Krisis Sosial, Kartu Pra Kerja dan Arah Baru Kebijakan Pemerintah

“Dalam masa krisis, struktur-struktur yang tersembunyi dalam situasi normal kini menampakkan diri dan terlihat jelas.” Demikian tulis Ted Benton dan Ian Craib dalam salah satu bagian Filsafat Sosial (2009: 218-219).
Wujud realitas sebagai sesuatu yang otonom, karenanya akan menampakkan “ketelanjangan” manakala krisis menerpa kehidupan bersama. Dalam situasi krisis, dua akibat yang niscaya timbul adalah, reduksi nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam kehidupan sosial dan penguatan terhadap bobot nilai yang telah tumbuh dalam komunitas masyarakat.
Tidak ada efek netral yang diperoleh ketika berhadapan dengan sebuah krisis. Sifat realitas yang dinamis dan lentur bertendensi memberi satu pengaruh yang kelak merekonstruksi tatanan dalam hidup sosial.
Tesis yang dibangun Ted Benton dan Ian Craib sesungguhnya hendak mendukung pentingnya proyek realisme kritis yang dibangun oleh Roy Bhaskar, seorang filsuf sosial yang menaruh minat penuh pada upaya “merekonstruksi” bangunan sosial dalam masyarakat.
Tulisan sederhana ini hendak melihat krisis yang terjadi di tengah kehidupan negara dan langkah pemerintah dalam menanggulanginya. Penetapan kartu pra kerja akan dibahas secara khusus dengan terlebih dahulu menempatkan konsep tentang tugas negara dalam membangun kehidupan masyarakatnya. Keseluruhan penjelasan akan ditutup dengan arah baru bagi strategi pemerintah dalam menetapkan kartu pra kerja.
Simpang Siur Kartu Pra-Kerja
Penjelesan tentang kartu pra kerja harus dimulai dari konsep tentang tugas negara untuk menciptakan kehidupan yang adil dan berdaulat bagi seluruh masyarakatnya. Demokrasi sebagai sistem nilai dan Pancasila sebagai ideologi perlu ditempatkan dalam domain pemikiran yang utama. Negara membuka akses-akses yang memungkinkan terciptanya suatu tatanan hidup bagi masyarakat agar memperoleh kebaikan bersama. Konsekuensi etisnya, interese pribadi dan kelompok tertentu harus ditempatkan di luar dari kebutuhan hidup bersama sebagai suatu negara.
Joko Widodo, presiden Indonesia sejak kampanyenya dalam Pemilu Presiden beberapa tahun lalu telah ‘berjanji’ untuk memberi kartu pra kerja kepada masyarakatnya.
Kampanye yang menyulut kritik dari sejumlah pihak tersebut perlu dicermati secara lebih serius guna memberi pemahaman yang tepat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Fadli Zon, misalnya dalam nada mengejek menyebut proyek kartu pra kerja sebagai suatu bentuk kampanye yang “politis dan norak” (Detik news, diakses 18 April 2020). Nada sangsi serupa diungkapkan oleh Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor melalui Yaqud Cholil yang menyebut kebijakan Jokowi menetapkan kartu pra kerja sebagai langkah yang tidak efektif (Tirto.id, diakses 18 April 2020). Yaqud beralasan, di tengah pendemik covid-19 yang sedang melanda, masyarakat sesungguhnya membutuhkan bantuan langsung, bukan sebaliknya mencetuskan program yang belum jelas arah kerjanya.
Dua bentuk komentar tersebut lebih berpretensi melihat aspek idealisme dalam kartu pra kerja (oleh Fadly Zon) dan aspek konteks- keterdesakan pada kepentingan umum (oleh Yaqud Cholil). Sebagai antitesisnya, mereka melupakan substansi dan jangkauan yang hendak dicapai ketika presiden menetapkan program tersebut.
Tanpa menafikan komentar-komentar tersebut, satu hal yang saya pikir penting untuk diketahui adalah soal kebijakan pemerintah dalam menuntaskan sejumlah krisis sosial dalam negaranya. Jokowi, hemat saya adalah seorang pemikir realisme kritis. Ia melihat realitas dalam paradigma berpikir yang kritis. Di sana, realitas bukan sebuah dimensi yang monologal dan statis, tetapi sebaliknya menjadi obyek yang dinamis dan harus diusahakan perubahannya. Gerak realitas yang dinamis, berikut diperlihatkan dalam krisis yang dihadapinya perlu dipikirkan dalam paradigma yang komprehen untuk selanjutnya dicari jalan keluar yang tepat.
Kartu pra kerja merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah untuk memberi bantuan kepada para pencari kerja dan mereka yang sudah diberhentikan dalam pekerjaanya.
Lebih lanjut, proyek ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan keterampilan yang telah menjadi masalah nyata dalam angkatan kerja negara karena sistem pendidikan gagal menghasilkan lulusan dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh industri (Jakartapost, diakses 17 April 2020). Pemerintah akan memberi pelatihan guna meningkatkan kompetensi dan skill dari para pencari kerja atau mereka yang sudah diberhentikan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, kartu pra kerja bukan didayagunakan untuk para penganggur. Penegasan serupa diserukan oleh presiden Jokowi dalam beberapa pertemuannya terkait pemberlakuan kartu pra kerja.
Dikabarkan bahwa pemerintah akan menggodok dana sebesar 20 triliun untuk menetapkan anggaran bagi pemberlakuan kartu pra kerja. Dana yang besar tersebut akan diberikan kepada platform media yang menyediakan akses bagi pembentukan jejaring kerja dan bagi para pekerja sendiri dalam usahanya membentuk kompentensi kerja.
Pertimbangan tersebut memberi kita pemahaman bahwa kartu pra kerja sesungguhnya memiliki kekuatan alturistik yang sangat membantu masyarakat dalam mencari pekerjaan. Pemerintah menyediakan akses dan masyarakat diharapkan untuk memanfaatkannya secara tepat guna menumbuhkan kemampuan dalam bekerja. Sampai pada titik ini, hemat saya pro kontra seputar pemberlakuan kartu pra kerja akan sanggup dinetralisir.
Arah Baru Kebijakan Pemerintah
Dukungan atas proyek presiden untuk memberlakukan kartu pra kerja tentu perlu melihat sejumlah kritik yang disampaikan sebelumnya. Kritik tersebut patut dijadikan bahan perimbangan dalam mengolah arah baru bagi pemberlakuan kartu pra kerja. Hemat saya, pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi sudah seharusnya melihat konteks dan sarana penting yang menunjang penetapan kartu pra kerja.
Pertama, soal konteks. Jokowi selaku presiden seyogianya menunda pendaftaran dan pelatihan bagi para pencari kerja gelombang II yang dalam perencanaannya akan dilangsungkan pada tanggal 20 sampai 23 April mendatang. Hal ini mengingat masifnya penyebaran pendemik covid-19 yang sedang terjadi. Penundaan pendaftaran kartu pra kerja juga dimaksudkan memberi efisiensi bagi semua mereka yang ingin terlibat dalam proses pendaftaran dan pelatihan kerja.
Kedua, soal sarana prasarana. Perhatian berikut yang penting untuk dilakukan pemerintah adalah soal ketersediaan jejaring yang mendukung pendaftaran dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi bagi para pencari kerja. Akan menjadi persoalan tersendiri bagi para pencari kerja di kampung-kampung kecil mengingat pendaftaran kerja sangat membutuhkan akses informasi dan keterlibatan jejaring internet.
Sebaliknya, program ini lebih berpretensi mendukung mereka yang berada di kota-kota besar yang memiliki akses dan ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang. Pemerintah perlu memperhatikan persoalan ini untuk selanjutnya memberikan langkah-langkah praktis yang menunjang pendaftaran dan pelatihan bagi para pencari kerja.*
Artikel Lainnya
-
13504/05/2024
-
79509/02/2024
-
137612/10/2020
-
Gus Dur dan Islam Yang Toleran
151620/11/2020 -
170114/06/2020
-
Pandemi COVID-19 dan Euphoria Epidemiolog Dadakan
140524/03/2020