Sinodalitas: Pemulihan Kelumpuhan dalam Mewujudkan Perdamaian

Mahasiswa
Sinodalitas: Pemulihan Kelumpuhan dalam Mewujudkan Perdamaian 11/03/2023 997 view Agama kalderanews

Sejak tahun 1967, Gereja Katolik mengabadikan tanggal 1 Januari sebagai hari perdamaian sedunia. Perayaan ini pertama kali diperkenalkan oleh Paus Paulus VI, yang terinspirasi oleh ensiklik “Pacem in Terris” dari Paus Yohanes XXIII dan ensiklik “Populorum Progresio”. Perayaan rutin tahunan ini diadakan untuk menjadi babak evaluasi bagi dunia dalam menilik kembali tatanan kehidupan global yang kian dinamis. Ironisnya, sekalipun hari perdamaian sedunia telah dirayakan selama bertahun-tahun, kehidupan universal masih jauh dari perdamaian yang autentik. Lantas, apa yang telah dirayakan selama ini? Apakah yang dirayakan merujuk pada keberhasilan dalam mewujudkan perdamaian ataukah pada kegagalan dalam mengupayakan perdamaian?

Dewasa ini, dunia memang tak pelak diperhadapkan dengan pelbagai konflik. Alih-alih ingin menyelesaikan satu konflik, konflik lainnya serentak hadir. Saat tatanan global berjuang memulihkan krisis ekonomi pasca pandemi Covid-19, perang antara Rusia dan Ukraina muncul menggenapi konflik yang ada, dan mengukir kisah tragis bagi sejarah dunia. Demikian juga halnya perang tak berhujung antara Kongo dan Sudan Selatan yang membombardir stabilitas geopolitik yang sedang bertumbuh. Konflik-konflik ini secara langsung memporak-porandakan kehidupan sosial, dan hanya mempercepat laju angka kematian dan garis kemiskinan.

Berkutat dengan realitas, dapat dilihat bahwa beberapa pihak mengalami “kelumpuhan” buntut dicederai konflik. Pada saat yang sama, Gereja Katolik menuntut semua pihak untuk turut ikut berjalan bersama (sinodalitas) demi mencapai perdamaian. Gereja tidak ingin apabila ada yang tertinggal dan terlupakan, terutama karena adanya hasrat segelintir pihak untuk mendominasi jalanan. Menanggapi hal tersebut, menentang para pendominasi dan merangkul mereka yang tertinggal akibat konflik rupa-rupanya menjadi langkah alternatif memulihkan kelumpuhan. Niatnya, agar semua pihak dapat berjalan bersama kembali secara sejajar.

Mencari Musafir Perdamaian

Saat ini upaya dalam mewujudkan perdamaian telah menjadi gugatan bersama. Terdapat segelintir pihak, baik individu maupun kolektif dengan penuh antusias berpartisipasi sebagai musafir perdamaian. Pemimpin umat Katolik di dunia, yang juga dianggap sebagai tokoh perdamaian, Paus Fransiskus, pun terus-menerus menyerukan perdamaian. Ia senantiasa menentang konflik peperangan yang terjadi di beberapa negara seperti di Rusia dan Ukraina. Ia berharap agar perang yang memetik jutaan korban jiwa ini segera diakhiri. Baru-baru ini juga, Paus melakukan kunjungan Apostolik ke Kongo dan Sudan Selatan yang kerap dililiti konflik. Kunjungan ini dilakukan tidak lain adalah untuk memulihkan konflik dan membangun perdamaian.

Dalam sejarah manusia, memang terdapat sebuah pepatah Latin yang berbunyi “Si vis pacem para bellum” atau jika anda menginginkan damai bersiaplah untuk perang. Secara terus terang, benar bahwa ada banyak peperangan yang diakhiri dengan perdamaian, selain penaklukan. Namun , Paus Fransiskus secara tegas menegasikan hal ini. Baginya, perdamaian tidak mungkin dicapai dari sebuah perang, tetapi dari kesejahteraan, cinta kasih, bela rasa, berbagi, peduli kepada sesama dengan tanpa memandang latar belakang. Perdamaian lebih baik daripada sekadar perang (Kompas, 28/12/2022).

Menyaksikan tindakan Paus Fransiskus yang menyata dalam menyerukan perdamaian, kita semua pun diundang untuk tidak hanya menangisi setiap konflik yang telah terjadi. Setiap orang perlu terlibat aktif dalam memainkan peran sebagai musafir perdamaian dengan menghidupi nilai-nilai persaudaraan integral. Dalam hal ini, perlu ditambahkan pula sebuah kesadaran untuk memperkuat resistansi sinodalitas.

Memperkuat Barisan Sinodalitas

Barisan sinodal akan rapuh apabila ditempati oleh kelompok-kelompok egosentrisme dan para pendominasi ideologi. Mereka menilai semakin banyak perbedaan hanya akan memperbanyak kendala tatanan sosial. Padahal, dengan bertindak demikian, secara langsung hal ini menentang realitas warga dunia. Karena pada hakikatnya, apa yang telah menjadi keberagaman tidak boleh sesekali diseragamkan. Segala upaya untuk menyeragamkan berbagai perbedaan di dunia ini adalah jahat dan menyeret keegoisan untuk meruntuhkan persatuan dan perdamaian dunia. Dunia ini mampu bertahan dalam persatuan karena kehadiran setiap kelompok warga dunia dengan identitas nyatanya masing-masing.

Perihal merangkul mereka yang mengalami kelumpuhan secara tepat guna, kita membutuhkan penyadaran ketat dengan apa yang disebut pluralisme. Pluralisme adalah tidak lain kesediaan untuk menjunjung tinggi pluralitas (Suseno, 2008:27). Seorang pluralis dengan sendirinya adalah seorang yang humanis. Oleh karena itu, kehadiran pluralisme membantu setiap orang untuk menerima kenyataan bahwa di dunia ini menggenggam banyak perbedaan dengan latar belakang budaya, keyakinan agama, bangsa, ideologi, ras, dan lain sebagainya.

Paus Fransiskus, dalam ensiklik Frateli Tutti mengungkapkan bahwa memadukan aneka realitas yang berbeda adalah jauh lebih sulit dan lambat, namun menjadi jaminan perdamaian yang nyata dan kokoh (217) . Dan, lewat kesadaran pluralitas, setiap orang terjamin untuk melakukan perjumpaan dan dialog yang konstruktif dengan sesama yang berbeda. Perjumpaan akan menopang terwujudnya perdamaian, dan penting di sana untuk selalu berjalan dalam dimensi pluralitas. Begitu pun dalam berdialog. Dialog yang konstruktif membutuhkan keberagaman pemahaman dan kerja sama. Karena keseragaman hanya akan mematikan diskursus dan dialog serta mampu memicu persaingan. Ini menjadi langkah solutif untuk menjemput dan merangkul mereka yang mengalami kelumpuhan dan menyadarkan mereka yang memiliki hasrat untuk mendominasi. Keberhasilan dalam menanamkan nilai pluralitas, sekurang-kurangnya menempatkan kita semua sebagai pemeran sentral dalam menemukan nilai persaudaraan atau starting point keberangkatan sinodalitas.

Titik Awal Sinodalitas

Persaudaraan itu menjadi titik awal atau starting point dari perdamaian. Sebelum proses sinodalitas dimulai, barisannya perlu dilandaskan dengan visi dan nilai persaudaraan. Seperti ensiklik Fratelli Tutti yang diberikan oleh Paus Fransiskus pun merumuskan visi tersebut. Atau juga, dokumen Human Fraternity For World Peace And Living Together yang ditandatangani bersama oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb. Meminjam visi persaudaraan yang diusung oleh Paul Budi Kleden, ia mengatakan bahwa hidup bersaudara merujuk pada sekurang-kurangnya tiga pengalaman dasar berikut; keharusan berbagi, kewajiban peduli, dan keutamaan harapan (Bdk. Kleden,2022:177-178).

Pertama, keharusan berbagi. Persaudaraan perlu menghidupkan kembali praktik berbagi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagi bukan melulu berbicara soal memberikan barang-barang material, lebih dari itu mencakup perhatian, pengalaman, dan kapasitas hidup. Berbagi juga mengindikasikan bahwa sesama saudara tidak merampas. Berbagi akan menjadi visi persaudaraan yang konkret apabila mengantar seluruh umat manusia untuk saling bertumbuh dalam hidup yang lebih damai.

Kedua, kewajiban peduli. Kepedulian menjadi syarat mutlak dalam sinodalitas. Kepedulian mendorong setiap pribadi untuk memberikan perhatian yang lebih kepada sesama saudara secara aktif, karitatif, dan penuh inisiatif. Di tengah dunia yang marak terjadi konflik, kepedulian terhadap para korban konflik sangat dibutuhkan. Maka, sudah menjadi kewajiban agar sikap kepedulian dilekatkan dalam diri setiap individu sebagai sebuah visi persaudaraan. Dengan demikian, proses sinodal akan berjalan dalam barisan yang penuh kekuatan.

Ketiga, keutamaan harapan. Harapan memiliki makna saling menguatkan. Sebagai saudara, membagikan harapan kepada mereka yang berada di ambang keputusasaan adalah prioritas. Di samping itu, orang yang berharap akan membagikan harapannya kepada orang lain dan menginspirasi orang lain untuk melakukan perubahan. Persis di masa-masa konflik saat ini, kita membutuhkan barisan sinodal yang penuh dengan harapan. Tujuannya, agar kita saling memberanikan diri dalam mengambil langkah bersama dan saling menginspirasi demi mewujudkan perdamaian.

Momentum Sinodalitas

Sinodalitas yang telah diperkuat barisan persaudaraan dalam dimensi pluralitas, pada gilirannya akan menemukan kiblat perdamaian. Namun, perlu diingat bahwa perdamaian bukan suatu hal yang sekali jadi, melainkan suatu proses dari waktu ke waktu. Jika di tengah perjalanan terjadi kelumpuhan akibat konflik, visi persaudaraan menjadi prinsip dasar untuk diusung kembali. Dalam nada yang sama, sinodalitas akan meletakkan langkah kaki pada jalur perdamaian yang autentik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya