Hanya KPK Harapan Kita
Mahasiswa turun ke jalan untuk menolak RUU KUHP dan membatalkan UU KPK. RUU KUHP posisinya cukup jelas, ini belum layak disahkan karena banyak pertentangan. Namun UU KPK telah diketok palu oleh dewan yang terhormat yang tidak mau mendengar penolakan rakyat. Ratifikasi UU KPK tetap terjadi.
Barangkali situasi itu juga yang menyulut mahasiswa milenial. Generasi yang kita kira hanya akan meramaikan isu dengan bermain tagar, meme dan candaan di medsos. Lantas, apakah agenda pemberantasan korupsi kita pasca pengesahan UU KPK itu memang tiada harapan ?
Sebenarnya tidaklah berlebihan kalau kita bergantung pada KPK. Barangkali KPK adalah superhero nyata bagi bangsa. Ditengah kondisi kesejahteraan yang tidak pasti KPK adalah harapan bagi masa depan yg lebih baik.
Saat KPK mengumumkan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT), ribuan atau bahkan jutaan orang mencaci sekenanya. Media sosial memudahkan kita menyalurkan amarah itu. Namun bukan cuma amarah, kita juga pasti merasa lega. Ada yg menjaga kita dari ancaman maling. Maling yang kejam, karena bukan cuma uang yang dia curi, tanah, emas, ikan, apapun mereka bawa. Kalaupun ada yang tersisa, itu hanya recehan saja yang mereka berikan 5 tahun sekali waktu mereka butuh kita pergi ke TPS.
Itu kalau malingnya politisi, kalau birokrat? Habislah kita karena harus menunggu birokrat maling itu pensiun satu per satu. Itupun bisa jadi angan-angan saja, karena nyatanya para birokrat maling itu sudah mewariskan "kebiasannya" pada para juniornya. Seperti yang semua orang ketahui, patronase dalam politik dan birokrasi kita sangat kuat, susah untuk diberantas, bahkan dengan agenda reformasi.
Mari kita buat daftar siapa saja yg bisa menyelamatkan kekayaan kita.
Dari internal birokrasi, institusi publik memiliki Inspektorat. Lembaga ini berfungsi sebagai alat kontrol bagi berjalannya kebijakan dan program tiap institusi. Inspektorat akan memonitor mulai dari proses perencanaan, implementasi, kinerja kebijakan, hingga mengevaluasi baik subtansi, ketercapaian maupun laporan keuangan program. Tujuannya jelas, meluruskan kembali program yang melenceng atau bahkan tidak terselenggara. Namun, apa hukumannya bagi instansi yang kedapatan tidak menjalankan program dengan baik? Tidak ada.
Para Dirjen, Kepala Dinas atau pejabat dibawahnya santai saja apapun hasil pemeriksaan dari inspektorat. Teguran dari Inspektorat hanya dianggap sapaan dari teman satu lingkungan kerja. Karena pada dasarnya, bukanlah kinerja yang dipertimbangkan untuk menduduki jabatan karir, namun kedekatan dengan elit politiklah yang menentukan. Gambaran ini tidaklah mencerminkan semua kinerja Inspektorat, namun cukup untuk digunakan menggeneralisir temuan sejenisnya.
Kedua, ada Kejaksaan Agung. Hirariki kejaksaan agung dibawah presiden cukup membatasi kinerja pemberantasan korupsi. Conflict of interest semakin membesar bila teman di eksekutif terlibat kasus korupsi. Jaksa Tipikor sering berada pada posisi dilematis tadi, yang juga menjadi alasan kenapa kejaksaan kita seakan tumpul dalam penyelidikan kasus korupsi. Padahal kejaksaan ini seharusnya berada pada barisan depan agenda pemberantasan korupsi. Kondisi dilematis ini akan dengan mudah teratasi bila kejaksaan agung memiliki komitmen dan integritas dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga, ada kepolisian. Sama dengan kejaksaan agung, kepolisian ini memiliki conflict of interest bila terkait dengan agenda elit, baik di eksekutif maupun legislatif. Selain itu, mengharapkan kepolisian serius berada di barisan depan pemberantasan korupsi juga hampir mengada-ada. Pekerjaan rumah kepolisian merentang luas mulai dari masalah selingkuh sampai kartel narkoba yang belum terselesaikan.
Keempat, ada Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga tinggi inilah yang seharunya berperan besar dalam lenyapnya korupsi di bumi Indonesia. Tugasnya jelas, mengaudit keuangan seluruh instansi pemerintah di semua level. Namun banyaknya kasus jual beli opini WTP menggerus harapan kita sampai titik nadir. Lagian, WTP itu tidak jelas fungsinya hari ini karena banyak kepala daerah, pejabat di kementerian yang meraih WTP malah terkena kasus korupsi setelah tahun berganti.
Terakhir dan paling penting yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat. Harus kita akui bersama, merekalah yang harus menjadi pahlawan pemberantasan korupsi yang sebenar-benarnya. Alasannya jelas, fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran melekat di lembaga ini.Tapi dalam kenyataannya, mereka sering berseberangan dengan aspirasi rakyat yang mereka wakili. Kata representasi rakyat sama sekali tidak tercermin dari para anggota dewan terhormat yang kini diteriaki dan dicaci rakyatnya sendiri di depan gedung DPR.
Benar kata mahasiswa, Refromasi Dikorupsi. Kita sedang melawan oligarki, kebobrokan yang menginfeksi seluruh institusi. Hanya KPK yang tersisa, dan harapan seluruh rakyat yang kembali tergugah oleh seruan aksi mahasiswa.
Artikel Lainnya
-
11583719/08/2020
-
18102/07/2024
-
23125/09/2024
-
Jacques Rancière: Kesetaraan dan Demokrasi
234225/04/2021 -
Menerka Messi dengan Tugas Barunya
103014/08/2021 -
Al Kindi: Muslim yang Menyelaraskan Agama dan Filsafat
498430/04/2022