Covid-19 dan Beragamnya Realitas Kehidupan

Pekerja Barang Dagangan dan Menulis di Komunal Nokturnal
Covid-19 dan Beragamnya Realitas Kehidupan 21/08/2020 1237 view Budaya pixabay.com

Seperti halnya di hari-hari sebelumnya, hari ini saya harus sibuk menjual barang dagangan di toko milik orang tua saya. Toko orang tua saya ini bisa dibilang berukuran sedang, dengan menjual barang-barang campuran. Kebutuhan sembako adalah barang utama di toko yang telah berdiri selama lebih dari 20 tahun ini.

Tepat pada siang hari, pukul 13:00 waktu Makassar, sepasang suami-istri dan juga anaknya yang saya taksir masih berumur kurang lebih 4 tahun, berjalan ke toko untuk membeli beberapa kebutuhan pokok. Obrolan dari sepasang suami-istri itu menurut saya cukup menarik, karena menggambarkan salah satu realitas kehidupan yang kita hadapi hari ini, tentu dengan obrolan khas dialek mereka.

“Ma, kita beli 1 liter beras dan 3 telur dulu Ma, nantipi lagi kalau ada rezki baru beliki” ucap singkat seorang ayah.
Dengan wajah yang sedikit malu, sambil berbisik ke sang suami, yang terdengar samar di telinga saya, sang istri berkata: “Iya pak, susah juga cari uang saat corona begini, haruski irit-irit.” Itulah sekedar obrolan singkat yang penuh makna.

Berselang setengah jam kemudian, seorang anak remaja dan ibunya turun dari sebuah mobil, tepat di depan toko tempat saya berdagang. Saya pun menghampiri mereka dengan pertanyaan khas seorang penjual, "Apa dicari, Bu? Mauki beli apa?" Tetapi pertanyaan itu tidak lantas dijawab, mungkin saja masih mencari barang sesuai dengan kebutuhannya.

Lantas, Si Anak pun yang berdiri di belakang ibunya, berkata: “Ma, belikanka dule snack ini mauka”. Ibunya dengan wajah sedikit gusar memegang tangan anaknya, lalu berbicara: “Ah sudahmi kau ini hampir setiap hari makan snack-snack terus, itumo susu kau ambil”. Dengan sedikit bergumam, Si Anak lalu mengambil susu di kulkas tepat disampingnya.

Si Ibu meneruskan melihat-lihat barang yang akan dibeli, lalu menunjuk 1 karung beras 25 kg dan minyal goreng, sembari berkata kepada saya, “Kasika dulu ini dek, satu karung berasmu sama 3 liter minyak gorengmu”. Tiba-tiba diluar dugaan saya, Si Anak dengan suara yang sedikit serak menatap ibunya lau mengatakan satu kalimat, “Ih mama toh, itu beras sama minyak dibeli baru masih banyak dirumah, baru kita biar snack-snack tidak mauki dibelikan”.

Si Ibu tetap diam tidak menghiraukan perkataan Si Anak, lalu membayar kepada saya beras dan minyak yang telah dibelinya. Sebelum pergi beranjak dari toko, Si Ibu menatap anaknya, lalu mengatakan satu kalimat singkat, “Tidak kubelikanko snack karena tidak bagus itu makan-makan snack terus, itu mama beli memangmi beras sama minyak, karena malas lagi mama keluar-keluar rumah untuk belanja, apalagi corona ini”

Dua potret kehidupan yang saya jelaskan ini telah menggambarkan situasi yang hari-hari ini kita hadapi. Potret kehidupan yang sangat berbeda dari dua golongan besar masyarakat Indonesia, secara ringkas bisa dikatakan sebagai golongan yang tidak berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga golongan yang berlimpah dan sangat berkecukupan.

Kita juga bisa melihat beberapa pemberitaan di media online. Dilansir dari CNBC Indonesia, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono mengatakan bahwa sudah sebanyak 3,05 juta orang pekerja di Indonesia yang terdampak PHK atau dirumahkan akibat virus corona ini, sejak tanggal 3 Maret 2020. Tetapi sangat berbanding terbalik dengan dampak yang didapatkan dari segelintir orang yang termasuk kelompok kekayaan golongan 1 persen.

Dilansir dari Vice.com, sebuah riset yang dilakukan oleh Bank UBS dari Swiss yang mewawancarai 121 lembaga pengelola keuangan konglomerat di berbagai negara, dengan kliennya yang memiliki kekayaan rata-rata US$1,6 miliar. Kepala Divisi pelayanan klien prioritas UBS, Josef Stadler, menyatakan kondisi pandemi tidak berdampak pada kebanyakan bisnis konglomerat, tetapi hanya untuk kekayaannya yang belum mencapai level kaum 1 persen. Ini terjadi karena mereka yang telah mempunyai kekayaan tergolong 1 persen sudah mempersiapkan manajemen risiko pada perusahaannya.

Saya teringat dengan studi yang dilakukan oleh Oxfam Internasuonal Studi. Dilansir dari Kompas, Oxfam menemukan dalam penelitiannya bahwa 82 persen kekayaan di dunia dimiliki hanya oleh 1 persen orang.

Pandemi Covid-19 memang banyak memberikan kita pelajaran, dan yang paling utama menurut saya adalah perbedaan situasi dan kondisi yang ada di tengah masyarakat. Beberapa fakta saya paparkan dalam tulisan ini adalah bagian kecil yang menggambarkan realitas dunia yang kita tempat saat ini.

Di satu sisi, sebagian besar masyarakat miskin harus bertaruh nyawa melawan pandemi Covid-19 agar bisa terus melanjutkan hidupnya, tetapi di sisi yang berbeda segelintir orang bisa terus mengakumulasikan kekayaannya walaupun di saat situasi sulit kondisi pandemi seperti ini.

Tentu pemerintah dalam hal ini harus bergerak cepat untuk merespon persoalan ini. Pajak tinggi yang dibebankan oleh orang-orang kaya ini mungkin bisa menjadi salah satu solusi jangka pendek yang bisa dilakukan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya