Menakar Sengkarut Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Medis

Profesi tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam sistem layanan medis nasional. Dokter, perawat, bidan, serta tenaga medis lainnya menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, sering kali dalam kondisi yang penuh tekanan dan risiko tinggi. Namun, maraknya kasus tuduhan malpraktik yang mencuat ke publik menjadi momok bagi profesi ini. Tidak jarang tenaga medis harus berhadapan dengan tuntutan hukum yang belum tentu sepenuhnya mencerminkan keadilan. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi tenaga medis menjadi isu mendesak yang harus mendapatkan perhatian serius.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan membawa harapan akan perlindungan lebih baik bagi tenaga medis. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dalam aspek hukum serta melindungi tenaga medis dari kriminalisasi yang berlebihan. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal (1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sepanjang, melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi, serta kebutuhan Kesehatan Pasien.
Namun demikian, implementasi aturan ini masih menyisakan berbagai tantangan. Salah satu persoalan utama adalah masih kaburnya batasan antara risiko medis dan malpraktik. Tidak semua kejadian yang merugikan pasien dapat serta-merta dikategorikan sebagai malpraktik. Faktor kondisi pasien yang sudah kritis atau komplikasi medis yang tidak terduga sering kali menjadi penyebab utama hasil yang tidak diharapkan. Namun, dalam praktiknya, tenaga medis tetap menjadi pihak yang paling rentan menghadapi tuntutan.
Dalam Paragraf 5 mengenai Persetujuan Tindakan Pelayanan Kesehatan yang tertuang dalam Pasal 293 pada ayat dijelasan (1) Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan. Ayat (2) Persetujuan diberikan setelah Pasien mendapat penjelasan yang memadai. Pada ayat (3) paling sedikit mencakup: a. diagnosis; b. indikasi; c. tindakan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan dan tujuannya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; e. alternatif tindalan lain dan risikonya. f. risiko apabila tindakan tidak dilakukan; dan g. prognosis setelah memperoleh tindakan. Dilanjutkan ayat (4) bahwa Persetujuan dapat diberikan secara tertulis ataupun lisan.
Selanjutnya dalam Pasal 275 ayat (1) dijelaskan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Pasien dalam keadaan Gawat Darurat dan/ atau pada bencana. Selain itu, Ayat (2) dijelaskan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan dalam rangka tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kedisabilitasan seseorang pada keadaan Gawat Darurat dan/ atau pada bencana dikecualikan dari tuntutan ganti rugi.
Dalam konteks ini, diperlukan kebijakan yang lebih adil dan seimbang dalam menangani persoalan hukum tenaga medis. Sebab kondisi ini diperparah dengan ekspektasi masyarakat yang semakin tinggi terhadap layanan kesehatan. Kemajuan teknologi serta kemudahan akses informasi membuat pasien dan keluarganya semakin kritis dalam menuntut hak mereka. Sayangnya, tidak semua pihak memahami bahwa dalam dunia medis tidak ada kepastian mutlak. Setiap prosedur medis selalu memiliki risiko, meskipun telah dilakukan sesuai dengan standar profesi. Dalam beberapa kasus, tekanan dari keluarga pasien bahkan membuat tenaga medis sulit mengambil keputusan secara profesional, karena khawatir terhadap ancaman hukum yang membayangi.
Merujuk pada tuntutan pidana yang siap mengganjar tenaga medis. Sebagaimana Pasal 438 ayat (1) dijelaskan bahwa Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, dan/ atau Tenaga Kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama terhadap Pasien yang dalam keadaan Gawat Darurat pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dan Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Selanjutnya Ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal perbuatan mengakibatlan terjadinya kedisabilitasan atau kematian, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Lebih lanjut dalam Pasal 440 ayat (1) menjelaskan Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp250.000.O00,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). l2l Jika kealpaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 seharusnya dasar hukum dalam memberikan perlindungan hukum—tidak hanya kepada pasien; hak dan kewajibannya—yang lebih konkret. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memperjelas mekanisme penyelesaian kasus (apa betul tenaga medis telah benar-benar melakukan) kelalaian, kealpaan, maupun malpraktik medis, dengan memprioritaskan penyelesaian melalui lembaga etik kedokteran sebelum dibawa ke ranah pidana. Selain itu, peningkatan pemahaman hukum bagi tenaga medis juga menjadi kebutuhan mendesak. Sosialisasi yang lebih luas mengenai hak dan kewajiban tenaga medis dalam aspek hukum harus menjadi bagian dari kebijakan yang diterapkan di rumah sakit maupun institusi kesehatan lainnya.
Urgensi Peraturan Pemerintah
Selain aturan UU tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Regulasi ini mengatur secara rinci mengenai hak dan kewajiban tenaga medis, termasuk hak atas perlindungan hukum dalam menjalankan praktik sesuai standar profesi, standar pelayanan, prosedur operasional, dan etika profesi.
Berdasarkan Pasal 721 dalam peraturan tersebut, tenaga medis dan tenaga kesehatan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum sepanjang mereka bekerja sesuai dengan standar profesi dan kebutuhan kesehatan pasien. Selain itu, mereka juga berhak memperoleh informasi yang lengkap dari pasien atau keluarganya, imbalan yang layak, serta perlindungan atas keselamatan kerja dan jaminan kesehatan. Perlindungan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tenaga medis dapat menjalankan tugasnya dengan rasa aman dan terlindungi dari segala bentuk ancaman atau tekanan yang dapat mengganggu profesionalisme mereka.
Lebih lanjut, Pasal 722 menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi tenaga medis bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, menjamin mereka bekerja tanpa paksaan atau ancaman dari pihak lain, serta memastikan bahwa mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan kompetensi dan kewenangan profesi. Dalam hal terjadi permasalahan hukum, tenaga medis juga berhak mendapatkan bantuan hukum dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 723.
Selain perlindungan hukum dalam aspek profesional, regulasi ini juga menegaskan urgensi perlindungan terhadap tenaga medis dari perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, seperti kekerasan, pelecehan, dan perundungan. Pasal 731 menyatakan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan berhak menghentikan pelayanan kesehatan apabila mereka mengalami perlakuan yang tidak pantas dari pasien, keluarga pasien, rekan kerja, atau pihak manajemen fasilitas kesehatan, kecuali dalam kondisi gawat darurat atau bencana yang mengancam nyawa.
UU Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024 memperkuat perlindungan hukum tenaga medis, mencegah kriminalisasi, serta menjaga etika profesi dan keselamatan pasien. Akan tetapi, pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi yang ada tidak hanya berpihak pada kepentingan pasien, tetapi juga memberikan perlindungan bagi tenaga medis yang menjalankan tugasnya dengan itikad baik. Dengan adanya jaminan perlindungan hukum yang jelas, tenaga medis dapat bekerja dengan lebih tenang dan profesional tanpa khawatir akan konsekuensi hukum yang tidak adil. Kepercayaan mereka terhadap sistem hukum juga dapat meningkat, sehingga kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat tetap optimal.
Ketakutan terhadap kemungkinan jerat hukum seharusnya tidak menjadi penghambat dalam pelayanan kesehatan. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa tenaga medis memiliki rasa aman dalam menjalankan tugasnya tanpa risiko kriminalisasi akibat faktor yang berada di luar kendali mereka. Sementara tenaga medis dapat lebih fokus pada tanggung jawab yang menjadi kompetensinya, sehingga pelayanan kesehatan dapat berjalan secara maksimal demi kepentingan masyarakat luas.
Artikel Lainnya
-
149331/01/2020
-
113819/04/2020
-
218725/04/2022
-
75912/08/2023
-
Urbanisasi dan Dampak Lingkungan di Kota-kota Besar
236103/11/2024 -
191427/09/2019