Demokrasi Hawa Dingin

Demokrasi Hawa Dingin 12/08/2023 426 view Politik suara.com

Di Indonesia, antara akhir bulan Mei sampai akhir September mengalami musim kemarau. Ini berbeda dengan musim panas di Eropa dan Amerika, kemarau khas Indonesia, merupakan periode yang terik di siang hari dan teramat dingin saat malam. Terlebih apabila memasuki Agustus hingga awal September, suhu di Kota turun hingga 17,5 derajat C (BMKG, 2023).

Di bawah hawa dingin itu, orang-orang kampung akan cenderung mengurangi aktivitas di luar rumah. Jika pun ada urusan, mereka perlu membeli pakaian tebal dan kaos kaki. Para petugas keamanan bergaji rendah, bahkan sukarelawan di pos jaga, mereka sibuk menjaga nyala perapian. Karena apabila padam, mereka tidak bisa memberi rasa aman semalaman, bahkan untuk diri sendiri.

Belum lagi ketika adzan subuh berkumandang, hal itu kembali menjadi cobaan bagi yang menunaikan. Air wudhu yang suci seakan najis, sehingga kulit pun terasa enggan menyentuhnya. Bukan karena airnya kotor, melainkan orang-orang akan menggigil pada setiap basuhan. Kira-kira seperti itulah potret masyarakat kampung dan desa dataran tinggi ketika diserang hawa dingin.

Begitu pula kira-kira potret demokrasi kita dewasa ini. Untuk memahami analogi hawa dingin yang penulis sampaikan di atas dalam konteks demokrasi, maka harus dilanjutkan oleh beberapa pertanyaan. Mengapa orang kampung? Mengapa membeli baju tebal dan kaos kaki? Mengapa petugas keamanan bergaji rendah bahkan sukarelawan? Mengapa mereka menyalakan api? Dan mengapa orang enggan berwudhu?

Hawa dingin di sini memiliki makna praktik demokrasi oleh elit politisi dan pemangku kebijakan publik yang dihembuskan kepada orang kecil. Adapun orang kecil itu adalah masyarakat yang termarjinalkan oleh kebijakan publik. Mereka dituntut dengan angkuh untuk menuntaskan sejumlah uang pajak agar dapat disebut sebagai warga negara yang taat. Meski tak banyak aset yang mereka miliki, namun kurang lebih ada ketakutan untuk memiliki aset. Sebab, setiap aset yang belum tentu produktif akan diakumulasi sebagai kewajiban pajak ke negara.

Oleh karenanya, mereka hanya memiliki sepetak tanah untuk ditinggali yang letaknya pun di pedalaman kota. Yaitu lahan padat penduduk dengan sekat-sekat rumah minimalis; hanya ada ruang tamu, satu kamar, dan dapur yang ditumpangi toilet. Tidak perlu ada ruang keluarga, sebab hanya tersisa waktu untuk bekerja demi laba bersih daripada bersantai dengan orang-orang terkasih. Anak-anak yang tinggal di sana sering mendapat stigma nakal, kurang pandai dalam akademik, bahkan kumuh. Mau bagaimana lagi, mereka tidak dibesarkan di perumahan elit yang orang tuanya berpendidikan dan berpenghasilan tinggi.

Kita menganggap tempat itu sebagai kampung, padahal itu merupakan karya demokrasi yang angkuh. Yang hanya menuntut kewajiban mereka terhadap negara, tanpa kembalian sepeser pun yang mereka dapatkan dari negara. Ada indikasi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi; fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Atau justru ada pemahaman terbalik; mememlihara kemiskinan dan menelantarkan anak-anak fakir.

Padahal idealnya, seperti yang dikatakan Abraham Lincoln bahwa prinsip demokrasi adalah kekuasaan saling menguntungkan (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Apabila merujuk Torben Iversen dalam Capitalism, Democracy, and Welfare (2005), prinsip dari semua demokrasi adalah untuk kebijakan sosial. Yaitu meningkatkan pendapatan dari orang yang dibayar paling rendah, sekaligus mencegah tunjangan besar bagi orang bergaji tinggi.

Bukan menguntungkan segelintir elit penguasa dan memperlebar kesenjangan. Demokrasi dewasa ini bak hawa dingin, yang memaksa orang kecil membeli baju tebal dan kaos kaki dengan ongkos sendiri. Otomatis mereka memangkas ongkos makan sehari-hari agar tidak menggigil di bawah hawa dingin kebijakan publik. Demokrasi harus memberi kehangatan, sehingga mereka tidak terlampau sibuk menjaga perapian dari malam hingga pagi.

Jika itu dilakukan oleh pemangku kebijakan, orang-orang akan lebih produktif ketika pagi hari. Dan tentu mereka tidak takut mengawali hari dengan berwudhu, cuci muka, bahkan mandi. Karena yang dihembuskan oleh negara adalah demokrasi yang menghangatkan.

Tentu hal itu dapat terlaksana oleh sikap baik elit pemangku kebijakan. Buya Syafi’i Ma’arif pernah berkeluh kesah mengenai sulitnya membangun sistem demokrasi yang sehat. Menurutnya, demokrasi selalu menuntut rasa tanggung jawab moral yang besar dan sikap lapang dada dari setiap elit pemangku kebijakan dan masyarakat.

Jika para elit sadar akan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat, maka mustahil ada masyarakat yang khawatir haknya tidak terbagi. Moral itu akan menuntun perilaku penyelenggara demokrasi sehingga menghasilkan kesejahteraan. Di sisi lain, masyarakat harus berkenan ambil peran, mengawal upaya pemangku kebijakan yang memangkas kesenjangan sosial.

Memanfaatkan kendaraan demokrasi demi keuntungan sendiri adalah tindakan tidak bermoral. Praktik yang demikian tidak lain sama dengan membuat orang-orang kecil menggigil kedinginan. Mereka dihembuskan oleh hawa dingin kewajiban, namun mereka tidak mendapat hak dari sana, yang ada justru mereka harus mencari penghidupan sendiri. Hal-hal kecil dapat dilakukan dengan membangun empati, sadar akan tanggung jawab moral, dan menjauhkan diri dari tujuan-tujuan pragmatis dalam berdemokrasi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya