Authoritarian Turn dan Pembusukan Demokrasi

Pedagang Teks
Authoritarian Turn dan Pembusukan Demokrasi 19/02/2024 861 view Politik iStock

Mengapa demokrasi adalah sistem politik terbaik? Sebab dalam demokrasi absolutisme kekuasaan dibatasi. Hanya dengan demokrasi pula, kritik dapat diniscayakan, ketika kekuasaan menjadi dominan dan cenderung otoritarian, ia dapat dibatalkan oleh kemarahan sipil. Pendukung dan pengkritik mendapatkan tempat seimbang untuk saling tunjuk-menunjuk, tuduh-menuduh, berdebat ide, bunuh-membunuh gagasan.

Namun idealisme demokrasi demikian, akhir-akhir ini tampak semakin kabur. Ketika instrumen negara justru dijadikan alat melanggengkan otoritarianisme melalui upaya pembunuhan institusi demokrasi secara terselubung. Kita sedang mengalami pembusukan demokrasi, sialnya kekuasaan yang culas dan tak tahu malu itu adalah aktor utamanya.

Jika Martin Van Bruinessein menggunakan istilah konservatif turn untuk menggambarkan situasi gerakan fundamentalis-keagamaan yang terfasilitasi oleh berbagai institusi publik, sekolah, media massa, hingga organisasi sosial-keagamaan, agaknya saat ini kita sedang mengalami suatu gejala authoritarian turn, sebuah upaya terselubung pembusukan demokrasi lewat tangan-tangan otoritarianisme lengkap dengan atribut, fasilitas, alat, dan instrumen dalam demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang sedang dipaksa dibunuh ini, sukar disadari kebanyakan orang, kelompok otoritarian ini seolah menampilkan demokrasi yang sedang bekerja dengan baik, padahal agenda “kudeta merangkak” terhadap demokrasi sedang terjadi. Para tiran ini bersembunyi dibalik retorika palsu: “Silahkan laporkan melalui mekanisme hukum”.

Padahal instrumen-instrumen hukum oleh mereka telah dengan sengaja didesain sedemikian rupa menjadi bagian dari agenda mekanisme politik tiran. Institusi demokrasi tak lebih dari sekedar apa yang disebut oleh Made Supriatma sebagai struktur penindasan (Structure of Repression) yang sengaja dibangun dengan sistematis, terstruktur dan masif oleh rezim ini.

Modal Tirani

Cikal bakal otoritarianisme itu pada dasarnya tidak dibangun melalui penampilan kekerasan secara terbuka, kita tak menyaksikan penggunaan senjata sebagaimana lumrahnya cara pemerintahan diktator. Namun otoritarianisme itu ditampilkan dalam bentuk teater politik seorang Presiden bernama Jokowi.

Kepandaian Jokowi dalam membangun apa yang kemudian saya sebut sebagai modal tirani (Capital of Tyranny) setidaknya terlihat dalam 10 tahun terakhir, membawa Jokowi konon disebut-sebut sebagai salah satu politikus ulung yang memainkan dengan ciamik catur politik Nasional. Namun menurut saya Jokowi justru tampil sebagai seorang politikus culas yang tak tahu aturan main.

Meskipun pelanggaran Jokowi terhadap ‘aturan main’ ini baru terlihat di masa terakhir kekuasaannya, namun melihat wajah Jokowi sekarang, cukup untuk mengatakan bahwa ia tak lebih dari seorang tiran yang sedang melanggengkan hasrat politik otoritarian.

Jokowi terlihat sebagai seorang tiran yang bersembunyi dibalik topeng kesederhanaan, populis, dan merakyat. Padahal, dibalik citra-citra itu, kerisnya yang tajam seolah sedang menantang kemarahan sipil. Keris itu bersembunyi dibalik UU ITE yang bermasalah itu.

Modal tirani yang dibangun Jokowi tidak hanya terlihat dari politik merangkul yang tampak dalam manuver-manuver politiknya. Jokowi lihai memberikan ‘fasilitas politik’ terhadap para pendukung sekaligus penentangnya. Jokowi juga lihai memainkan politik panem et circenses (politik roti dan sirkus) dalam ironi dan satire Juneval seorang penyair Romawi terkenal itu.

Politik roti dan sirkus, adalah cara seorang Kaisar Romawi mempertahankan dan melegitimasi kekuasaannya dengan menghibur jika tidak dikatakan “menyuap” rakyat yang sebetulnya miskin dan lapar lewat tontonan teater di Kolossium dan bagi-bagi roti gratis. Julius Caesar dalam serial Rome (2005) bahkan sekilas melakukan cara ini, dalam upayanya melanggengkan dan mendapatkan kepercayaan rakyat Romawi. Ia membagi-bagikan harta rampasan perang.

Julius Caesar yang saat itu terang-terangan melanggar konstitusi Roma bahkan dianggap rakyatnya sendiri sebagai seorang “penyelamat” republik. Julius Caesar berhasil menyembunyikan politik tiran dibalik politik roti dan sirkus. Apa yang dilakukan Julius Caesar agaknya sekilas mirip dengan cara, model kampanye, komunikasi politik, bahkan kebijakan-kebijakan populis, hingga kebijakan bansos Jokowi yang belakangan terlihat.

