Hidup di Negeri Kelapa Sawit
Sejak kecil, saya dibesarkan di Jambi, sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Ekonomi Jambi sebagian besar mengandalkan pertanian. Sehingga, ketika kami mudik ke rumah nenek di Palembang kami akan melihat sepanjang jalan dari Jambi ke Palembang tersusun rapi deretan pohon karet yang mendominasi pertanian Jambi dan kelapa sawit yang porsinya lebih sedikit.
Setelah menikah, saya pindah ke Riau karena mengikuti lokasi tugas suami. Pertama kali memasuki wilayah Riau saya sangat terperangah karena sepanjang jalan yang saya lihat sebagian besar adalah pohon kelapa sawit, tersusun rapi dan panjang sekali, sampai sejauh mata memandang yang saya lihat hanya sawit, pemandangan berganti rumah penduduk hanya sebentar ketika kami melintasi pusat permukiman penduduk. Suami pun menjawab keheranan saya bahwa Riau memang penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Sampai ada anekdot bahwa plat kendaran Riau yang BM adalah singkatan dari “Banyak Minyak”, karena di atas negerinya ada kelapa sawit dan di bawahnya ada minyak bumi.
Di sini kami tinggal di Kabupaten Kuantan Singingi, kabupaten termuda kedua di Provinsi Riau. Hal yang menarik perhatian saya adalah harga bahan pokok di sini mahal sekali dibandingkan di Kota Jambi. Meskipun begitu, sangat jarang sekali saya temui rumah yang tidak memiliki sepeda motor, semiskin apapun. Sementara di Kota Jambi dahulu, bahkan di sekitar tempat tinggal saya, meskipun harga bahan pokok lebih murah namun masih banyak yang tidak memiliki motor.
Padahal asumsinya jika harga bahan pokok mahal, maka garis kemiskinan akan lebih tinggi. Sebab garis kemiskinan adalah jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Dan jika garis kemiskinan lebih tinggi maka akan lebih sulit penduduk mencapai garis kemiskinan tersebut, sehingga jumlah penduduk miskin seharusnya jadi lebih banyak.
Tapi kenyataanya, meskipun data BPS tahun 2020 menunjukkan garis kemiskinan Kabupaten Kuantan Singingi adalah Rp 580.453, lebih tinggi daripada Kota Jambi yang sebesar Rp 529.090, namun jumlah penduduk miskin Kabupaten Kuantan Singingi hanya 29,34 ribu orang, lebih rendah daripada Kota Jambi yang sebesar 50,44 ribu orang.
Ternyata faktor penolong Kabupaten Kuantan Singingi untuk bertahan meskipun harga bahan pokok tinggi adalah kelapa sawit. Di sini, pertanian kelapa sawit merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk. Sepertiga penduduk Riau adalah petani kelapa sawit. Sampai ada anekdot jika kita bertemu orang Riau secara random di jalan, 33,3 persen kemungkinannya ia adalah seorang petani kelapa sawit.
Kelapa sawit tidak hanya menguntungkan bagi petani pemiliknya, namun juga memberikan kesempatan kerja bagi para buruh tani. Sebab perawatan sawit membutuhkan bantuan para buruh yang upahnya dalam satu bulan saja bisa mencapai bahkan melebihi UMR Provinsi Riau. Dan pekerjaan para buruh ini tidak selesai dalam satu bulan saja tapi terus berlanjut setiap bulan, karena perawatan kelapa sawit harus terus dilakukan meliputi memanen, membersihkan piringan, memupuk, menyemprot rumput, dan lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan serendah apapun pendidikan laki-laki di sini, selama mereka punya tenaga, tidak sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok sebab mereka bisa menjadi buruh tani.
Keuntungan bagi para petani, tak usah ditanya lagi. Tahun 2020 ketika Indonesia dilanda Covid-19, justru banyak para petani yang bahkan beli mobil baru karena harga sawit sedang naik-naiknya. Covid-19 bukan mendatangkan kesulitan bagi para petani sawit namun malah keuntungan, karena selama Covid-19 harga sawit melambung tinggi.
Ada salah seorang petani sawit kenalan kami yang pada Oktober ini merasakan produksi sawitnya turun. Tapi lucunya pendapatannya malah naik hampir satu juta karena harga sawit yang meningkat beberapa ratus rupiah per kg dibandingkan September kemarin. Padahal ia hanya memiliki 6 hektar kebun. Bayangkan petani atau perusahaan yang memiliki ratusan hektar kebun sawit, kenaikan seratus rupiah per kg saja bisa menyebabkan kenaikan pendapatan sampai puluhan juta per bulan. Itu baru kenaikan pendapatannya saja, belum pendapatan totalnya yang tentunya berada di kisaran ratusan juta rupiah.
Sawit memang memberikan pendapatan yang besar bagi para petani dan pekerjaan bagi para buruh. Ditambah lagi dengan program biodiesel yang sedang dilakukan oleh pemerintah di dalam dan luar negeri menyebabkan permintaan sawit semakin tinggi.
Tapi di balik cerita indah itu, kita tidak dapat serta merta membuka lahan baru terus menerus untuk menambah produksi sawit. Sebab bumi kita sudah cukup renta dengan kerusakan lingkungan. Membuka lahan baru untuk sawit hanya akan mengurangi paru-paru dunia. Sebagaimana perkataan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsuadi, “Indonesia tidak mengorbakan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi”.
Hal yang harus dilakukan saat ini adalah memanfaatkan lahan kebun yang ada dengan semaksimal mungkin dan meningkatkan produktivitasnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, melakukan replanting kebun yang tua atau nonproduktif dengan bibit sawit unggul bersertifikat. Kedua, melakukan perawatan dengan benar.
Semua itu membutuhkan tidak hanya modal namun juga pengetahuan. Karena masih ada petani yang kaya namun pengetahunnya kurang, sehingga perawatan dan teknik pemupukan sawitnya hanya berdasarkan ilmu di kedai kopi, alhasil produktivitas sawitnya tidak maksimal. Di lain pihak, ada juga petani yang terbatas modalnya sehingga tidak dapat melakukan rangkaian perawatan dan pemupukan dengan maksimal.
Oleh karena itulah pemerintah dan lembaga nonprofit harus turun tangan memberikan bantuan kepada para petani berupa bibit unggul bersertifikat dan subsidi pupuk, serta mensosialisasikan teknik pemupukan yang benar.
Peningkatan produktivitas bukan hanya cita-cita belaka. Sebab dengan kondisi saat ini produktivitas kebun sawit Indonesia baru mencapai 2,70 ton/ha, padahal produktivitas sawit Malaysia bisa mencapai 3,96 ton/ha. Kondisi iklim Indonesia dan Malaysia tidak jauh berbeda, artinya yang berbeda adalah bibit dan teknik perawatannya. Jika petani Indonesia sudah mulai menggunakan bibit sawit unggul dan teknik perawatan yang baik bukan tidak mungkin produktivitasnya akan lebih tinggi dan mencapai kondisi optimum.
Kebun sawit yang ada saat ini adalah sumber daya alam yang belum tergali potensinya secara optimal. Jika kita mampu mengoptimalkan potensi tersebut dan menaikkan produktivitasnya hingga 4 ton/ha, di lahan yang sudah ada sekarang yakni 8,8 juta hektar, dan harga sawit diasumsikan Rp 2.500/kg, maka kita akan mengalami kenaikan pendapatan sektor pertanian hingga 264 trilyun rupiah per tahun atau setara dengan sepuluh persen PDB, dan efek dominonya juga meningkatkan industri pengolahan kelapa sawit, serta meningkatkan devisa negara yang bersumber dari ekspor CPO dan olahannya. Dan itu semua tanpa perlu membuka lahan sawit baru di Indonesia.
Kuncinya adalah kebijakan yang tepat dari pemerintah dan kerja sama dengan berbagai pihak terutama para petani, karena petani adalah ujung tombak dari kesuksesan sawit di Indonesia.
Artikel Lainnya
-
3101/01/2025
-
40010/06/2023
-
87030/11/2021
-
Menakar Pragmatisme Koalisi Partai Politik
28720/12/2023 -
Menggugat Penggunaan Seragam Sekolah
164812/05/2020 -
Urgensitas 'Amicus Curiae' Megawati Soekarnoputri
17018/04/2024