Manusia Tanpa Buku dan Krisis Penyakit Paranoia

Tak dapat saya pungkiri, buku telah menjadi media yang sangat mempengaruhi otak pikiran saya. Terserah mereka mau bilang; “Kau mudah dipengaruhi pemikiran orang lain!” lah, atau ejekan yang lebih kejam; “Dasar, tak punya prinsip! suka mengadopsi apa yang ada di buku-buku!” lah, dan semacamnya, dan semacamnya. Terserah apa kata mereka. Lagi pula apa salahnya mengadopsi beberapa pemikiran yang ada di berbagai buku bacaan saya? Toh, validitas keilmuan mereka lebih diakui dari pada orang yang suka berkoar-koar sok jago, seolah-olah pikiran yang ada di otaknya merupakan nilai tertinggi kebenaran.
Thomas Aquinas agaknya kurang menyadari bahwa ternyata ada manusia yang lebih seram dari pada homo unius libri (manusia dengan satu buku). Atau barangkali ia belum menemukan sama sekali orang yang dengan modal sejengkal otaknya, menuding lawan diskusinya sebagai budak pemikiran yang menghamba di bawah ketiak penulis. Iya benar, mereka-lah manusia tanpa buku. Manusia setengah dewa yang memiliki kekuatan super dengan modal otak kecilnya mengklaim kebenaran tunggal pikirannya sendiri. Entahlah! jangankan saya yang lemah dan pendek wawasan ini, Imam Syafi’i pun lebih suka berdebat dengan orang pintar ketimbang dengan orang ‘tak pintar’ namun berlagak sok pintar.
Maaf jika terkesan sarkas. Tulisan dengan nada kasar ini hanyalah tumbal ekspresi dalam menanggapi cibiran dan sumpah serapah yang mereka-mereka lontarkan. Meski begitu, saya harap tulisan ini tetap objektif.
Suara-suara yang acap kali mereka tembakkan dan olok-olokan manusia tanpa buku itu, bahkan lebih menganggu dari pada suara rengekan anak kecil. “Pikir itu pakai otak! Bukan dengkul! Jangan ngikut-ngikut pendapat orang lain terus!” dan kicauan-kicauan serupa lainnya bahkan masih mending mendengarkan suara koak-koak seeokor burung gagak.
Tak ada guna menanggapi manusia semacam itu. Bukankah sulit memberitahu lalat bahwa bunga lebih wangi ketimbang kotoran? Tapi marilah kita beralih ke hal yang lebih serius. Bahwa manusia dengan satu buku, atau dengan beberapa buku namun satu aliran rentan terpapar virus paranoid.
Manusia yang menjadi korban penyakit itu, banyak saya temui terutama di lingkungan religius. Bacaan-bacaan yang dipelajari pun menggiring pemahaman kepada kebenaran tunggal, sementara mengabaikan sudut pandang yang tidak berasal dari kelompok-kelompoknya. Kita merasa paling moderat, tengah-tengah dan tidak ekstrem, sedang yang lain dituding sebagai kekiri-kirian atau kekanan-kananan. Kepongahan itu membuat kita merasa lebih baik dari yang lain. Atau kalau pun kurang baik, setidaknya tidak seburuk mereka (katanya).
Tak ada yang salah dengan itu. Kita hanya korban penyakit yang ditularkan oleh buku-buku yang pernah dibaca. Pun tak ada yang salah dengan buku-buku itu. Penulisnya hanya menyodorkan sudut pandangnya sendiri, bukan sebuah penyakit yang menakutkan. Hanya saja, kesalahan itu nampak, apabila sama sekali tak berusaha mencari obat penawarnya. Sangat tidak masuk akal, menuding pemikiran barat sebagai pusat kesesatan, sementara sama sekali tak mau membaca satu paragraf pun dari tulisan-tulisan mereka.
Saya bingung kenapa harus anti barat. Barangkali tudingan-tudingan tak berdasar bahwa barat dianggap sebagai pusat kejahatan itu, terbentuk dari gagasan mereka yang berbau sekuler. Sekulerisme itu tidak melibatkan peran agama dalam kehidupan sosial. Karena kita termasuk golongan agamis dan mempercayai nilai tertinggi ketuhanan, maka segala bentuk eksploitasi agama akan dianggap sebagai tindakan kriminal. Dari mana kita tahu itu? Dari mana stereotype kejahatan itu terbentuk, sedangkan kita masih alergi karya intelektual barat?
Hari ini kita suka berkoar-berkoar dan mencabik-cabik humanisme-antroposentris, sementara sama sekali tidak ingin melihat penderitaan barat abad pertengahan sebab otokrasi teosentrisme orang-orang gereja. Kita tidak suka akan arogansi komunisme, tetapi abai terhadap perilaku kapital kekuasaan. Kita benci feminisme barat, namun buta akan budaya pathriarkinya. Kita takut terhadap pikiran-pikiran barat, sedangkan tak tahu-menahu pada hal-hal yang melatarbelakangi yang menjadi objek perlawanannya.
Di sini saya tidak ingin memihak kepada siapa pun. Bukan ingin menyudutkan golongan saya sendiri. Atau bahkan tidak ingin membela korban pistol stigma tak mendasar yang sering kita todong-todongkan itu. Agama saya Islam, prinsip hidup pun didasarkan atas ajaran Islam, terutama Islam aswaja, tapi bukan berarti menganggap nihil pandangan golongan yang lain. Saya orang timur, identitas budaya pun berdasarkan orang-orang timur, tapi tidak berarti menuding barat sebagai pusat kejahatan. Sama sekali bukan begitu.
Sikap paranoid ini telah mengganggu objektifikasi ilmu pengetahuan. Narasi-narasi kritik yang sering kita lontarkan menjadi kerdil hanya gara-gara kesalahan-kesalahan berpikir. Alih-alih mengkritisi gagasan barat secara dewasa, justru yang terjadi adalah kita sering mencaci barat sebagai sumber kerusakan moralitas. Akibatnya kemudian orang lain pun terseret untuk mengkampanyekan suara anti barat itu.
Saya membicarakan ini dalam konteks gagasan dan ilmu pengetahuan. Persoalan kita menemukan kampanye pemikiran barat yang arogan dan menyimpang, semisal; LGBTQ atau tuntutan ketelanjangan perempuan itu hal lain. Sebab kalau kita membenci barat hanya karena Roschild dan keluarganya orang barat, maka harusnya kita juga menerima jika barat membenci Islam karena teror Osama bin Laden. Tapi kejahatan satu sosok bukan berarti mewakili identitas kelompoknya. Karenanya, sama sekali tidak mendasar jika kita menuding barat, hanya gara-gara sedikit kesalahan, sementara mengabaikan pemikiran inovatif mereka yang lain.
Penyakit paranoia ini hanya dapat kita sembuhkan dengan cara menerima dan menyikapi dengan sportif segala macam produk pemikiran barat. Tidak peduli terhadap penyakit itu, berarti kita menolak berpikir secara dewasa. Dimana hanya produk pemikiran golongan sendiri lah yang akan diakui sebagai kebenaran absolut, sedang yang lain hanya gangguan semata. Salah satu fakta yang tak dapat dibantah adalah; metode penelitian yang sering kita gunakan dalam membuat skripsi, tesis maupun desertasi, bahkan merupakan produk dari kontestasi akademik dunia barat. Logika deduksi hasil gagasan Ariestoteles, penalaran induktif produk dari pemikiran Francisco Bacon. Lantas masihkah layak kita tembakkan peluru stereotype kejahatan barat secara generalistik? Bahkan kalau kita tetap mengkampanyekan suara anti barat itu, dapatkah kita mengawinkan empirisisme dan rasionalisme sebagaimana yang dilakukan Immanuel Kant?
Artikel Lainnya
-
15824/04/2025
-
126613/04/2021
-
11804/02/2025
-
180212/05/2020
-
Dilema Antroposentris Terhadap Krisis Iklim
114008/12/2021 -
Demonstrasi, Provokasi, dan Krisis Nalar Publik dalam Dinamika Demokrasi Indonesia
3101/10/2025