Thrifting: Evolusi dari Hemat Menjadi Simulasi Konsumerisme

Evolusi manusia tidak hanya merujuk pada perubahan anatomi, tetapi juga pada pergeseran orientasi dalam konsumsi. Dari awalnya bertujuan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar, kini manusia melangkah menuju pemenuhan hasrat dan gaya hidup.
Pergeseran orientasi ini terlihat jelas dalam praktik thrifting. Awalnya, thrifting dianggap sebagai solusi hemat untuk memenuhi kebutuhan fungsional. Tetapi, beberapa tahun belakangan ini, kita menyaksikan thrifting mengarah pada minat pakaian-pakaian yang memiliki nilai historis dan artistik. Adanya perubahan ini menunjukan evolusi dalam cara kita memandang dan memanfaatkan pakaian bekas. Fenomena ini memunculkan pertanyaan dalam benak kita, terkait praktik thrifting dalam masyarakat kontemporer.
Nilai Simbol dan Identitas Diri dalam Konsumsi Pakaian
Jean Baudrillard, menangkap perubahan ini mengenai pertukaran nilai guna dengan nilai simbol. Ia memadukan teori nilai guna dan nilai tukar dari Karl Marx dengan semiologi Barthes, menjelaskan bagaimana konsumsi komoditas tidak lagi semata-mata berdasarkan nilai fungsinya.
Nilai tukar komoditas tidak hanya didasarkan pada kebutuhan, melainkan pada nilai simbolik yang tersemat di dalamnya. Hal ini menyebabkan pergeseran dari konsumsi berdasarkan kegunaan, menuju pemenuhan hasrat.
Kondisi ini disebut "masyarakat konsumen" oleh Baudrillard. Menurutnya, masyarakat konsumen tidak hanya mengonsumsi objek dan barang, tetapi juga aktivitas konsumsi itu sendiri. Aktivitas konsumsi ini dianggap sebagai mitos yang menentukan identitas seseorang.
Theodor Adorno juga menyoroti bagaimana penghapusan nilai manfaat benda dapat membebaskan komoditas untuk mengadopsi nilai-manfaat sekunder atau semu. Menurutnya, dominasi nilai tukar tak hanya menggantikan nilai manfaat benda dengan nilai abstrak, tapi juga melepaskan nilai-manfaat pengganti atau nilai sekunder.
Sederhananya pakaian bukan sekadar barang fungsional. Pakaian bisa menjadi komunikator utama, simbol status sosial, dan alat klasifikasi diri dalam masyarakat.Di samping fungsi klasifikasi ini, pakaian tidak hanya tentang menunjukkan status, tetapi juga tentang memenuhi kebutuhan emosional dengan menciptakan identitas yang dapat memuaskan diri sendiri.
Thrifting: Ekspresi Diri atau Simulasi Konsumerisme?
Istilah ‘thrifting’ berasal dari bahasa Inggris, berasal dari kata ‘thrift’ yang artinya hemat atau penghematan. Pada dasarnya, thrifting mengacu pada perilaku belanja produk dengan harga terjangkau. Selain itu, thrifting mencerminkan sikap berkelanjutan dengan memanfaatkan kembali barang yang masih layak pakai. Namun, beberapa tahun belakangan thrifting telah menjadi tren pencarian barang-barang vintage yang unik dan bersejarah.
Misalnya, kaos band vintage menjadi komoditas yang diminati masyarakat konsumen karena memiliki nilai historis dan estetis. Kaos band vintage juga bisa menjadi alat ekspresi untuk menunjukkan dukungan terhadap musik atau band favorit. Sama halnya dengan kaos kartun vintage. Kartun seperti Mickey Mouse atau Spongebob Squarepants memicu kenangan masa kecil bagi banyak orang.
Pemakaian kaos kartun vintage bukan hanya tentang mode, tetapi juga mengenai memori dan koneksi emosional dengan masa lalu. Kaos otomotif juga menjadi daya tarik tersendiri. Bagi penggemar otomotif, kaos otomotif vintage bukan hanya tentang mengekspresikan minat kita pada kendaraan. Tetapi juga menjadi cara mengabadikan sejarah dan mengenang masa lalu yang terkait dengan kultur otomotif.
Pergeseran orientasi dalam praktik thrifting menggarisbawahi konsumen tidak lagi hanya melihat harga murah, tetapi juga mencari nilai emosional, sentimental, dan nilai koleksi tertentu dalam pakaian bekas. Seperti yang Adorno katakan bahwa pakaian bukan hanya sekedar barang, melainkan juga menjadi bagian dari ekspresi pribadi dan pengenalan identitas diri. Ini adalah perwujudan kuatnya pengaruh estetika dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkembangan teknologi, khususnya media digital dan sosial, bukan hanya tempat bagi ekspresi individu tetapi juga membentuk persepsi kita tentang estetika dalam hal konsumsi. Estetika telah menjadi salah satu pendorong utama keputusan konsumen. Proses industri yang baru tidak hanya berfokus pada kepraktisan, tetapi juga pada bagaimana estetika mempengaruhi cara kita melihat dan berinteraksi dengan produk sehari-hari.
Dalam Simulacra and Simulations, Baudrillard menyatakan lahirnya budaya konsumsi ini dikendalikan oleh kapitalisme global melalui simulasi yang membawa kita hidup dalam “dunia fantasi”. Simulacra bukan sesuatu yang alami, yang naturalis. Simulacra lahir dari sistem teknologi, informasi dan globalisasi. Simulakra tidak ada relasi antara penanda-petanda. Melainkan, yang ditemukan adalah relasi tak langsung antara penanda-petanda. Relasi tak langsung antara penanda-petanda hadir sebagai konsekuensi logis kemajuan teknologi dan informasi. Maka, dalam kaitannya dengan objek konsumsi, komoditas (penanda) yang dikonsumsi bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan (petanda), sesuai dengan fungsi aslinya, melainkan dialihfungsikan untuk pemenuhan keinginan yang sifatnya semu.
Pada akhirnya, realitas-realitas simulakra menjadi landasan bagi masyarakat konsumen untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Melalui model-model yang ditawarkan oleh media massa dan media elektronik, membentuk kesadaran individu untuk mewujudkan jati diri dan eksistensinya. Sebab, ruang simulakra tidak saja berbicara tentang tanda dan simbol melainkan tentang kekuasaan dan hubungan sosial dalam masyarakat. Dalam konteks lebih luas, Baudrillard menggambarkan bagaimana kapitalisme global melalui simulasi membentuk budaya konsumsi yang terjebak dalam dunia fantasi. Simulacra menciptakan realitas semu yang memanipulasi tanda dan simbol untuk memenuhi keinginan yang sifatnya semu, menggiring kita ke dalam kehidupan yang dipenuhi dengan 'dunia fantasi'.
Beberapa tahun belakangan ini, thrifting menjadi alat untuk memenuhi keinginan semu yang diciptakan oleh kapitalisme global. Hal ini dapat mengarah pada konsumerisme berlebihan. Hal ini, karena thrifting dapat memanipulasi keinginan konsumen untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Artikel Lainnya
-
3001/10/2025
-
663929/10/2024
-
68818/12/2022
-
Perlunya Pembatasan Lahan Sawit di Indonesia
163316/03/2021 -
Apakah Praktik Klientelisme Mewarnai Pilkada Mabar?
135226/08/2020 -
Strafikasi Sosial Masyarakat Toraja
488318/12/2022