Perempuan, Media Sosial dan Persoalan Tiada Akhir
Dalam struktur masyarakat modern, posisi perempuan dalam ruang sosial dan relasinya sudah menunjukan beberapa perubahan signifikan. Jika dibandingkan dengan struktur masyarakat yang kental dengan praktik patriarki, posisi perempuan rentan mengalami kekerasan, disubordinasikan bahkan diekslusi dan mengalami segregasi dari ruang sosial.
Namun, hari ini posisi perempuan mengalami transformasi yang luar biasa. Di mana-mana kita temukan, baik dalam kelembagaan politik, ekonomi, sosial, dan pembangunan, peran perempuan sangat fundamental dan memiliki pengaruh dalam menentukan dinamika pengambilan kebijakan.
Perlu dicatat, apakah posisi perempuan dalam struktur masyarakat modern menunjukan bahwa kekerasan terhadap perempuan telah berakhir seiring dengan kemajuan dan tingkat partisipasi perempuan? Lantas apa bentuk kekerasan yang rentan dialami perempuan dalam ruang di mana mereka seharusnya eksis justru mendapati dirinya tersandera dan dihegemoni oleh kekerasan itu sendiri? Bagaimana media sosial turut menyumbang kekerasan terhadap perempuan?
Jika diamati lebih dekat, kehidupan masyarakat hari ini banyak dipengaruhi oleh keberadaan media sosial. Masyarakat modern atau lebih dikenal dengan istilah ‘masyarakat digital’ banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi yang turut membentuk masyarakat lebih mudah mengakses segala informasi dan membentuk komunikasi lintas negara, benua dan dunia.
Dalam konteks perkembangan yang cukup pesat itu, perempuan memiliki peran yang cukup penting dan memiliki akses yang seimbang dengan kelompok yang lain (laki-laki). Bahkan jika dipotret, penggunaan media sosial (terutama Tik-Tok) banyak didominasi oleh perempuan.
Hal ini tentu sangat menggembirakan, sebab akses perempuan dalam pemanfaatan teknologi sudah melampaui laki-laki. Tik-Tok misalnya, yang sekarang ini menjadi tren di kalangan anak-anak muda menjadi salah satu wahana untuk mengekspresikan kebebasan mereka. Namun menurut saya di sinilah kekerasan terhadap perempuan itu muncul dan menjadi semacam ‘komoditas bisnis’ yang bisa dikonsumsi oleh laki-laki.
Dalam ruang digital inilah terjadi “akumulasi kapital” yang mendegradasi kebebasan perempuan di satu sisi dengan mengkapitalisasi objek tubuh sebagai ‘ladang bisnis’. Sementara pada tempat lain terjadi penggerusan terhadap akses perempuan dari ruang digital menuju pada penghancuran secara diam-diam hak dan kebebasan perempuan.
Keberadaan media sosial (Tik-Tok) justru tidak berbanding lurus dengan kepentingan perempuan. Kita melihat bagaimana media sosial justru rentan dimanfaatkan sebagai ‘alat’ yang mendegradasi posisi perempuan dengan mengkapitalisasi objek tubuh mereka serta menciptakan kenyamanan semu yang mengandung banyak kekerasan. Di sana kita menemukan fakta baru bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan, yang semula secara langsung (direct violence) terhadap perempuan kini jauh lebih berbahaya yang turut mengamputasi kebebasan mereka.
Apa yang sebenarnya dirasakan oleh perempuan terhadap akses mereka terhadap pemanfaatan media sosial ternyata mengandung kekerasan yang tidak kasat mata tetapi jauh berbahaya bagi kebebasan mereka. Inilah yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolik yang merujuk pada suatu kekerasan yang tidak nampak, tidak dirasakan secara langsung oleh perempuan, tetapi jauh lebih berbahaya terhadap psikologis perempuan di kemudian hari bila hal ini dilakukan secara berulang-ulang.
Pada tingkat ini kalau kita perhatikan, kekerasan simbolik ini dapat mengakibatkan perempuan mudah dilucuti hak dan kebebasannya di media sosial karena tidak ada ruang yang menyediakan kebebasan bagi mereka, melainkan mengandung kekerasan. Inilah yang menurut saya harus dibaca lebih jauh, bahwa, kekerasan terhadap perempuan bukan saja mereka menjadi komoditas bisnis yang dikendalikan oleh bisnis. Melainkan telah menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai ‘delegitimasi hak’ perempuan karena disegregasi oleh kepentingan kapitalisme digital yang bergerak dalam mengakumulasi keuntungan sembari menindas keberadaan perempuan.
Di sinilah paradoksnya, di satu sisi perempuan memiliki akses pemanfaatan media sosial sebagai ruang ekspresi kebebasan, namun di sisi lain mereka dihegemoni oleh kekerasan yang tidak tampak yang dibentuk oleh akumulasi bisnis yang memanfaatkan kehadiran perempuan dalam media sosial. Saya justru melihat hal semacam ini semakin rentan belakangan ini ditengah masifnya media sosial diakses oleh semua lapisan struktur masyarakat termasuk kalangan perempuan.
Menuju Kehancuran?
Apakah dengan demikian, ini sedang menunjukan kehancuran perempuan dari media sosial? Ada dua jawaban yang menurut saya paling mungkin terjadi.
Pertama, akses pemanfaatan media sosial oleh kalangan perempuan akan dipahami sebagai kekerasan manakala di dalamnya perempuan disegregasi, disubordinasikan dan dikapitalisasi hak dan kebebasannya melalui kekerasan simbolik dan praktik pencaplokan kebebasan mereka sebagai perempuan. Ini berarti sedang terjadi suatu penghancuran total pada hak dan kebebasan perempuan.
Kedua, dalam kapitalisme digital, posisi perempuan selalu dimanfaatkan sebagai suatu sarana akumulasi keuntungan bisnis yang tidak lain mendegradasi kebebasan perempuan. Persis di sinilah saya meyakini bahwa dalam lingkaran kapitalisme digital, akses perempuan dibuka lebar-lebar dan persis di sinilah mereka eksis.
Kita melihat ini suatu tanda bahwa ada kesetaraan akses. Sedangkan, jika kita mau periksa logikanya, justru di dalam kesetaraan ini perempuan mudah dihegemoni oleh kekerasan-kekerasan yang tidak tampak dengan cara mengkapitalkan keterlibatan perempuan menjadi ‘ladang bisnis’ yang menguntungkan dan menggiurkan bagi kepentingan bisnis.
Kita menyaksikan dua proyek besar yang disebut sebagai ‘proyek kesetaraan’ yang dilakukan dengan memanfaatkan kehadiran perempuan, tetapi sebetulnya kita tidak menangkap logika terselubung bahwa terjadi juga ‘proyek kekerasan’ yang dilakukan dengan mengkapitalisasi semua yang ada pada perempuan. Mulai dari cara mereka berpakaian, berjalan, berjoget hingga pada praktik-praktik yang lebih ekstrem.
Perjuangan Belum Berakhir
Hemat saya, dalam konteks di mana posisi perempuan rentan mengalami kekerasan, media sosial harus dipakai sebagai alat gerakkan alternatif dalam rangka mengamputasi hegemoni kekerasan yang mereka alami. Artinya, jika hendak melawan kekerasan simbolik dalam media sosial, yang diperlukan ialah perempuan harus mampu memposisikan dirinya untuk membangun gerakkan melalui media sosial.
Pada tingkat semacam ini kita perlu mendorong dan bila perlu bersama-sama memperkuat jaringan lintas gerakkan bagi kalangan perempuan. Titik perjuangan harus tetap tumbuh dan tidak boleh berakhir selama perempuan masih mengalami ketertindasan. Karena itu, skala gerakkan harus terus digalakan. Selama kapitalisme digital masih menghegemoni dan menggerus eksistensi kebebasan perempuan, selama itu pula perjuangan terhadap kebebasan perempuan tetap menyala.
Artikel Lainnya
-
138926/11/2020
-
46725/03/2023
-
168919/04/2021
-
Soekarno Tua dan Pemikirannya terhadap Demokrasi
78309/06/2021 -
Presiden Pilihan Masyarakat NTT
25604/11/2023 -
Remaja Putri, Gizi Ibu dan Penurunan Angka Stunting
90701/12/2021