Menimbang Pluralitas dan Inklusifitas, Perlukah Sertifikasi Ulama?

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Menimbang Pluralitas dan Inklusifitas, Perlukah Sertifikasi Ulama? 15/12/2024 153 view Agama pngtree.com

Homo Homini Lupus merupakan ungkapan yang dipopulerkan Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan. Secara literal arti kalimat tersebut adalah “Manusia merupakan serigala bagi manusia yang lain”. Artinya, manusia rela melakukan apapun terhadap individu sejenisnya asal keinginannya dapat tercapai. Dalam tulisan ini kita akan mengambil falsafah kalimat tersebut dan kita tinjau ke dalam suatu fragmen realitas.

Miftah dan Bapak Sunhaji

Beberapa minggu yang lalu, terjadi sebuah peristiwa yang cukup menggemparkan Rakyat Indonesia, bahkan tersebar hingga Malaysia. Kejadian penghinaan verbal yang dilakukan oleh salah seorang penceramah, yakni Miftah Maulana Habiburrohman kepada penjual es teh bernama Sunhaji. Kejadian tersebut terjadi di Magelang, Jawa Tengah saat Gus Miftah berceramah di salah satu pengajian. Kejadian tersebut sontak menyulut emosi, terlebih ujaran tersebut ditujukan sebagai olok-olokan.

Selepas kejadian tersebut, dikabarkan Gus Miftah membeli habis seluruh dagangan Bapak Sunhaji dan meminta maaf. Permintaan maaf tersebut disampaikan bahkan ia mendatangi rumah penjual es teh tersebut. Kejadian tersebut diviralkan yang berujung pada terlacaknya jejak digital Gus Miftah yang berbau busuk. Bahkan, ia sampai mundur dari jabatannya sebagai utusan Presiden Prabowo.

Masyarakat menilai Miftah sebagai seseorang yang tidak pantas dihiraukan sebagai seorang pendakwah. Miftah dinilai tidak dapat mengontrol mulut buasnya yang seenaknya menerkam individu yang lain. Berbagai lapisan masyarakat pun menjauhinya, walaupun sebagian ada yang membelanya. Sebagian masyarakat mengusulkan perlunya sertifikasi ulama sebagai upaya pencegahan kejadian serupa terulang kembali. Permasalahannya adalah, apakah langkah tersebut merupakan langkah yang tepat?

Sertifikasi Ulama

Sertifikasi pendakwah dapat diartikan sebagai bukti yang melegitimasi kegiatan berdakwah. Dengan sertifikat tersebut, para pendakwah diharapkan dapat menjaga kualitas dan etika yang santun selama kegiatan berdakwah. Sertifikasi yang diharapkan dapat menjadi tolak ukur kompetensi para penceramah. Sehingga, materi yang disampaikan penuh makna dan tidak asal-asalan, ibarat pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya”.

Dalam beberapa media menyoroti langkah yang diambil Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Nasaruddin Umar untuk mengkaji adanya sertifikasi tersebut. Bagaimana tidak? Pihak istana mati-matian melakukan klarifikasi dan mengambil langkah bijak berkat ulah Miftah. Menurut Nasaruddin, pihak Kementrian Agama akan mengimplementasikannya apabila ditemui banyak keuntungan dalam sertfikasi pendakwah. Namun, apabila terdapat lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat yang didapat, maka pihak Kemenag tidak jadi menerapkannya. Lantas, apakah masih terdapat kekurangan dibalik usulan yang dilandasi niat positif tersebut?

Sertifikasi Pendakwah atau Etika Pendakwah?

Kejadian yang melatarbelakangi usulan tersebut selayaknya diperhatikan terlebih dahulu. Dalam kasus penghinaan verbal tersebut, Miftah sebagai pendakwah memiliki permasalahan dalam etika. Terkait kompetensi atau substansi materi ceramah, sebenaranya tidak ada patokan pasti dalam ceramah yang disampaikan tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan sebuah ceramah – misalnya – yang mengajarkan bahwasannya menikah sesama jenis diperbolehkan. Tentu perumpamaan latar belakang yang seperti itu selayaknya ditimbang secepat-cepatnya.

Apabila sertifikasi ceramah diadakan maka yang dapat diukur hanyalah kompetensi dan etika di atas kertas semata. Tidak ada yang dapat menjamin bahwasannya seseorang yang memiliki track record etika yang baik, maka ceramah yang disampaikan dengan cara yang baik pula kedepannya. Walaupun memang secara definitif akhlak merupakan sesuatu yang bersifat spontan yang tentunya berasal dari pengalaman dan lingkungan suatu individu hidup, tidak ada yang menjamin – sekali lagi – etika yang ditampakkan adalah serupa di waktu yang akan datang.

Jangan sekali-kali menyamakan sertifikasi pendakwah dengan sertifikasi SIM! Keduanya adalah hal yang berbeda. Sertifikasi SIM walaupun tidak dapat menjamin kepatuhan pemilik SIM setelah ia dites, yang diuji hanyalah komptensi. Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, yang menjadi permasalahan adalah etika ketika ia membawakan materi, bukan materi itu sendiri yang problematis.

Di samping itu, dengan adanya sertifikasi pendakwah, maka tolak ukur yang menjadi patokan merupakan permasalahan lain yang ikut terseret. Mengingat keragaman rakyat Indonesia yang heterogen dan pluralis, maka sertifikasi pendakwah hendaknya bersifat inklusif. Sementara dalam kasus dinamika pengajaran pemahaman Islam di Indonesia, permasalahan inklusifitas merupakan problem yang tidak kunjung tuntas. Intoleransi dan radikalisme yang berakar pada fanatisme tetap menjadi bawaan sifat yang tidak mudah dinetralkan. Menyamakan suara atau membuat kedamaian dalam rumpun agama ketika sertifkat pendakwah diterapkan merupakan tantangan yang tidak dapat dianggap remeh.

Korupsi, kolusi dan nepotisme sepertinya memiliki lahan untuk tumbuh subur. Tiga bersaudara tersebut memang menjadi faktor permasalahan lain di Indonesia. Sebagai negara yang setiap tahunnya diwarnai dengan polemik korupsi, bukankah kegiatan legitimasi tersebut menjadi tempat berkembang biak yang baik?

Tidak! Penulis tidak menolak adanya kebijakan sertifikasi, melainkan sangat mendukung usulan tersebut. Akan tetapi, realita yang beragam dan adanya kemungkinan kriminalitas merupakan poin-poin yang hendaknya diperhatikan. Menyoroti dampak negatif merupakan salah satu langkah yang mendukung terwujudnya kedamaian bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Menyelesaikan permasalahan merupakan kewajiban. Alangkah baiknya apabila metode penyelesaian yang diterapkan tidak menimbulkan konflik yang lain pula. Kedamaian dalam keberagaman merupakan keindahan yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya