Kebangkitan Kristus Sebagai Kebangkitan Kesadaran Akan Toleransi Beragama

Paskah bukan sekadar perayaan tahunan yang penuh simbol dan liturgi. Bagi umat Kristiani, Paskah adalah inti dari iman dimana ketika Kristus bangkit dari kematian, mengalahkan maut, dan menghadirkan harapan baru bagi dunia. Namun lebih dari itu, Paskah juga menyampaikan pesan moral dan spiritual yang begitu dalam, pesan yang sangat relevan untuk masyarakat kita hari ini, terutama dalam hal toleransi beragama.
Kebangkitan Kristus bukan hanya tentang tubuh yang kembali hidup. Ia adalah simbol transendensi, pengampunan, dan kasih yang tak terbatas. Setelah disalibkan dengan kejam dan ditinggalkan oleh banyak orang yang mengaku setia, Kristus tidak kembali dengan amarah atau pembalasan. Ia justru datang dengan damai. Kalimat pertama yang diucapkan-Nya kepada para murid yang ketakutan adalah, “Damai sejahtera bagi kamu.” Sebuah sapaan yang menyejukkan dan penuh pemulihan. Dari sinilah kita belajar bahwa kebangkitan sejati selalu membawa damai, bukan dendam. Ia memulihkan yang retak, bukan merusaknya lebih dalam.
Dalam realitas bangsa yang begitu beragam seperti Indonesia, pesan ini menjadi sangat penting. Kita hidup berdampingan dengan berbagai suku, agama, dan kepercayaan. Idealnya, keberagaman ini menjadi kekuatan dan keindahan. Namun dalam praktiknya, kita masih menyaksikan banyak gesekan atas nama agama, banyak suara kebencian di media sosial, banyak diskriminasi dalam kehidupan nyata. Toleransi, yang seharusnya menjadi dasar hidup bersama, kadang justru dianggap sebagai kelemahan atau bahkan ancaman terhadap iman.
Padahal, toleransi lahir dari keyakinan yang dewasa. Ia bukan berarti mencairkan keyakinan pribadi, tetapi memahami bahwa setiap manusia berhak atas keyakinannya masing-masing. Kita tidak perlu sama untuk saling menghargai. Iman yang sejati tidak merasa terancam oleh perbedaan, justru menguat karena kasih yang melampaui batas.
Kristus sendiri memberi teladan hidup lintas batas. Ia berbicara dengan orang-orang yang dikucilkan masyarakat, menolong mereka yang berbeda latar belakang agama dan budaya, dan mengangkat martabat orang kecil tanpa memandang asal-usulnya. Semua ini adalah bentuk konkret dari moderasi dan toleransi yang ditanamkan dalam ajaran dan tindakan-Nya. Maka tak heran jika Paskah, yang merupakan klimaks dari kehidupan dan karya Kristus, dapat kita maknai juga sebagai ajakan untuk membangkitkan kembali kesadaran akan pentingnya hidup dalam damai bersama.
Di tengah gencarnya arus polarisasi identitas dan meningkatnya intoleransi, khususnya di ruang-ruang digital, kebangkitan Kristus bisa menjadi titik balik. Kita diajak untuk bangkit, bukan hanya secara rohani, tetapi juga secara sosial. Bangkit dari sikap saling curiga, bangkit dari egoisme kelompok, bangkit dari kebiasaan menghakimi yang berbeda, dan mulai membuka diri untuk berdialog serta bekerjasama lintas iman. Ini bukan sekadar soal etika sosial, tapi bagian dari tanggung jawab iman kita sebagai umat yang percaya kepada kasih yang tak bersyarat.
Paskah adalah pengingat bahwa terang selalu lebih kuat daripada gelap, bahwa kasih selalu lebih besar daripada kebencian. Maka, mari kita jadikan kebangkitan Kristus sebagai inspirasi untuk menghadirkan harapan dan toleransi di tengah dunia yang semakin keras. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang yang benar secara doktrinal tapi gagal mencintai. Dunia membutuhkan lebih banyak pribadi yang, dalam keyakinannya masing-masing, mampu menjadi jembatan bukan tembok antara sesama manusia.
Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia secara instan, tetapi kita selalu memiliki kuasa untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang konsisten, dan langkah pertama itu dimulai dari kesadaran untuk merefleksikan sikap serta tindakan kita sehari-hari. Dari cara kita berbicara apakah kata-kata kita membangun atau justru melukai, hingga bagaimana kita memperlakukan orang lain, terutama mereka yang berbeda pandangan, keyakinan, dan latar belakang. Setiap pilihan sikap yang penuh hormat dan kasih sesungguhnya adalah bentuk kecil dari perjuangan melawan kebencian dan prasangka.
Dalam keseharian, kita bisa memilih untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menghakimi, yang mau mendengarkan, dan yang rela memahami sebelum menilai. Kita bisa menghadirkan wajah agama yang ramah, yang tidak kaku dan menakutkan, tetapi justru mengundang rasa tenteram dan memanusiakan manusia dalam seluruh keberadaannya. Sebab pada akhirnya, iman yang tidak diwujudkan dalam kasih hanyalah gema kosong dimana nyaring terdengar namun hampa makna. Dan kasih yang tidak dilandasi oleh toleransi hanyalah slogan yang indah secara teori, tetapi tidak memiliki daya untuk menyentuh dan mengubah kehidupan nyata. Maka, perubahan yang kita dambakan bagi dunia ini bukan mustahil, asalkan kita berani memulainya dari dalam hati, dari pembenahan diri, dan dari niat tulus untuk menghadirkan kedamaian lewat tindakan-tindakan kecil yang bermakna.
Artikel Lainnya
-
180915/09/2019
-
49818/12/2024
-
63313/12/2022
-
Merekonstruksi Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi
98107/03/2022 -
188728/06/2021
-
Pendidikan Kreatif di Tengah PTM
111306/01/2022