Membumikan Kesadaran Tentang Aku di Tengah Pandemi
Di tengah pandemi Covid-19, perkara solidaritas kerap menjadi suatu hal yang diabaikan. Ada banyak dijumpai tindakan-tindakan tidak manusiawi yang ditunjukkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Mulai dari kasus penyebaran hoaks yang dilakukan oleh salah seorang dokter, korupsi bansos Covid, sampai dengan kasus anggota Satpol PP Gowa yang memukul seorang perempuan saat menjalankan tugas.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan adanya kedangkalan pengetahuan tentang aku. Yang mana di dalamnya manusia hanya menitikberatkan pada apa yang menjadi egoku, keinginanku, dan kemauanku semata. Manusia tidak lagi menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia: seorang manusia yang sadar akan ke-aku-annya.
Ya, kesadaran tentang aku merupakan suatu hal yang penting bagi manusia. Dengan kesadaran ini manusia semakin memahami pengetahuan tentang eksistensinya di dunia. Kesadaran akan eksistensinya sangat diperlukan guna menumbuhkembangkan solidaritas di antara sesamanya.
Karena itu, manusia dengan kesadarannya akan eksistensinya di dunia merupakan hal yang tidak terpisahkan dari relasionalitas. Korelasi tersebut akan nampak terlihat dalam relasi manusia itu sendiri terhadap sesuatu di luar dirinya. Ketika manusia itu sadar akan ke-aku-an, maka manusia itu akan mampu menyambut dan menerima sesamanya dengan penuh nilai cinta yang patri dan kemanusiaan yang universal.
Memaknai aku secara lebih mandalam pada dasarnya sejalan dengan seorang manusia yang memaknai kemanusiaannya. Orang yang menyadari akan ke-aku-annya berarti juga memaknai secara penuh akan kemanusiaannya. Kesadaran akan aku selanjutnya akan membantunya menemukan pengetahuan.
Sejalan dengan itu, bagaimana yang pernah dijabarkan oleh filsuf Johan Gottlieb Fichte tentang aku dalam kata aku absolut menunjukkan adanya prinsip etika di dalamnya. Diksi absolut tidak hanya mengandung arti keseluruhan dalam diri manusia. Seperti halnya badan, materi dan segala yang terlihat secara kasat mata.
Tetapi lebih dari pada itu, kata absolut pada kalimat aku absolut juga mencirikan adanya sebuah fondasi etis. Maksud pemikiran filsuf Fichte ini adalah bahwa aku merupakan kesadaran tentang seluruh tindakan dan keberadaanku di dunia. Termasuk di antaranya adalah tindakan dan perlakuanku terhadap sesama manusia. Inilah pengetahuan yang ditemukan dalam usaha menyelami kedalaman aku.
Filsafat Fichte itu hendak mengajak untuk melihat kesadaran akan aku bukan sebagai sebuah kesadaran dangkal dan formal melainkan mendalam dan relasional. Kesadaran ini pun menuntut keputusan absolut dalam hidupnya.
Eksistensi Adalah Aku
Pandangan tentang eksistensi aku, bukanlah suatu hal yang simple untuk dipikirkan. Seperti halnya memandang tentang asal usul seseorang, hobi yang ia geluti, atau nama lengkap, maupun tentang apa pekerjaannya. Mendalami eksistensi aku, berarti usaha untuk mencari tahu sesuatu apa yang benar-benar hanya dimiliki oleh aku manusia ini. Eksistensi aku berarti berkaitan dengan keuniversalitasan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia itu sendiri.
Dalam buku Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi : Aku, Teks, Liyan, Fenomen yang digubah oleh Armada Riyanto, Sokrates berkata manusia adalah jiwanya. Aristoteles mendeklarasikan, manusia adalah makhluk berakalbudi. Renatus Cartesius merevoluis gagasan beku zamannya dengan memproklamasikan; manusia adalah cogito (saya berpikir) atau res cogitans, yang memaksudkan kesadaran rasional subjektifnya. Saya (Armada Riyanto) berpendapat bahwa manusia pertama-tama adalah aku-nya. Aku merepresentasi secara menyeluruh manusia.
Dalam perpesktif para filsuf di atas. Saya mengambil kesimpulan bahwa eksistensi manusia itu dilihat dari sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata, namun dampaknya cukup terasa. Ketika orang sadar akan jiwanya serentak pula ia sadar akan kehadiran akal budinya, maka ia akan menggunakan akal budinya untuk berpikir. Saya berpikir maka saya ada, artinya bahwa ketika aku mampu menggunakan akal budi itu untuk berpikir, maka tindakan dan perlakuanku yang keluar dari pikiranku itu pun akan menampilkan eksistensi diriku yang semestinya. Inilah eksistensi aku.
Menjadi Sahabat: Perwujudan Kesadaran Tentang Aku
Dalam usaha memberi tafsiran yang baik guna membumikan kesadaran tentang aku di tengah pandemi, filsuf Imanuel Kant dan Platon punya soluisinya. Imanuel Kant adalah seorang filsuf serentak teolog yang memiliki perhatian khusus terhadap relasionalitas atau lebih tepatnya moral.
Salah satu prinsip yang ia pegang dalam pemikirannya tersebut adalah bahwa manusia harus melakukan kebaikan karena kebaikkan itu sendiri. Bukan karena sesuatu yang lain di luar kebaikkan itu (misalnya: kebahagiaan, takut dihukum, supaya kelak mendapat hadiah).
Imanuel Kant bermaksud memberi satu penegasan bahwa kebaikkan yang baik bukanlah kebaikan yang dilandaskan karena suatu alasan karena latar belakang tertentu (yang dalam hal ini berkaitan dengan keinginan atau ego pribadi), juga bukan karena keterpaksaan. Kebaikkan yang sejati adalah kebaikkan yang tanpa alasan.
Suatu kebaikkan yang pada dasar dilakukan karena memang itu menjadi suatu keharusan dan kemutlakan untuk dilakukan. Bahwa kebaikkan itu dilakukan karena sudah menjadi hakikat dari manusia itu sendiri.
Hal ini juga sejalan dengan pemikiran filsuf ternama, Platon. Yang mana baginya di dalam diri manusia itu juga memuat unsur-unsur ilahi: unsur-unsur logos yang adalah hakikat dari segala sesuatu. Unsur-unsur yang dimaksudkan itu antara lain adalah pikiran, rasio, jiwa, dan akal budi. Karena di dalam diri manusia itu memuat unsur-unsur tersebut, maka sejatinya tidaklah bijak jika manusia itu diperlakukan secara tidak benar.
Sebab, hal itu sama dengan memperlakukan logos secara tidak hormat atau dengan kata lain merendahkan logos itu sendiri. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia karena di dalam dirinya memuat unsur ilahi yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh pihak mana pun.
Dengan sangat gamblang dapat dilihat bahwa pemikiran Emanuel Kant memang minitikberatkan pada persoalan moral. Bahwa sejatinya manusia hendak bertindak sesuai dengan apa yang menjadi hakikatnya sebagai manusia terhadap manusia yang lain. Tindakan seperti apa? Ya, tindakan untuk mau menjadi sahabat terhadap manusia yang lain.
Artinya, bahwa dengan menjadi sahabat, serorang manusia dituntut untuk membawa kasih. Sebab, jika tanpa kasih itu bukanlah sahabat. Kasih adalah sarana yang tepat bagaimana seorang manusia memperlakukan sesamanya manusia sebagai manusia. Dengan adanya kasih, maka setiap manusia diarahkan untuk sampai pada sikap penghormatan yang benar akan kemanusiaan seseorang.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Platon bahwa pada dasarnya di dalam diri manusia memuat unsur-unsur ilahi (logos), maka seorang manusia ketika berhadapan dengan manusia yang lain mestinya ia pun sedang berhadapan dengan dirinya sendiri dan juga yang ilahi itu. Sebab dalam diri aku juga memuat unsur ilahi, dan ilahi itu sendiri ada di dalam diri aku manusia. Lalu bagaimanakah sikap yang tepat bagi manusia ketika menyadari akan realita ini?
Manusia perlu membangun sikap hormat yang baik terhadap manusia yang lain. Ia mesti menjadi sahabat bagi manusia yang lain. Sahabat berarti dia yang bersedia melakukan segala sesuatu yang berguna atau penting bagi sahabatnya. Ia tidak pernah perhitungan dengan waktu dan tenaganya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia bisa sampai pada “kelupaan” akan dirinya sendiri demi sahabatnya.
Sahabat adalah dia yang menaruh kasih setiap waktu. Dan itulah kasih. Sesuatu yang dapat menembus ruang dan waktu, tanpa batas. Mengapa mesti demikian? Sebab Allah sendirilah yang memberikan kasih terlebih dahulu terhadap manusia (2 Tim 1:7). Jika Allah sendiri berbuat demikian terhadap semua manusia, lalu bagaimanakahh dengan sikap manusia itu sendiri dengan manusia yang lain?
Artikel Lainnya
-
272306/06/2020
-
195407/01/2021
-
75821/04/2024
-
Membangun Demokrasi Kerakyatan; Catatan Reflektif Menyongsong Pemilu 2024
82811/12/2023 -
Arah Pengendalian Stunting di Kawasan Perbatasan
80504/03/2023 -
Azanlah dengan Indah, agar Kami Pun Senang Mendengarnya
131305/03/2022
