Pasal 493 UU Pemilu), fokuslah pada sanksi administratif: pengembalian aset dan penggantian biaya operasional plus denda, pembatalan pencalonan bagi calon yang menyalahgunakan, dan sanksi kepegawaian tegas bagi pejabat publik terkait.
Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang Kepala Dinas X, seorang ASN, secara terang-terangan berkampanye untuk calon legislatif tertentu di media sosial resmi dinas dan mengerahkan stafnya. Dengan UU yang berlaku sekarang, proses pidananya bisa berlarut-larut. Akan tetapi, jika UU direvisi, Bawaslu bisa langsung merekomendasikan sanksi administratif kepada atasan Kepala Dinas X. Sanksinya bisa berupa denda langsung Rp50 juta, penurunan pangkat/golongan, atau bahkan pemberhentian sementara dari jabatannya. Dampaknya instan dan langsung terasa pada karir serta keuangan si pelanggar. Hal tersebut jauh lebih efektif menciptakan efek jera dibandingkan ancaman pidana yang belum tentu terwujud, sejalan dengan prinsip-prinsip Behavioral Law and Economics.
Pada akhirnya, perubahan fokus ini akan membawa banyak manfaat. Pertama, mempercepat penanganan pelanggaran, tak perlu lagi menunggu proses pidana yang makan waktu. Kedua, menghemat sumber daya aparat penegak hukum. Ketiga, yang paling penting, sanksi yang cepat dan langsung berefek pada posisi, karir, atau kantong pelanggar akan lebih efektif dalam mencegah pelanggaran di masa depan. Hal ini juga akan mengurangi potensi politisasi kasus-kasus pelanggaran di pengadilan. Tentu, tantangan akan selalu ada, seperti perluasan kewenangan Bawaslu yang harus diiringi dengan pengawasan ketat dan akuntabilitas. Walau begitu, dengan sosialisasi dan edukasi yang masif, perubahan ini bisa diterima publik dan politik.
Jadi, merevisi UU Pemilu dengan menggeser fokus ke sanksi administratif dan denda bukanlah sekadar perubahan teknis, melainkan langkah fundamental untuk membangun pemilu yang lebih bersih, adil, dan berintegritas di Indonesia. Ini adalah investasi demi masa depan demokrasi kita. Apakah kita akan tetap berpegang pada sistem yang tumpul, atau berani melangkah maju demi pemilu yang lebih baik?
Artikel Lainnya
-
114514/04/2024
-
120025/06/2021
-
99807/03/2022
-
Manusia Tanpa Buku dan Krisis Penyakit Paranoia
16129/08/2024 -
Daya Kontemplasi Manusia di Tengah Rezim Ponsel
122021/05/2023 -
RUU HIP: (Upaya) Pelemahan atau Penguatan Pancasila?
206901/07/2020