Modal tirani itu semakin kuat ketika tawaran stabilitas politik Jokowi berhasil membuat lawan-lawan politiknya sama sekali tak berkutik. Tentu saja ironi itu menjijikkan, ketika kita dipaksa menyaksikan logika pragmatis (kebanyakan) partai politik, dan elite politik nasional yang seolah menormalisasi langkah stabilitas politik Jokowi.

Modal tirani itu terlihat pula secara terang-terangan di ruang-ruang publik, ruang digital hingga media massa dipenuhi oleh kasak-kusuk pasukan buzzer politik yang ikut serta melanggengkan otoritarianisme ala Jokowi.

Ruang publik yang sejatinya merupakan ruang perdebatan rasional dalam upaya melahirkan diskursus yang juga rasional sebagaimana ungkapan Hebermas itu, justru menjadi ruang perampasan hak-hak kebebasan berpendapat, ruang privat, represi kritik secara terang-terangan dibatasi oleh instrumen-instrumen digital yang kadang-kadang melibatkan instrumen negara.

Tidak masalah jika perdebatan itu didominasi oleh wacana substantif. Persoalannya, buzzer politik yang diutus mereka justru lebih banyak memainkan isu-isu yang memancing emosi massa, lewat wacana nir-substantif dan berbau kebencian.

Cacat Rekonsiliasi Politik

Kita tentu mendambakan idealisme demokrasi bekerja, para pengkritik dan pendukung pemerintah dapat bertengkar dengan disiplin dalam kerja-kerja politik tata negara. Oposisi dan pemerintah tampil memberikan pendidikan politik-demokrasi yang sehat, fungsi checks and balances bekerja dengan baik.

Namun alih-alih terjadi, demokrasi justru terlihat buram dalam beberapa tahun terakhir, nyanyian kritis bukan lahir dari sistem formal politik-negara dan mekanisme demokrasi, ia justru lahir dari kalangan dan komunitas sipil-independen.

Jika saja kita mau konsisten, pada dasarnya tak ada kosa-kata persatuan dalam kamus demokrasi. Demokrasi hanya mengenal perbedaan, politik rekonsiliasi maupun rekonsiliasi politik sesungguhnya adalah cacat yang memalukan dalam ruang demokrasi kita.

Rekonsiliasi politik tidak lebih dari basa-basi politik yang sebetulnya menyimpan “otoritarianisme terselubung” (meminjam istilah Bivitri Susanti) ia sengaja dibungkus atas nama politik persatuan. Motifnya adalah upaya hegemoni dan dominasi kekuasaan atas nama stabilitas politik. Saya melihat rekonsiliasi politik lima tahun yang lalu itu misalnya, justru adalah bagian dari modal tirani yang sengaja dibangun Jokowi di periode kedua.

Rekonsiliasi politik tak menawarkan apa-apa, selain pragmatisme politik yang justru berpotensi besar terhadap terbentuknya oligarki politik. Rekonsiliasi politik akan meniscayakan terjadinya sentralisasi kekuasaan. Hal yang sama sekali tak lumrah dalam demokrasi. Oligarki politik itu terbukti terlihat belakangan, ketika kekuasaan yang sebetulnya telah senja, memaksakan diri untuk “terbit” kembali.

Keharusan Oposisi

Kemenangan “kelompok tiran” dalam pemilu yang baru saja kita selenggarakan adalah sebenar-benarnya dari authoritarian turn. Mau tidak mau kemenangan mereka adalah bagian dari “suara rakyat” dengan segala kontroversinya. Lima tahun ke depan kita akan diperhadapkan pada upaya menjaga demokrasi yang sedang mengalami pembusukan sistemik ini.

Kelompok kritis dari kalangan sipil mestilah memberikan waspada atau jika perlu, “bahaya” terhadap figur pemenang pemilu, mau tidak mau figur ini adalah sosok dan “aktor penting” dari sejarah otoritarianisme bangsa ini. Ia bahkan terlibat secara langsung dalam upaya mempertahankan, melanggengkan, atau justru (mungkin) merawat salah satu pemerintahan otoriter dalam sejarah Indonesia, yang sekaligus merupakan mertuanya sendiri.

Dalam situasi semacam ini, kelompok oposisi kritis diperlukan. Kabar baiknya, kalahnya paslon dari salah satu “partai besar” seperti PDIP adalah kabar baik bagi demokrasi. Kita berharap pragmatisme politik tak hinggap dalam kepala para elite partai “ideologis” ini, parlemen harus ramai dengan pertengkaran ide dan kritik tajam terhadap rezim. Hanya dengan cara demikian, idealisme demokrasi dapat niscaya.

Tentu saja, disiplin politik formal dalam mekanisme demokrasi tak melulu sepenuhnya kita harapkan terhadap para elite politik partai. Suara-suara kritis komunitas-komunitas sipil-independen, mahasiswa, aktivis, intelektual dan kalangan terdidik lainnya menjadi kelompok signifikan yang menjadi satu-satunya benteng terakhir dari upaya pembusukan demokrasi.

Bagi saya, tugas masyarakat sipil saat ini adalah memastikan fungsi checks and balances berjalan sebagaimana mestinya, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin. Lagi pula hanya dengan cara demikian Prabowo dapat mengembalikan, atau mungkin “menjawab” skeptisisme kelompok aktivis dan intelektual yang terlanjur mencitrakan Prabowo sebagai aktor antagonis, terutama di masa-masa reformasi. Apapun itu, mari kita berharap-cemas rezim baru ini “stabil” dalam pengertian demokrasi, bukan dalam pengertian Jokowi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya