Memperjuangkan CPO atas Diskriminasi dari Uni Eropa

Mahasiswa
Memperjuangkan CPO atas Diskriminasi dari Uni Eropa 21/12/2023 312 view Politik koridor.co.id

Bagi suatu negara yang menjalankan perdagangan dan investasi dalam lingkup internasional tentu tak terhindarkan dari potensi konflik atau perselisihan antar aktornya, tidak terkecuali bagi Indonesia. Hal ini terbukti dengan Indonesia tercatat telah beberapa kali terlibat sengketa dagang dalam menjalankan perannya di pasar internasional.

Salah satu konflik perdagangan luar negeri Indonesia yang hingga kini masih berlanjut adalah sengketa dagang Indonesia dan Uni Eropa terkait minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Konflik ini terjadi akibat kebijakan Uni Eropa untuk mengurangi konsumsi kelapa sawit dan turunannya demi melestarikan lingkungan. Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia, tentu saja melihat kebijakan ini sebagai sesuatu yang menjadi ancaman serius. Polemik ini telah berjalan selama bertahun-tahun dan hingga kini Indonesia masih terus memperjuangkan ekspor CPO atas Uni Eropa.

Permasalahan ini dapat kita tarik awal mulanya saat kemunculan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) oleh Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB). Salah satu aspek yang menjadi poin penting dari SDGs adalah lingkungan, hal ini kemudian menjadi perhatian masyarakat internasional termasuk juga Uni Eropa. Terjadi perubahan penggunaan energi menjadi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di kawasan Uni Eropa yang merupakan hasil dari komitmen Uni Eropa untuk menjaga lingkungan.

Lalu dalam konteks minyak kelapa sawit, CPO dihubungkan dengan deforestasi hutan, kerusakan pada keanekaragaman hayati, hingga kebakaran hutan yang menjadi penyebab emisi gas. Uni Eropa kemudian mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat membatasi penggunaan CPO dan mempersulit masuknya CPO ke wilayah mereka.

Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan RED II yang diajukan kepada parlemen Eropa sebagai revisi dari RED I yang kemudian ditetapkan pada 11 Desember 2018. CPO dikategorikan sebagai komoditas dengan Indirect Land Usage (ILUC) yang memiliki risiko kegagalan tinggi berdasarkan peraturan pelaksanaan RED II. Melalui kebijakan ini, Indonesia dianggap telah melakukan deforestasi hutan dalam proses produksi CPO.

Dengan dikaitkannya CPO Indonesia dengan isu kesehatan dan juga lingkungan tentu Indonesia tidak bisa tinggal diam, sebab hal ini akan menjadi penghambat dalam proses ekspor CPO yang dilakukan Indonesia. Hal ini mengkhawatirkan karena Indonesia termasuk salah satu negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Bahkan menurut data United States Department of Agriculture (USDA) pada periode 2023/2024 yang sedang berjalan, Indonesia menjadi produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi hingga 47 juta metrik ton (MT) dan menyumbang sampai 59% produksi CPO dunia.

Uni Eropa yang membatasi ekspor CPO dari Indonesia merupakan salah satu tujuan besar ekspor CPO Indonesia itu sendiri. Pada tahun 2012 Uni Eropa adalah tujuan terbesar kedua dari pengeksporan CPO Indonesia dan merupakan sumber penghasilan terbesar yang ketiga bagi Indonesia. Isu ini dapat mempengaruhi keseluruhan industri kelapa sawit Indonesia yang berdampak kerugian yang cukup besar. Meskipun Uni Eropa merencanakan untuk memulai implementasi kebijakan pada 2024, sudah terlihat adanya indikasi penurunan harga kelapa sawit.

Indonesia merasa tindakan yang dilakukan Uni Eropa merupakan diskriminasi terhadap CPO Indonesia. Apabila kelapa sawit tergolong pada bahan baku dengan risiko tinggi, maka terdapat sejumlah bahan baku Uni Eropa yang seharusnya berada pada kategori yang sama.

Tindakan Uni Eropa dianggap sebagai sikap proteksionis dan tidak fundamental, karena apabila melihat rekomendasi resolusinya adalah dengan mempromosikan penggunaan canola oil dan biji bunga matahari yang tidak lebih aman pada lingkungan apabila dibandingkan dengan CPO.

Produksi CPO Indonesia jauh lebih ekonomis dibandingkan minyak nabati lainnya. Minyak bunga matahari dan minyak kedelai dapat memakan area seluas lima hingga sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan kelapa sawit. Meskipun demikian, Uni Eropa tidak menentang produksi minyak kedelai Amerika. Oleh karena itu wajar bila Indonesia merasa mendapatkan diskriminasi terhadap CPO oleh Uni Eropa dan berusaha memperjuangkan kelapa sawitnya.

Sebagai reaksi atas diskriminasi yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap CPO Indonesia, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk memperjuangkan kelapa sawitnya. Pemerintah pernah memberikan ancaman untuk membalas Uni Eropa dengan melakukan boikot terhadap produk-produk Uni Eropa. Indonesia mengancam akan menghentikan impor pesawat Airbus Uni Eropa yang tentu saja bisa memberikan kerugian cukup berdampak karena Indonesia merupakan salah satu konsumen Airbus terbesar di kawasan Asia Pasifik. Indonesia juga melakukan pelarangan ekspor biji nikel sebagai bentuk tawar menawar yang dilakukan terhadap diskriminasi komoditas kelapa sawit oleh Uni Eropa.

Indonesia juga melaporkan sikap diskriminasi Uni Eropa kepada World Trade Organization (WTO) sebagai upaya memperjuangkan CPO. Sikap diskriminatif Uni Eropa bisa termasuk pada kategori Violation Complaint, sebuah kategori pengaduan yang memberikan indikasi negara anggota dapat membuat pengaduan karena adanya negara anggota lain yang sudah melakukan tindakan yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan WTO.

Kebijakan Uni Eropa bertentangan dengan ketentuan GATT 1947, khususnya Pasal XX huruf g yang melarang diskriminasi. Kebijakan yang mendiskriminasi CPO Indonesia juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 Ayat (1) Perjanjian TBT yang mengatur penerapan prinsip MFN, yaitu kewajiban negara pengimpor untuk memperlakukan barang negara pengekspor secara setara. Selain itu, pendekatan ini melanggar Pasal 1 Ayat (1) GATT 1947, yang menetapkan konsep umum MFN.

Meski demikian, Indonesia juga perlu melakukan upaya untuk memajukan kualitas produksi dan juga produk dari kelapa sawitnya. Hal ini perlu dilakukan agar produk kelapa sawit beserta turunannya milik Indonesia dapat memiliki standar yang sesuai dengan standar pasar dunia.

Memperjuangkan CPO atas diskriminasi dari Uni Eropa bukan hanya persoalan memperoleh keuntungan ekonomi saja. Menyelesaikan sengketa ini berarti menciptakan fondasi bagi hubungan internasional yang berkelanjutan dan seimbang bagi seluruh aktor di dalamnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya