Menjadi Bangsa Literat

Penulis Buku Cerita Anak 'Si Aropan'
Menjadi Bangsa Literat 31/08/2020 1317 view Opini Mingguan Pixabay.com

Dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, sejumlah temuan dan kajian lembaga-lembaga internasional yang mengurusi persoalan literasi menampar wajah kita dengan amat keras.

Betapa tidak, tahun 2012 UNESCO mengonfirmasi bahwa indeks minat baca kita hanya 0,001%. Ini berarti dari setiap 1000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang punya kegemaran membaca.

Tahun 2015, penelitan PISA (Programme for International Student Assessment) yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memaparkan hasil yang tidak jauh berbeda. Kita berada di peringkat 62 dari 70 negara.

Setahun kemudian Central Connecticut State University (CCSU) pada laporan berjudul “The World’s Most Literate Nation” menempatkan kita di posisi ke-60 dari 61 negara peserta. Kita hanya satu tingkat lebih baik dari Botswana, negara di Afrika bagian selatan.

Dan terbaru di tahun 2018, PISA lewat OECD kembali merilis hasil surveinya. Hasilnya, indeks literasi Indonesia hanya mencapai 371 poin. Angka itu mengalami penurunan. Di tahun 2015 kita masih mampu menorehkan 397 poin. Pencapaian itu bahkan merupakan yang terburuk sepanjang keikutsertaan Indonesia yang dimulai pada tahun 2000.

Bukan Malas Membaca

Meski paparan data-data tadi memojokkan capaian literasi kita, saya tidak mau serta-merta mengambinghitamkan kemalasan membaca sebagai satu-satunya alasan di balik keterpurukan ini.

Memang, tak bisa dimungkiri, terdapat indikasi-indikasi yang menjurus ke sana. Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, misalnya, mencatat bahwa sekitar 90 persen penduduk Indonesia dari rentang umur 10 tahun ke atas, lebih menyukai menonton televisi ketimbang membaca buku.

Keadaan ini semakin bertambah buruk dengan data statistik yang menunjukkan bahwa judul buku-buku yang kita lahap rata-rata per tahun hanya mencapai tiga buah. Jumlah itu sangat jomplang jika dibandingkan dengan negara-negara maju semisal Finlandia, Jepang atau Jerman yang penduduknya terbiasa membaca tuntas 20 sampai 30 buku dalam satu tahun.

Apalagi, bangsa kita cenderung menganut tradisi lisan. Ini terbukti dari banyaknya dongeng, dan cerita rakyat yang menjadi warisan turun-temurun. Kita juga menjadi sasaran kolonialisme baru dalam dunia digital. Hasil riset Wearesosial Hootsuite pada Januari 2019 menunjukkan pengguna media sosial di Indonesia mencapai angka 150 juta. Artinya, kita sanggup meluangkan waktu berjam-jam di depan layar gawai, tapi tidak betah ketika berhadapan dengan buku. Maka dari itu, stigma orang Indonesia malas membaca pun semakin kuat.

Lalu apakah memang benar kebiasaan malas membaca menjadi biang keroknya? Jujur saja, sekali lagi, saya ragu. Tanpa berniat memandang sebelah mata terhadap kredibilitas lembaga-lembaga internasional tadi, jika merujuk pada situasi nyata di lapangan, bisa jadi akar permasalahannya bukan terletak pada sifat malas membaca, atau, setidak-tidaknya, minimnya minat baca bukan faktor utama.

Pertama, periksalah di pelosok-pelosok negeri ini. Ada begitu banyak pegiat literasi. Saat berkampanye soal pentingnya literasi dengan cara mendistribusikan buku-buku secara cuma-cuma, mereka justru sering menerima respon positif dan antusiasme tinggi dari masyarakat.
Nirwan Ahmad Arsuka, inisiator Pustaka Bergerak, seperti yang dilansir dari laman detik.com, meyakini bahwa hasil temuan UNESCO, PISA, CCSU dan lembaga-lembaga sejenis lainnya justru acapkali memicu timbulnya kesimpulan yang salah soal minat baca bangsa kita.

Saya pernah bertanya lewat aplikasi WhatsApp kepada inisiator Teras Baca di Samosir, Marsaulina Fide. Beliau mengatakan anak-anak di sana sangat gemar membaca. Bahkan, karena kurangnya koleksi buku-buku bacaan, tak jarang anak-anak itu membaca kembali buku-buku yang sudah selesai dibaca. Bisa tiga hingga empat kali, bahkan lebih. Saya yakin ini juga ditemukan oleh pegiat-pegiat literasi lain.

Kedua, Anda tentu tahu Big Bad Wolf (BBW), bazar buku terbesar di dunia. Setiap kali BBW hadir di kota-kota besar Indonesia, pengunjungnya selalu ramai. Tren penjualan buku-buku mereka juga konsisten melampaui target di setiap tahun penyelenggaraan. Padahal, selain didominasi buku-buku berbahasa Inggris, harga buku-buku di BBW juga tidak bisa dikategorikan sangat murah meski sudah diberikan diskon besar-besaran. Di tengah pandemi Covid-19 pun, masyarakat masih terbilang antusias dengan cara membeli buku-buku dari BBW secara online.

Dua fakta ini memberi sinyalemen kuat bahwa baik di kota maupun di pedesaan, tidak sedikit penduduk Indonesia yang gemar membaca. Tapi yang justru terus terjadi adalah adanya kecenderungan secara terus-menerus untuk memberikan label malas membaca pada anak-anak bangsa kita. Dan persepsi itu sepertinya diterima begitu saja. Maka jangan heran ketika setiap kali hendak mencari jawaban atas persoalan literasi yang kita hadapi, narasi orang Indonesia malas membaca tadi pun langsung menyeruak masuk ke dalam pola pikir kita.

Akhirnya, ini menjadi bumerang. Kita menjebak diri sendiri. Menyelesaikan persoalan literasi disederhanakan secara parsial, yaitu sebatas mengubah karakter malas membaca. Keadaan ini kian rumit karena asumsi yang, lagi-lagi kita bangun sendiri: mengubah karakter, apalagi yang sudah sangat melekat, merupakan hal yang nyaris mustahil! Dan, karena justifikasi sepihak soal sifat malas membaca tadi jugalah yang akhirnya membuat kita mengabaikan atau kurang memberi perhatian lebih pada isu-isu lain yang bisa saja menjadi adalah alasan-alasan utama penyebab menurunnya indeks literasi kita bertahun-tahun ini.

Gotong Royong

Dari dulu hingga sekarang membaca merupakan akses primer untuk menguasai ilmu pengetahuan. Negara-negara maju sudah membuktikan itu. Pendeknya, jika ingin menguasai dunia, maka lakukanlah dengan menguasai ilmu pengetahuan. Dengan demikian, persoalan literasi tidak boleh dianggap sepele.

Pertama, minat baca harus tumbuh sejak usia dini. Konsekuensi logisnya adalah keluarga harus menjadi fondasi yang kuat untuk merealisasikan tujuan itu. Kekayaan negeri ini akan dongeng dan cerita rakyat sebagai pengejawantahan budaya lisan yang kita anut, sebetulnya menjadi blessing in disguise dalam konteks menumbuhkan literasi. Artinya, jika dulu orang tua suka melantunkan cerita pengantar tidur untuk anak, kebiasaan itu dapat dimodifikasi. Orang tua bisa mulai membudayakan membacakan cerita kepada anak-anak sehingga kita tidak hanya mulai membiasakan anak-anak agar gemar membaca tapi juga mengajak mereka mengenal dan mencintai kearifan lokal negeri ini.

Kedua, literasi harus tumbuh di sekolah. Guru tidak boleh hanya menyemangati murid-murid untuk gemar membaca. Guru juga semestinya menjadi pembaca aktif. Guru-guru bahasa Indonesia harusnya berada di garda terdepan. Ironisnya, Johannes Sumardinata, dalam buku berjudul Guru Gokil Murid Unyu, memaparkan satu hal yang tidak enak didengar.

Dari banyaknya guru bahasa Indonesia, tidak sampai 0,5 persen yang pernah membaca Tetralogi Buru milik mendiang Pramoedya Ananta Toer. Empat buku itu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca memang sempat dilarang pada masa Orde Baru. Namun, kini diterima dan menjadi kebanggan serta rujukan utama para pegiat sastra dan pecinta literasi. Sebagai informasi, Pram menjadi satu-satunya penulis Indonesia yang sempat beberapa kali masuk sebagai nominator Nobel Prize karena maha karya Tetralogi Buru.

Ketiga, persoalan literasi tidak akan pernah lepas dari peran pemerintah yang punya tanggung jawab besar dalam memelihara industri perbukuan. Salah satu hal yang perlu disorot adalah Pajak Penghasilan (PPh) selama ini begitu mencekik leher para penulis. Jika terus dibiarkan, ini bisa menyurutkan niat para penulis senior untuk terus berkarya dan menghambat lahirnya penulis-penulis baru. Bagaimana pun juga penulis butuh makan. Dan seperti yang kita cermati, menulis di Indonesia belum menjadi profesi yang menjanjikan. Orang-orang yang hanya mengandalkan tulisan sebagai pekerjaan utama masih sangat sedikit.

Terakhir, pemerintah juga wajib menggandeng relawan-relawan literasi. Banyak dari mereka yang berjuang sendiri. Mereka ‘menjemput bola’ dengan menjadi perpustakaan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka adalah pahlawan literasi karena melakukan semua itu tanpa mengharapkan keuntungan secara komersil Mereka menawarkan buku-buku kepada masyarakat secara cuma-cuma. Dengan kehadiran mereka, penduduk di daerah tertinggal, khususnya anak-anak, mendapatkan kesempatan untuk mengenal dunia lebih jauh lewat membaca.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya