Menggali Makna Hidup Bahagia dalam Cynicism
Bukan Taoisme ataupun Stoikisme, melainkan Cynicism. Kemungkinan aliran filsafat ini juga diperlukan dalam kehidupan saat ini. Bukan hal-hal materi, bukan kekayaan, dan bukan stabilitas hidup yang menjadi fokus. Sebaliknya, yang dikejar adalah kemampuan untuk hidup dengan penuh, secara alami, dan merasa bahagia. Aliran ini menganut prinsip hidup yang sederhana, sembrono, dan jauh dari kata nyaman, namun mampu memberikan kebahagiaan. Terdengar aneh, bukan?
Semua bermula dari sosok bernama Diogenes, yang disebut sebagai "Kynikoi" dalam bahasa Yunani, yang artinya "Filsuf anjing." Istilah ini kemudian bertransformasi menjadi "Cynic." Diogenes memiliki banyak pengikut, dan mereka mempraktikkan gaya hidup yang bebas, nomaden, dan tidak terikat pada apapun.
Praktek kehidupan Diogenes sangatlah ekstrem. Dia tidak memiliki rumah, jarang mandi, dan makan-makanan mentah serta merawat diri dengan sangat sederhana. Dia sering kali melakukan tindakan yang tidak senonoh seperti menggoda orang-orang kaya dan mencemooh mereka. Diogenes bahkan terkenal melakukan tindakan-tindakan seperti buang air kecil di tempat umum dan melakukan masturbasi di depan orang banyak. Tindakannya mirip seperti perilaku anjing liar. Meskipun demikian, filosofi yang dilakukan Diogenes ini ternyata diikuti oleh banyak orang.
Cynicism adalah aliran yang meyakini bahwa kebahagiaan sejati tidak tergantung pada hal-hal materi dan duniawi. Orang-orang Cynic menolak pandangan bahwa kebahagiaan dapat ditemukan melalui kekayaan, ketenaran, atau kekuasaan. Mereka meyakini bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dari dalam diri kita, bukan dari luar.
Kehidupan ala Cynicism seringkali berarti hidup dalam kondisi yang kurang nyaman. Namun, Cynicism mengajarkan kita untuk menerima penderitaan kita dan memanfaatkannya sebagai sumber kebahagiaan dalam hidup kita.
Setelah kematian Diogenes, aliran Cynicism mengalami pemfilteran dan perkembangan melalui generasi-generasi berikutnya. Beberapa praktik Diogenesyang dianggap terlalu ekstrem dihilangkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf generasi berikutnya. Akhirnya, Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf Prancis yang disebut sebagai "Diogenes baru," mengembangkan filosofi Cynicism yang telah melalui penyaringan ini.
Yang mana filososfi ini pada dasarnya, meyakini bahwa seni, pengetahuan, dan teknologi dapat merusak moral manusia. Hal ini disebabkan oleh pengaruh media-media di sekitar kita, termasuk saat ini media sosial, yang sering kali menggambarkan gambaran yang salah tentang kebahagiaan, yang terkait dengan memiliki harta berlimpah, rumah megah, mobil mewah, dan sebagainya.
Media sering kali menciptakan pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai ideal dan apa yang tidak. Padahal, seharusnya kita menentukan tujuan hidup kita sendiri, dan terlalu sering terpapar oleh media dapat membingungkan tujuan hidup kita.
Kita sering diyakinkan bahwa tujuan hidup kita adalah menjadi seperti mereka yang tampak di media, seperti menjadi miliarder, selebgram terkenal, atau mencapai kesuksesan yang besar. Hal ini karena citra yang dibangun oleh media tentang kehidupan tersebut terlihat ideal dan mudah. Akibatnya, kita tergoda untuk mengejar hal-hal tersebut dengan cara yang mungkin salah, seperti bermain judi slot, memamerkan diri dengan foto-foto seksi untuk mendapatkan like dan viewer, dan lain sebagainya. Hasilnya, pandangan kita tentang tujuan hidup yang sejati menjadi kabur.
Selanjutnya, dalam ajaran Cynicism, kita diajarkan untuk hidup secara penuh di sini dan pada saat ini. Terlalu sering, ketika kita dihadapkan pada masalah atau situasi yang sulit, kita cenderung tenggelam dalam pengandaian. "Andai saja saya tidak melakukan ini", "Andai saja musibah itu tidak menimpa saya" , dan seterusnya. Padahal yang sebenarnya perlu kita lakukan adalah membuka mata lebar-lebar terhadap situasi dan kondisi yang sedang kita alami pada saat itu. Karena itulah yang sebenarnya sedang terjadi. Dan bagaimana cara kita menghadapi situasi tersebutlah yang penting. Kita harus hadir dan terlibat secara penuh di sini dan saat ini, tanpa terganggu oleh pikiran-pikiran negatif atau pengandaian.
Kita dapat menikmati hidup ketika kita mengalihkan perhatian dari pikiran-pikiran yang mengganggu, tidak mengalihkan pikiran dan memendam rasa. Sebagai contoh, dengan mencari pelarian dengan terus bermain game atau menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, kita sebenarnya tidak hadir dalam saat ini. Kita tidak merasakan esensi sejati kehidupan. Dengan hidup secara hadir di sini dan saat ini, kita melatih diri untuk mengingat bahwa sumber kebahagiaan sebenarnya ada dalam diri kita sendiri. Segala tantangan yang datang, seberapa berat pun, kita terima dan kita rasakan dengan penuh kesadaran dan kebahagiaan.
Selanjutnya, dalam ajaran Cynicism, kita diajarkan untuk menjadi non-konformis. Artinya, kita tidak menjadikan status quo sebagai pedoman hidup kita. Status quo adalah keadaan yang tidak berubah seperti yang ada saat ini atau yang telah berlangsung sebelumnya. Tidak ada yang salah dengan mengikuti norma dan keseragaman sosial yang ada dalam masyarakat. Namun, jika kita merasa dalam diri kita bahwa mengikuti status quo membuat kita merasa bosan dan tidak puas, maka itu berarti kita belum hidup sepenuhnya. Status quo itu justru malah meredam nature asli kita dan tujuan sejati yang ingin kita capai.
Lingkungan sekitar kita memang secara tidak langsung telah mengajarkan kita untuk mengikuti status quo tersebut. Status quo mungkin mengajarkan kita untuk mengikuti sekolah, bekerja, memiliki pasangan, menikah, dan memiliki anak. Jika kita memilih untuk menjadi konformis dan mengikuti status quo itu, maka tidak ada yang salah dengan itu. Namun, jika itu bukan apa yang benar-benar kita inginkan, maka kita tidak sejalan dengan ajaran Cynicism. Jika kita tidak mengejar tujuan hidup sebenarnya yang ingin kita kejar, maka kita sama saja mati. Dan jika kita bisa mengukir kehidupan kita sendiri, maka mengapa harus mengikuti status quo.
Intinya, Cynicism adalah aliran filosofi yang ekstrem dan tidak selalu mudah dijalani. Namun, filosofi ini dapat memberikan kita pelajaran berharga dalam hal menerima penderitaan, mengatasi keadaan yang kurang menguntungkan, merasa kecil, namun tetap dapat meraih kehidupan yang penuh dan bahagia. Dengan cara kita menerima dan merasakan penderitaan dengan pikiran dan hati yang terbuka lebar. Hidup secara lebih autentik, mengejar tujuan sejati, dan menerima penderitaan sebagai bagian alami dari kehidupan.
Artikel Lainnya
-
146526/05/2020
-
353531/10/2024
-
211613/07/2020
-
Membangun Proyek Ilmu Manajemen yang Emansipatif Transformatif
163906/06/2020 -
Siapkah Jawa Tengah Menjadi Muara Baru Investor Asing?
129414/06/2020 -
Romo Mangun dan Perbaikan Pendidikan di Indonesia
112821/09/2022
