Menakar Potensi Kritisisme Gen Z Era Prabowo

Dosen Ilmu Komunikasi, dan Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi (PK Gebrak) UNP
Menakar Potensi Kritisisme Gen Z Era Prabowo 31/10/2024 596 view Politik cubic.id

Generasi Z (Gen Z) adalah kelompok demografi yang memiliki potensi paling besar saat ini dalam konstelasi sosial dan politik Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas. Mereka lahir pada rentang tahun 1997-2012, sehingga usia mereka kini berkisar 12-27 tahun. Dengan persentase terbesar, yaitu mencakup lebih dari 27,94% dari total penduduk (sensus penduduk 2020), Gen Z memiliki daya pengaruh yang signifikan dalam memobilisasi opini publik, terutama melalui platform digital. Terlebih, pada peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia nanti, usia mereka berada pada usia produktif, 33-48 tahun. Dapat dipastikan, di tangan merekalah negara ini dipimpin di peringatan Indonesia emas.

Gen Z dikenal sebagai digital native, kehadiran mereka langsung disambut oleh perkembangan teknologi digital dan semakin masifnya ketergantungan masyarakat dunia terhadap internet. Dengan bekal takdir zaman yang menggelayutinya, generasi Z disebut juga sebagai generasi yang (paling) melek teknologi. Karakteristik lain dari generasi ini adalah sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah dan kesadarannya yang tinggi terhadap isu-isu ketimpangan sosial.

Tantangan terbesar bagi generasi Z adalah lemahnya daya baca. Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 81 negara dengan skor membaca 359, turun 12 poin dari data tahun sebelumnya (medcom.id, 6/12/23). Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun Gen Z terhubung dengan teknologi dan sangat aktif dalam media sosial, ada kekhawatiran mengenai rendahnya literasi informasi yang pada gilirannya memengaruhi literasi informasi secara nasional.

Tantangan Kritis

Dalam konteks pemerintahan Prabowo, Gen Z akan menghadapi tantangan untuk tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Menurut laporan Ipsos, Gen Z cenderung lebih progresif dalam pandangan politik dan sosial mereka, menolak otoritas yang represif, dan cenderung mendukung kebijakan inklusif (ipsos.com, 8/5/24). Namun, di bawah pemerintahan Prabowo, yang diprediksi akan fokus pada stabilitas keamanan dan politik, ada potensi gesekan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh Gen Z. Hal ini terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan yang berpotensi mengabaikan partisipasi aktif kelompok ini dalam dinamika demokrasi.

Gen Z juga menunjukkan potensi kritisisme yang besar terkait isu-isu kesejahteraan pekerja. Sebagai generasi yang mendominasi pasar kerja masa depan, mereka terlibat langsung dengan tantangan ketidakpastian kerja, ketimpangan upah, dan kurangnya akses terhadap pekerjaan layak.

Beberapa media main-stream menyorot bagaimana Gen Z menghadapi masalah ketidakamanan kerja, dengan banyak dari mereka terjebak dalam pekerjaan dengan status kontrak atau informal (kumparan.com, 19/9/24). Situasi ini, jika tidak ditangani dengan cermat oleh pemerintahan Prabowo, dapat memicu resistensi dari kelompok ini terhadap kebijakan ekonomi dan sosial yang tidak berpihak pada pekerja muda.

Krisis Kesehatan Mental

Di samping hal-hal penting tersebut, isu kesehatan mental juga berpotensi menjadi masalah mendasar yang dihadapi oleh Generasi Z di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kompas melaporkan bahwa krisis kesehatan mental menghantui Gen Z, dengan meningkatnya kasus kecemasan dan depresi (kompas.id, 10/7/23).

Dalam konteks pemerintahan Prabowo, kebijakan yang mendukung kesejahteraan mental masyarakat, khususnya generasi muda, akan menjadi tantangan besar. Jika pemerintah gagal untuk serius menangani potensi problema di bidang ini, kita bisa melihat munculnya gerakan sosial yang semakin vokal menuntut reformasi sistem kesehatan mental yang dipimpin oleh generasi ini.

Selain kesehatan mental, peneliti dari Universitas Ahmad Dahlan juga mengidentifikasi bahwa Gen Z menghadapi masalah spiritualitas yang rendah. Generasi ini cenderung lebih materialistis dan individualistis dibandingkan generasi sebelumnya. Kondisi ini berpotensi melemahkan ketahanan moral mereka dalam menghadapi tantangan politik dan sosial yang lebih besar (newsuad.ac.id). Dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo, spiritualitas yang rendah ini dapat menjadi tantangan bagi Gen Z untuk tetap konsisten dalam perjuangan kritis mereka.

Potensi Kritisisme

Meskipun tantangan-tantangan internal mengemuka, potensi kritisisme Gen Z tidak dapat diremehkan. Manuel Castells dalam teori jaringan gerakan sosial menyatakan bahwa generasi yang tumbuh di era digital memiliki kemampuan untuk memobilisasi gerakan sosial secara cepat melalui teknologi dan media sosial (2005). Gen Z, yang sangat terhubung dengan teknologi, telah banyak terbukti mampu memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan kritik dan membangun kesadaran kolektif tentang isu-isu politik dan sosial.

Gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 adalah salah satu contoh di mana Gen Z memanfaatkan media sosial untuk mengorganisir demonstrasi besar-besaran melawan pelemahan KPK dan UU Cipta Kerja. Belum lagi gerakan demonstrasi yang menuntut implementasi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengenai ambang batas elektoral parpol dalam mengajukan Cakada dan batas usia minimal Cakada pada Agustus 2024 lalu.

Di era Prabowo, di mana kebijakan yang lebih konservatif dan otoriter mungkin diperkenalkan, Gen Z memiliki potensi untuk (kembali) memobilisasi kritik melalui platform digital. Mereka telah membuktikan bahwa meskipun daya baca mungkin lemah, kemampuan mereka untuk menyebarkan pesan kritis dan memobilisasi dukungan sangat efektif di dunia maya.

Akhirulkalam, generasi Z di Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan kritis di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan populasi yang signifikan dan keterampilan digital yang kuat, terbuka kesempatan lebar bagi generasi Z memobilisasi gerakan sosial yang menantang kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Namun, tantangan seperti lemahnya daya baca, krisis kesehatan mental, dan rendahnya spiritualitas dapat menghambat kemampuan mereka untuk melontarkan kritisisme yang efektif dan konsisten.

Dalam situasi ini, potensi kritisisme Gen Z akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan internal dan memanfaatkan teknologi untuk mengorganisir perlawanan. Jika Gen Z dapat mengatasi kelemahan-kelemahannya dan konsisten menjaga daya kritis melalui peningkatan literasi informasi, mereka berpeluang besar untuk memainkan peran penting dalam menghidupkan demokrasi Indonesia. Peran mereka sangat ditunggu, baik di masa pemerintahan Prabowo Subianto, juga di masa pemerintahan Presiden (-Presiden) berikutnya hingga 100 tahun Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya