Merawat Komunikasi dalam Keluarga

Mahasiswa
Merawat Komunikasi dalam Keluarga 09/07/2022 1086 view Budaya Kompasiana.com

Dewasa ini, munculnya berbagai perkembangan dan tantangannya, tak dapat dipungkiri bahwa telah begitu banyak budaya, ikut terancam punah di dalamnya. Salah satu budaya yang perlu dikhawatirkan ialah budaya komunikasi dalam keluarga. Hari ini, dengan adanya perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) seperti gadget, game online, dan berbagai perkembangan lainnya, sangat tampak bahwa budaya komunikasi dalam keluarga mengalami krisis praktik, yang dikhawatirkan akan tenggelam dengan berjalannya perkembangan.

Ironisnya, kita tidak pernah menyadari bahwa komunikasi dengan anggota keluarga merupakan kekayaan tersendiri yang memiliki peranan penting bagi pertumbuhan keluarga, lebih khusus perkembangan mental anak. Kita kerap menjadikan perkembangan zaman yang ada, untuk membuat kita menyendiri dari perkumpulan. Misalnya saja dengan hadirnya gadget, kita kerap menyendiri dan tak lagi mempedulikan tentang arti pentingnya sosialisasi antara sesama yang ada di dalam lingkaran keluarga.

Padahal menurut Evelyn Suleman, (1992:4) waktu-waktu bersama keluarga merupakan kesempatan yang paling baik untuk saling membangun komunikasi, antara kedua orang tua dengan anak-anak. Hematnya melalui komunikasi tersebut akan disampaikan pesan-pesan yang dapat membangun sikap positif anak. Tetapi hari ini dengan hadirnya gadget, budaya bersosialisai antara anggota keluarga akan terancam hilang dalam perkembangan zaman.

Hal ini tampak, dari Screen Dependency Disorder (SDD), di mana sekitar 70 persen orang tua mengizinkan anak-anaknya yang berusia 6 bulan - 4 tahun, untuk bermain gadget ketika mereka sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, serta sekitar 65 persen melakukan hal yang sama untuk menenangkan si anak saat berada di tempat umum (Yoursay.id). Penggunaan gadget yang tanpa pengawasan inilah yang kemudian kita cemaskan, lantaran menurut SDD hal ini akan menyebabkan sang anak lebih memfokuskan dirinya dengan gadget dan tak mempedulikan sosialisasi, sehingga tidak heran jika sang anak mengalami gangguan mental seperti, menjadi pendiam, lebih mudah marah dan panik, cepat stres, mengalami kesepian, sulit fokus dan berbagai gangguan lainnya.

Mengingat sederet permasalahan yang cukup mengkhawatirkan tersebut, kita kemudian perlu untuk masuk dalam sebuah permenungan tentang pentingnya, membangun dan merawat budaya komunikasi dalam keluarga, baik komunikasi antara anak maupun antara anak dengan orang tua. Lantas bagaimana kita mesti merawat budaya komunkasi dalam keluarga?

Penulis berpikir ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam rangka merawat budaya komunikasi dalam keluarga antara lain; pertama, orang tua harus menjadi role model (panutan), dan kedua, melakukan aktivitas bersama.

Pertama, orang tua harus menjadi role model. Menurut Dida, SST, seorang dosen prodi D4 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, faktor penentu yang akan mempengarui kualitas mental emosional anak ialah orang tua. Artinya dalam konteks komunikasi dalam keluarga, orang tua mesti menjadi panutan bagi anak-anaknya. Hal ini bertujuan agar anak-anak dapat mempraktikan apa yang ia lihat dari orang tuanya, baik itu sikap maupun tingkah laku.

Untuk itu pada poin pertama ini, orang tua diharapkan untuk menjadi yang terbaik. Di mana orang tua mesti memperaktikam sikap dan tingkah laku yang positif dalam kehidupan kesehariannya. Sikap dan tingkah laku positif ini juga diharapkan untuk dijaga saat berkomunikasi dengan anak-anak. Karena komunikasi yang efektif ialah komunikasi yang saling memahami. Dalam artian antara si penerima dan si pemberi pesan, sama-sama memahami esensi pesan tersebut. Sang ayah/ibu yang memberi pesan kepada anaknya melalui komunikasi, akan tersampaikan dan dipahami tatkala ia mampu bersikap baik dengan anaknya, sebaliknya tatkala kedua orang tua tidak memperhatikan etikanya dalam komunikasi dengan anak-anak, maka sang anak akan menganggap pesan tersebut tidak penting, dalam artian di sini tidak lagi tercipta komunikasi yang efektif.

Kedua, melakukan aktivitas bersama. Komunikasi yang efektif akan tercipta tatkala antara orang tua dan anak-anak sama-sama bertatap muka, dalam artian komunikasinya dibuat secara langsung. Untuk itu, dalam keluarga semestinya dibuat jadwal atau agenda untuk menjalankan kegiatan bersama, seperti cerita-cerita, nonton bareng dan aktivitas lainnya yang bersifat berkumpul dan menghibur.

Menurut Dr. Christin Wibhowo, psikolog dari UNIKA Soegijapranata Semarang, kegiatan bersama yang dijalankan oleh setiap anggota keluarga dapat menjadi alternatif dalam menjaga mental anak. Hal ini bukan tanpa dasar, hematnya dengan menjalankan kegiatan bersama, secara tidak langsung menumbuhkan kebahagiaan dalam keluarga, karena di situ akan tercipta komunikasi antara setiap anggota keluarga. Dengan demikian meluangkan waktu beberapa menit untuk kegiatan bersama dalam keluarga ialah langkah sederhana untuk membina mental anak.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya