Membongkar Narasi Patriarki: Mengapa Perempuan Dihakimi dan Pria Pelaku Dibebaskan?

Ketidakadilan gender telah menjadi isu global yang terus diperbincangkan, terutama dalam konteks bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan korban kekerasan dan pria sebagai pelaku. Dalam banyak kasus, perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik atau emosional tetapi juga harus menanggung beban stigma sosial yang berat.
Sebaliknya, pria sebagai pelaku sering kali lolos dari tanggung jawab moral dan hukum, terlindungi oleh narasi patriarki yang mendominasi budaya dan institusi sosial. Opini ini mengeksplorasi bagaimana struktur patriarki menciptakan ketidakadilan ini, bagaimana feminisme menawarkan solusi melalui kritik sistemik dan gerakan transformasional, serta bagaimana isu-isu terkini memengaruhi perjuangan feminis dalam konteks global dan lokal.
Narasi Patriarki: Korban yang Disalahkan, Pelaku yang Dimaklumi
Patriarki adalah sistem sosial yang memberikan dominasi dan privilege kepada pria sekaligus menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi. Dalam sistem ini, perempuan sering kali dipandang sebagai penjaga moralitas dan nilai-nilai keluarga, sementara pria dianggap memiliki kebebasan yang lebih besar atas tindakan mereka. Ketika kekerasan berbasis gender terjadi, narasi patriarki cenderung menyalahkan korban perempuan dengan dalih-dalih seperti pakaian, perilaku, atau situasi di mana mereka berada. Fenomena ini dikenal sebagai victim-blaming, yang tidak hanya menambah trauma korban tetapi juga memperkuat budaya impunitas bagi pelaku.
Dalam kasus pelecehan seksual, misalnya, pertanyaan seperti "Apa yang dia kenakan?" atau "Mengapa dia berada di tempat itu?" sering kali digunakan untuk menyudutkan perempuan korban. Penelitian Ryan (1971) dalam Blaming the Victim menyoroti bahwa pelabelan ini adalah upaya untuk mengalihkan tanggung jawab dari pelaku ke korban, yang mencerminkan bias gender sistemik. Di Indonesia, kasus Baiq Nuril menjadi contoh nyata bagaimana hukum pun dapat menjadi alat patriarki yang memperkuat victim-blaming. Baiq, seorang pegawai negeri yang menjadi korban pelecehan verbal, justru dipidana karena merekam bukti pelecehan tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa struktur hukum sering kali tidak berpihak pada perempuan korban, bahkan dalam kasus di mana bukti jelas menunjukkan keberadaan pelaku.
Sebaliknya, pria yang menjadi pelaku kekerasan sering kali dilindungi oleh narasi sosial yang membenarkan tindakan mereka. Banyak pelaku kekerasan mendapatkan simpati publik atau bahkan pembenaran atas tindakan mereka dengan alasan-alasan seperti "tekanan emosional" atau "ketidaksengajaan." Kasus global seperti perseteruan antara Johnny Depp dan Amber Heard menunjukkan bagaimana narasi publik lebih sering berpihak pada pria meskipun bukti kekerasan ada. Narasi ini memperlihatkan bagaimana budaya patriarki memberikan ruang lebih besar bagi pria untuk membela diri, sementara perempuan harus menghadapi stigma ganda sebagai korban sekaligus "pemicu" kekerasan.
Feminisme sebagai Kritik terhadap Patriarki
Feminisme, sebagai gerakan sosial dan intelektual, telah lama mengkritisi dominasi patriarki. Sylvia Walby (1990) dalam Theorizing Patriarchy menjelaskan bahwa patriarki tidak hanya beroperasi di ruang privat, seperti keluarga, tetapi juga dalam institusi publik seperti hukum, media, dan pendidikan. Feminisme tidak hanya berusaha mengungkap bagaimana patriarki bekerja tetapi juga menawarkan solusi untuk mengubah struktur ini.
Salah satu pendekatan feminisme yang relevan dalam konteks ini adalah teori interseksionalitas yang dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw. Interseksionalitas menyoroti bahwa pengalaman perempuan korban kekerasan tidak bisa dipisahkan dari faktor-faktor seperti ras, kelas, dan agama. Dalam konteks Indonesia, perempuan dari komunitas marginal, seperti buruh migran atau masyarakat adat, menghadapi tingkat kekerasan yang lebih tinggi dan cenderung tidak mendapatkan akses keadilan yang memadai. Feminisme interseksional menawarkan pendekatan yang lebih inklusif untuk memahami kompleksitas ketidakadilan gender, termasuk bagaimana berbagai identitas sosial memengaruhi pengalaman perempuan.
Selain itu, feminisme juga menyoroti pentingnya perubahan budaya melalui pendidikan gender. Pendidikan gender bertujuan untuk membongkar stereotip gender yang merugikan perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan harus menjadi penjaga moralitas atau bahwa kekerasan pria adalah bagian dari "sifat alami" mereka. Dalam konteks ini, reformasi pendidikan yang memasukkan nilai-nilai keadilan gender adalah langkah penting untuk membangun generasi yang lebih sensitif terhadap isu-isu ketidakadilan.
Isu-Isu Terkini: Feminisme Digital dan Tantangan Baru
Era digital membawa tantangan baru bagi gerakan feminis. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara tentang pengalaman mereka, seperti yang terlihat dalam gerakan #MeToo. Di sisi lain, media sosial juga menjadi arena baru bagi misogini. Perempuan yang bersuara sering kali menghadapi serangan siber, pelecehan verbal, dan ancaman fisik. Amnesty International (2023) dalam laporan Toxic Twitter mencatat bahwa perempuan yang berbicara tentang isu kekerasan berbasis gender di platform digital menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi target serangan.
Gerakan #MeToo telah membuka ruang dialog global tentang kekerasan berbasis gender, tetapi juga memunculkan backlash berupa gerakan tandingan seperti #NotAllMen dan #MenToo. Sementara #NotAllMen berusaha mengalihkan perhatian dari isu sistemik kekerasan terhadap perempuan, #MenToo sering kali digunakan untuk menyamakan pengalaman pria sebagai korban dengan perempuan tanpa mengakui ketimpangan gender yang sistemik. Feminisme digital harus menghadapi tantangan ini dengan memperkuat narasi berbasis data dan solidaritas lintas gender.
Di Indonesia, tantangan feminisme digital semakin rumit karena budaya patriarki yang kuat dan resistensi dari kelompok konservatif. Narasi agama sering kali digunakan untuk menyudutkan feminisme sebagai "ancaman terhadap nilai-nilai tradisional." Padahal, feminisme dalam konteks Indonesia justru dapat bekerja seiring dengan nilai-nilai keadilan dalam agama, seperti yang tercermin dalam konsep rahmatan lil alamin dalam Islam.
Reformasi Hukum dan Harapan Baru
Reformasi hukum adalah salah satu langkah strategis untuk mengatasi ketidakadilan gender. Di tingkat global, Spanyol telah memperkenalkan undang-undang progresif yang melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan emosional. Di Indonesia, pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 2022 merupakan langkah maju yang signifikan. Namun, implementasi undang-undang ini masih menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi budaya dan keterbatasan sumber daya
Selain reformasi hukum, feminisme juga menekankan pentingnya layanan dukungan untuk korban. Pusat-pusat krisis, hotline, dan layanan konseling menjadi bagian penting dari perjuangan feminis untuk memberikan akses keadilan yang lebih luas bagi perempuan korban kekerasan.
Membangun Masyarakat yang Lebih Adil
Narasi patriarki yang menyalahkan perempuan korban dan membebaskan pria pelaku bukan hanya masalah individu tetapi juga sistemik. Feminisme, melalui pendekatan teoritis dan gerakan praktis, menawarkan kerangka kerja untuk membongkar narasi ini dan menciptakan masyarakat yang lebih adil. Dari reformasi hukum hingga pendidikan gender, feminisme telah menunjukkan bahwa perubahan adalah mungkin jika ada komitmen kolektif.
Ketidakadilan gender adalah masalah yang harus diatasi oleh semua pihak, tidak hanya oleh perempuan. Dalam dunia yang semakin terkoneksi secara digital, perjuangan untuk keadilan gender membutuhkan solidaritas lintas gender dan lintas budaya. Feminisme tidak hanya tentang pembebasan perempuan tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih manusiawi bagi semua.
Artikel Lainnya
-
3410/10/2025
-
131230/04/2021
-
171006/08/2020
-
Kritik Ibnu Rushd Terhadap Al-Ghazali dalam Karya Tahafut Al-Tahafut
70130/11/2024 -
Etika dalam Cinta: Kajian Filosofis terhadap Pemikiran Ibn Hazm
14016/12/2024 -
New Normal dan Kita Yang Belum Siap
97031/05/2020