Menentang Mitos Anak-Anak STM Pericuh

Menentang Mitos Anak-Anak STM Pericuh 13/10/2020 3676 view Politik wikimedia.org

Masa muda ialah masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dalam garis kehidupan manusia. Masa ini ditandai dengan perubahan sisi biologis manusia yang cukup signifikan. Dalam masyarakat Jawa, perempuan dianggap telah memasuki masa muda ketika mengalami menstruasi pertama (biasanya berumur 9-14 tahun). Sedangkan bagi laki-laki ialah ketika mengalami mimpi basah (biasanya berumur 10-16 tahun).

Seseorang yang telah menjadi pemuda seringkali memiliki emosi dan sikap yang labil. Ketertarikannya pada suatu hal juga berubah-ubah. Meski demikian, cita-cita luhur merupakan landasan yang biasanya dipegang erat oleh pemuda. Pemuda akan memperjuangkan sesuatu yang dianggap benar hingga titik darah penghabisan. Tak syak lagi, Tan Malaka pernah mengatakan “Keberkahan terbesar seorang pemuda ialah idealisme”.

Akhir-akhir ini, kita menyaksikan demonstrasi-demonstrasi hebat dari para pemuda, dalam hal ini anak-anak STM. Barangkali pertama kali dalam sejarah Indonesia ada anak-anak SMK turut berdemonstrasi, karenanya begitu menggemparkan hingga berkali-kali disorot media. Bagaimanapun, demonstrasi ini telah mematahkan stigma yang terus disematkan kepada anak-anak SMK yakni, “Nakal, suka berkelahi dan tawuran”.

Dimulai dari demonstrasi dengan jargon #ReformasiDikorupsi yang menentang rencana pengesahan RUU KUHP karena berisi banyak poin-poin yang mengintervensi ruang-ruang privat rakyat, dan revisi UU KPK yang memperkosa hak-hak KPK dalam mengemban tugasnya.

Kemudian Demonstrasi menolak Omnibus Law yang lebih dikenal dengan Getol (Gerakan Tolak Omnibus Law), karena pasal-pasalnya yang kelak mengakibatkan nasib buruh semakin sengsara dan ekologi akan semakin merangsek ke ambang kerusakan.

Pelajar sekolah yang berdemontrasi—yang terwakili oleh anak-anak STM—kini mempunyai kesadaran politis. Anak-anak sesusia mereka yang sebelumnya sempat disangsikan untuk memimpin bangsa ini kelak—mengingat sikap apatis terhadap keadaan politik maupun lingkungan sekitar mereka—akhirnya telah tertekuk. Karena itu, kita patut bersyukur.

Keisyafan tersebut barangkali berawal dari pikiran bahwa dengan Undang-Undang tersebut, eksistensi mereka kelak kian tereksklusi. Sebagaimana umumnya, mayoritas dari mereka hanya berasal dari keluarga kelas buruh dan kaum miskin kota. Hidup dalam rumah yang kumuh dan sempit. Dengan lingkungan yang penuh dengan kebrutalan dan kejahatan.

Namun, alih-alih bangga, para pejabat negara justru geram. Selama demonstrasi #ReformasiDikorupsi berlangsung, mereka justru kerap mendapatkan tindakan represi dan kriminalisasi dari aparat kepolisian. Kita mungkin masih ingat bagaimana Lutfhi, salah seorang pelajar STM, ditahan dengan dalih menghina simbol negara mengingat ia terpotret membawa bendera saat berdemonstrasi.

Konon, saat ditahan ia kerap mendapatkan penyiksaan fisik. Patut dicatat, selama demonstrasi ini berlangsung 719 orang mengalami luka-luka dan 5 orang menjadi korban. Mereka yang selamat tak jarang terkena sanksi dan beberapa dikeluarkan dari sekolah.

Tak jauh berbeda, dalam demonstrasi Getol, praktik represi aparat kepolisian kembali terjadi. Banyak anak-anak STM yang ditangkap sebelum berdemonstrasi dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19. Saat berdemonstrasi pun mereka dipukuli, disemprot gas air mata, dan kemudian ditangkap. Ironinya, mereka diklaim sebagai gerombolan kelompok anarko yang ingin membuat kericuhan, yang karenanya wajib untuk ditangkap. Untungnya, tiada korban jiwa dalam demonstrasi ini.

Berbeda dengan aparat kepolisian yang merepresi mereka melalui tindakan, pejabat negara merepresi mereka melalui perkataan. Salah satunya datang dari seorang Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Ia menghimbau mereka untuk tidak turun ke jalan saat demonstrasi #ReformasiDikorupsi.

Ia menyarankan bahwa lebih baik mereka belajar di sekolah dan menyerahkan aspirasi mereka kepada kakak-kakak mahasiswa. Ia kemudian menambahi bahwa Indonesia memang menjamin hak-hak berpendapat, namun alangkah baiknya hal tersebut disampaikan dengan sopan dan santun.

Secara tak langsung, hal tersebut mengindikasikan bahwa orang-orang tertentu saja yang dapat ikut berdemonstrasi. Anak-anak STM hanya diperbolehkan untuk beraspirasi, bukan berdemonstrasi. Tetap saja pengibirian demokrasi terjadi. Bukankah demokrasi merupakan kebebasan menyatakan pendapat tanpa dirintangi oleh hambatan apapun, yang tentu saja dengan tujuan yang konstruktif?

Lalu, dalam koridor apa demonstrasi bisa disebut sopan dan santun? Bagaimapun, para demostran menginginkan demonstrasi yang damai, dan aspirasi mereka didengar oleh mereka yang duduk di istana. Namun, aparat kepolisian hampir selalu melakukan tindakan koersif, karena yang tertancap dalam pikiran mereka ialah para demonstran itu “pericuh, pengrusuh dan pemberontak”. Pertanyannya: Siapa yang dahulu memicu? Dan siapa yang semestinya diajari untuk bersikap sopan dan santun?

Aspirasi yang didengungkan oleh para demonstran pun jarang, atau bahkan tidak pernah, didengar oleh pejabat negara. Mereka cenderung mengabaikan. Contoh paling paripurna dari ini ialah Aksi Kamisan yang berlangsung rutin di depan istana negara. Sudahkah semua tuntutannya diaktualisasikan oleh mereka? Tentu saja tidak. Sehingga, seumpama ada demonstran yang melakukan kericuhan, dapat dikatakan merupakan sesuatu yang alamiah. Dan itu merupakan peringatan bagi mereka.

Kendati represi antara aparat kepolisian dan pejabat negara dengan bentuk yang berbeda, namun sebenarnya tujuannya sama: mendiskreditkan resistensi anak-anak STM. Dalam segi konteks, tujuan tersebut sama dengan pikiran Soeharto saat menginisiasi program Revolusi Hijau. Jika Soeharto belajar dari periode Soekarno, di mana kelangkaaan beras diperkotaan dapat memicu pemberontakan dan kerusuhan. Jika mereka belajar dari periode pra dan pasca proklamasi, di mana gelombang perlawanan pemuda dapat meluluhlantakkan kekuasaan Penjajah.

Bahkan, Benedict Anderson menegaskan bahwa pemuda, dan bukan kaum intelegensia atau kelompok-kelompok kelas yang terasingkan dalam percaturan perpolitikan saat itu yang mempunyai peran fundamental dalam revolusi Indonesia (Hadiz, 1989: 32). Di dalam novelnya yang berjudul Larasati, Pramoedya Ananta Toer merepresentasikan bagaimana gelora keberanian pemuda yang sangat besar dalam menghadapi tentara Belanda. Mereka tak pernah pantang mundur, menyerah dan surut dalam melancarkan baku tembak dengan tentara Belanda, sekalipun nyawa yang kemudian menjadi taruhannya. Belanda yang waktu itu bertekad menjajah kembali bangsa Indonesia, akhirnya bertekuk lutut dan terusir.

Sehingga, jika kemudian anak-anak STM diharamkan untuk berdemonstrasi, itu tak lebih dari kecemasan dan ketakutan akan robohnya kekuasaan para pejabat negara sekarang. Jangan kaget jika mereka geram.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya