Membangun Demokrasi Kerakyatan; Catatan Reflektif Menyongsong Pemilu 2024
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan calon anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah kian dekat dan telah mulai dikumandangkan.
Di pusat-pusat kota hingga ke pelosok terpencil bertebaran baliho-baliho para kandidat peserta pemilu 2024. Sejak tanggal 28 November 2023 di berbagai lini masa media sosial mulai bertebaran berbagai propaganda politik.
Pada baliho-baliho yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan banyak bertuliskan visi misi luhur yang apabila benar-benar diterapkan maka kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud. Hal ini lumrah dan sering menjadi sajian utama dalam perhelatan pesta demokrasi, karena setiap calon akan berusaha meyakinkan masyarakat pemilih.
Kampanye ini tentunya akan menampilkan banyak drama dan janji-janji politik. Para aktor politik akan memainkan lebih banyak lagi peran dan retorika masing-masing di atas panggung politik. Namun perlu disadari juga bahwa ketika ada drama dan janji politik maka di saat yang sama akan diikuti juga oleh permainan kepentingan. Praktik eksklusivisme kepentingan, tanpa disadari dan menjadi agenda terselubung. Eksklusivisme kepentingan seakan-akan telah menjadi karakter sosial dari para elit politik di negeri ini.
Sandiwara Politik Indonesia
Mengamati perjalanan politik di negeri ini rupanya tidak jauh berbeda dengan permainan-permainan yang sengaja dirancang mirip dengan sebuah permainan di panggung sandiwara. Kelompok musik ‘God Bless’ lewat lagunya yang berjudul “Panggung sandiwara” menyatakan bahwa dunia ini panggung sandiwara.
Lagu tersebut boleh jadi mengadaptasi kata-kata William Shakespeare bahwa dunia adalah panggung sandiwara, setiap orang hanyalah pemeran yang memainkan perannya dan bahkan memanipulasi peran masing-masing. Serupa itulah panggung politik di negeri ini, para aktor politik pandai memainkan peran, sehingga yang ditampilkan di ruang publik bagaikan sandiwara.
Dalam konteks panggung politik, sejalan dengan konsep dramaturgi yang digambarkan oleh sosiolog Erving Goffman bahwa selalu ada front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Front stage merupakan bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefenisikan situasi bagi orang yang menyaksikan situasi. Dalam front stage, aktor sering mencoba menyampaikan kesan bahwa mereka lebih akrab dengan audiens ketimbang dalam keadaan yang sebenarnya. Back stage berkaitan dengan fakta yang disembunyikan di belakang panggung.
Dalam konteks dinamika politik Indonesia bisa dikatakan bahwa para elit politik kita sedang melakukan drama sandiwara politik. Ketika berada di panggung depan (front stage), dalam kampanye-kampanye para elit politik selalu memberikan sejumlah statement bahwa mereka sedang berjuang mati-matian demi rakyat. Manajemen kesan yang ditampilkan oleh para elit politik kita tidak kalah serunya dengan kesan-kesan yang ditampilkan oleh aktor dalam drama.
Di depan publik, di media, para elit kita selalu berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi rakyat dan bangsa. Di pihak lain tidak dipungkiri bahwa di belakang panggung (back stage) para elite politik sebenarnya tengah menyembunyikan sesuatu dari setiap statement dan prilaku mereka di depan publik.
Memang akan sulit bagi masa untuk secara pasti mendefenisikan setiap lakon yang dimainkan oleh para aktor politik kita, sebab setiap aktor tentunya akan menampilkan kesan yang terbaik. Oleh karena itu bagi sebagian orang yang memahami dunia politik dengan baik tentunya paham bahwa dalam panggung politik ada permainan kepentingan. Sehingga tidak heran bahwa drama politik Indonesia adalah drama eksklusivisme kepentingan golongan elite politik.
Eksklusivisme Kepentingan
Politik tidak mengenal lawan maupun kawan, namun yang ada hanyalah kepentingan. Tak ada keabadian di dunia saat ini, namun kekinian yang selalu diutamakan. Novri Susan dalam Pengantar Sosiologi Konflik (2014) menyatakan bahwa karakter sosial yang menonjol dari para elite politik di negeri ini adalah eksklusivisme kepentingan. Eksklusivisme kepentingan selalu berkaitan dengan usaha untuk melanggengkan kepentingan pribadi dan golongan. Kepentingan rakyat hanya menjadi jargon di panggung politik terbuka. Akan tetapi di balik panggung politik dan dinamikanya yang serba tidak transparan terjadi berbagai kesepakatan demi kepentingan segelintir elite politik.
Praktik eksklusvisme kepentingan telah lama berkembang di Indonesia sejak Orde Baru hingga dengan saat ini. Pemilu hanya menjadi rutinitas lima tahunan yang menguras banyak energi dan logistik (dana), akan tetapi kemudian menghasilkan elite politik yang sarat akan kepentingan pribadi dan golongan.
Permainan retorika, intrik dan strategi sengaja diciptakan untuk memuluskan eksklusivisme kepentingan. Masing-masing kubu berusaha menampilkan diri sebagai yang terbaik sehingga segala macam carapun dilakukan. Ada yang melakukan kamuflase dengan ganti kulit-ganti warna hanya untuk melanggengkan syahwat kekuasaannya. Para pendukung di lini bawah saling menghujat, memfitnah dan menyebar kebohongan. Sementara para elit politik sibuk menyiapkan drama perkoncoan, drama tagar, drama debat, hingga drama adu nasib. Saling sindir akan terjadi dalam debat-debat kusir di media elektronik, media masa, hingga media sosial. Akan ada ‘serangan-serangan fajar’ atau money politic dalam rangka melanggengkan kepentingan elit politik.
Praktik eksklusivisme kepentingan menyebabkan para elit politik yang dihasilkan tidak memiliki ikatan nurani dengan rakyat, tidak memiliki kualitas dan kompetensi yang mumpuni di bidangnya. Sehingga tidak heran bahwa banyak elite politik yang terjerat berbagai masalah korupsi, bagi-bagi kekuasaan bahkan menjelang masa pemilu.
Di sisi lain para elit politik umumnya mengatasi masalah dengan janji, bukan realisasi bahkan keputusan yang kontradiktif dengan kepentingan rakyat. Artinya ada ironi yang ditampilkan di panggung politik kita. Kondisi demikian sebenarnya merupakan dampak dari demokrasi kerakyatan kita yang terus mengalami depolitisasi, reduksi bahkan degradasi.
Demokrasi Kerakyatan
Di tengah problematika demokrasi, prosedur demokrasi atau pemilu 2024 tentunya harus kita suskeskan secara bersama-sama agar dapat menghasilkan elite bangsa yang setidaknya baik dan bersih. Kualitas pemilu akan berpengaruh pada kualitas bangsa ini. Artinya hasil pemilu legislatif dan pilpres Februari 2024 akan krusial bagi masa depan bangsa dan negara.
Pemilu 2024 menjadi momentum bangsa memperbaiki ketimpangan terutama melalui demokrasi kerakyatan. Prosesnya bergerak dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. Demokrasi kerakyatan bukan demokrasi elitis yang hanya dimonopoli oleh segelintir orang (elit politik) sebagai pelaku utama, bukan pula demokrasi janji tanpa realisasi.
Demokrasi kerakyatan memberi penekanan pada kualitas partisipasi politik masyarakat (pemilih) yang diberi fondasi oleh praktik politik diskursif dan kritis.
Jurgen Habermas dalam pemikiranya tetang dialektika diskursif mencoba menjelaskan tentang praktik diskursus komunikatif dalam ruang publik. Dalam ruang dialektika, individu boleh melakukan kritik dengan tujuan akhir emansipatoris, dan memberikan rekomendasi solusi tentang ‘apa yang boleh dilakukan’. Dalam dunia politik harus dikedepankan praktik partisipasi politik diskursif. Praktik partisipasi politik diskursif membuka ruang bagi masyarakat dan para kandidat untuk secara bersama-sama dan transparan dalam ruang diskursif.
Masyarakat harus diberi ruang dalam menyusun visi, misi para kandidat sehingga setiap kebijakan politik bukan berasal dari elit politik semata melainkan muncul dari kepentingan rakyat. Kampanye tidak hanya sekedar mengumbar janji-janji politik tetapi kampanye juga harus menjadi wadah menampung aspirasi rakyat. Masyarakat jangan hanya dijadikan “pelumas” untuk memuluskan jalan para elit politik mendulang suara.
Di pihak lain masyarakat harus benar-benar kritis menilai masing-masing kandidat dan mengesampingkan unsur primordial dan loyalitas buta serta informasi-informasi bohong dan tidak valid. Hindari money politic (politik uang), sebab money politic akan menghasilkan para koruptor dan melanggengkan oligarki politik. Dalam konteks ini tentunya yang diharapkan dari masyarakat adalah memilih pemimpin berdasarkan pada kualitas dan komitmen dengan kepentingan rakyat. Masyarakat diharapkan secara kritis memilih dan memilah setiap informasi yang masuk, kemudian menentukan pilihan terbaiknya. Suara rakyat menentukan masa depan bangsa lima tahun ke depan.
Akhirnya pemilu 2024 diharapkan mampu melahirkan elite kerakyatan yang selalu mementingkan kepentingan rakyat. Sehingga paling kurang keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud di bumi Nusantara.
Artikel Lainnya
-
106113/09/2020
-
166913/04/2020
-
133603/08/2021
-
1502/10/2024
-
Sumbangsih Kaum Milenial: Mengritik Pemerintah Secara Ideal
114917/02/2021 -
68005/12/2021