Mengurai Masalah Fundamental Over Kapasitas Lapas

Kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mengalami kepadatan, di mana jumlah penghuni lebih banyak dibandingkan jumlah kapasitas yang disediakan oleh lembaga pemasyarakatan yang ada. Hampir seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan mengalami kelebihan kapasitas atau overcrowded yang merata.
Otoritas penyelenggaran lembaga pemasyarakatan tidak bisa berbuat banyak terhadap kelebihan kapasitas tersebut. Hal ini disebabkan pihak lapas yang hanya mempunyai kewajiban untuk menampung para tahanan dan warga binaan saja.
Over kapasitas pada mayoritas lembaga pemasyarakatan di Indonesia memerlukan perhatian serius dari semua pihak dan harus ditangani dengan sungguh-sungguh karena seringkali menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks jika didiamkan terus menerus. Contoh masalah yang dapat ditimbulkan antara lain masalah kesehatan, tidak berjalannya program pembinaan dengan baik, dan yang paling parah adalah kerusuhan di dalam lapas.
Sebenarnya kalau boleh jujur, kelebihan kapasitas penghuni lapas adalah persoalan klasik yang terjadi pada beberapa negara. Khususnya, di negara berkembang yang masih menerapkan mekanisme pemidanaan konvensional penjara dan Indonesia adalah salah satunya.
Dengan sistem pemidanaan penjara, akan sangat mungkin setiap lapas memiliki potensi over kapasitas. Apalagi di Indonesia yang memiliki jumlah penduduknya sebanyak 271 juta jiwa lebih.
Hal ini sesuai dengan teori hukum pidana yang menyatakan, “di mana ada manusia, di situ pasti ada kejahatan”. Jika semua kejahatan ditindak dengan pidana penjara, tentu lapas yang disediakan tidak akan pernah cukup.
Sahkan RUU KUHP
Perubahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR sepertinya akan semakin menambah panjang perjalanannya. Pembahasan RUU ini sudah berlangsung lebih dari 40 tahun, sejak awal mula dimunculkan sekitar era 1980an atau jaman orba sampai saat ini tak kunjung selesai.
Penyempurnaan rancangan KUHP terus dilakukan dan akhirnya diserahkan pada saat menteri hukum dan HAM dijabat Hamid Awaluddin pada 2004. RUU KUHP juga sempat dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005 sampai 2009. Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), RUU KUHP belum juga disahkan berlakunya. Bahkan sampai tulisan ini dibuat belum juga ada kejelasan kelanjutannya.
Banyaknya permasalahan yang terjadi pada proses pembuatan dan subtansi RUU KUHP sedikit banyak memengaruhi perjalanan pengesahan RUU KUHP. Sehingga, memerlukan waktu yang begitu lama untuk pengesahannya. Namun, hal ini tidak boleh menjadi sebab untuk kemudian menunda kelanjutan pembahasannya.
Bagaimanapun juga, kehadiran KUHP baru tersebut sudah sangat ditunggu karena akan memengaruhi sistem hukum di Indonesia. KUHP baru tersebut digadang-gadang sebagai aturan hukum yang mengutamakan pemulihan keadilan (restorative justice) dalam pelaksanaan pidana di Indonesia.
Berbicara persoalan di lapas sama artinya dengan berbicara tentang hulunya, yakni sistem hukuman. Sementara, sejauh ini pemerintah tak pernah memperhatikan permasalahan pada hulunya.
Mereka hanya berfokus pada persoalan yang terjadi di hilirnya. Hulunya ini yang sejak dari zaman kolonial tidak pernah tersentuh sampai saat ini. Wajar kalau kemudian hilirnya bermasalah sehingga lapas menjadi over kapasitas.
Untuk itu seluruh elemen masyarakat Indonesia harus saling bahu-membahu untuk terus menerus menyuarakan agar RUU KUHP segera di lanjutkan pembahasaannya dan segera di sahkan. Kalau tidak kita siapa lagi.
Revisi UU Narkotika
UU Narkotika mengatur bahwa kategori hukuman bagi penyalahgunaan narkotika terdiri dari tiga bagian yang ditentukan berdasarkan golongan. Golongan I adalah perbuatan yang diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Golongan II untuk dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Golongan III untuk pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam hal ditemukan indikasi bahwa seseorang merupakan penyalahguna narkotika yang masuk dalam ketiga kategori tersebut, maka berdasarkan Pasal 127 ayat (2) hakim wajib untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai pemberian rehabilitasi sebagaimana yang diatur dalam di Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. Kewajiban untuk proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika juga kembali ditekankan Pasal 127 ayat (3).
Pada realitannya, bagi pemakai narkoba biasanya mendapatkan jerat hukuman pidana. Ancaman hukuman diatur melalui Pasal 127. Pasal ini dikenakan untuk pihak mana pun yang mempunyai narkotika untuk disalahgunakan atau dicandu. Bagi pemakai narkoba, ancaman hukuman lebih ringan.
Ada dua macam ancaman yang diberikan yaitu menjalani rehabilitasi atau dipenjara dengan masa maksimal empat tahun. Adanya rehabilitasi bagi pecandu ini sesuai pula dengan ketentuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB yang menyatakan bahwa kecanduan merupakan penyakit kronis kambuhan yang bisa dipulihkan.
Perdebatan mengenai sanksi untuk pecandu narkotika telah melalui masa panjang antara memakai pendekatan kriminal atau pendekatan kesehatan. Di luar urusan kriminal, pecandu dianggap berhak memperoleh rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Menurut pendapat pribadi saya, penangkapan pecandu narkotika hanya menjadikan lembaga pemasyarakatan penuh jika belum ada prioritas pada rehabilitasi. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kapasitas penampungan lapas di seluruh Indonesia per September 2021 yaitu 130.107 orang. Namun, total penghuni lapas sudah mencapai 265.865 orang yang terdiri dari narapidana dan tahanan.
Dengan demikian, lapas di Indonesia memiliki kelebihan kapasitas mencapai 101,25 persen. Dari keselurahan kasus, lebih dari setengahnya adalah kasus terkait narkoba yaitu sebanyak 133.550 kasus.
Maka tidaklah pantas pengguna narkoba harus dihukum penjara sebab pengguna narkoba orang yang dalam keadaan sakit yang wajib diobati sampai mereka sehat kembali. Pemenjaraan bukan salah satu solusi bagi orang-orang yang mengalami kecanduan karena narkoba.
Artikel Lainnya
-
24926/04/2025
-
182414/06/2020
-
155518/01/2021
-
Pencerahan Spiritual: Etika Islam Al Ghazali Dalam Kehidupan Modern
58904/06/2024 -
Jokowi dan Kemunduran Demokrasi Indonesia
221530/01/2020 -
Covid-19, Realitas Virtual, dan Matinya Realitas Fisik
184925/10/2020