Karena Ahmadiyah dan Syiah Adalah Warga Negara
Usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas langsung tancap gas menuntaskan problem keagamaan yang masih ada di negara ini. Hal itu terlihat dalam keinginannya untuk mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah.
Kebijakan yang ingin diterbitkan Gus Yaqut perihal status keagamaan warga Ahmadiyah dan Syiah bukanlah kebijakan tanpa dasar. Gus Yaqut tidak ingin melihat kelompok agama minoritas didiskriminasi dan diasingkan di kampung halaman mereka sendiri. Apalagi mereka didiskriminasi hanya karena perbedaan keyakinan. Maka Sebagai Menteri Agama, salah satu tanggung jawab Gus Yaqut adalah melindungi hak beragama setiap umat beragama.
Kebijakan Gus Yaqut yang ingin mengafirmasi hak keagamaan warga Syiah dan Ahmadiyah mendatangkan respon positif dan negatif di ruang publik. Ada yang menyambut pernyataan Yaqut dengan penuh antusias. Basisnya adalah agar kelompok-kelompok minoritas tidak lagi ditindas dan dirampas hak beragamanya. Namun, tak sedikit juga yang merespons secara negatif kebijakan Gus Yaqut. Mereka menilai kebijakan Yaqut dapat memicu potensi ketegangan kehidupan keagamaan di Indonesia.
Problem pun makin menjadi kompleks di sini. Letak kerumitan itu yang dalam pembacaan saya yaitu pada tafsiran atas pernyataan Gus Yaqut. Di sini, seakan-akan Gus Yaqut memberikan privilege dan perlindungan khusus bagi warga Ahmadiyah dan Syiah. Kalau mencermati pernyataan Yaqut sendiri, lebih jelasnya bahwa Yaqut hanya ingin memberikan fasilitas dalam membangun dialog perihal perbedaan keyakinan yang ada.
Lantas yang menjadi pertanyaan kita adalah apa yang mendasari Gus Yaqut ingin mengafirmasi hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah?
Belajar Dari Pengalaman
Bagi kebanyakan orang yang tersentuh hatinya oleh berbagai gejolak ketidakadilan yang dialami kelompok agama minoritas yang masih terjadi di negara ini, pasti menanggapi pernyataan Gus Yaqut secara positif. Gus Yaqut hanya menunjukkan bentuk keprihatinannya atas diskriminasi yang dialami oleh agama minoritas yang terjadi selama ini. Cukup banyak agama minoritas yang masih mengalami persekusi, tidak diberikan ruang untuk mendirikan tempat ibadah, dan berbagai pembakaran tempat ibadah oleh kelompok mayoritas.
Melihat berbagai realitas tersebut, Gus Yaqut sebagai salah satu sosok yang bertanggung jawab perihal kehidupan beragama kita di negara ini, tentunya tergerak hati nuraninya melihat berbagai kekejaman itu. Hati nurani yang selama ini memendam berbagai barok luka kekerasan kelompok mayoritas terhadap minoritas, ketidakadilan, penindasan, bahkan pembunuhan, dan akhirnya baru terluapkan dangan kebijakan yang baru-baru ini ia sampaikannya di ruang publik.
Nurani Gus Yaqut sebagai Menteri Agama akhirnya muak dengan berbagai perlakuan yang menindas hak asasi kelompok minoritas (contohnya Syiah dan Ahmadiyah). Dengan itu, salah satu bentuk perhatian Gus Yaqut adalah berusaha mengafirmasi warga Syiah dan Ahmadiyah) sebagai warga negara. Hal itu bertujuan agar supaya tidak ada lagi tindak kekerasan dan pengucilan terhadap warga Syiah dan Ahmadiyah. Mereka juga adalah warga negara.
Negara Hanya Diam
Dalam menguak makna keadilan dan perdamaian di antara umat beragama yang membatini nurani bangsa dan negara sebagai satu kesatuan yang integral dalam realitas keanekaan dan keragamaan suku agama, dan ras, selama ini sepertinya negara hanya diam. Cita-cita yang selalu diagungkan dan diproklamasikan dalam “Bhineka Tunggal Ika” nyatanya hanya bisa mencapai realitas semu.
Negara yang berkobar-kobar melalui kebijakan pemerintah untuk membangun bangsa yang bersatu, sejahtera, makmur, dengan mengangkat tinggi-tinggi “obor keadilan sosial” ibarat “tong kosong nyaring bunyinya”. Buktinya, masih banyak ketidakadilan yang dialami oleh kelompok minoritas di negeri ini.
Menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan warga negara menjadi tanggung jawab negara. Tapi sayang, negara sendiri sering kehilangan kendali. Akibatnya, negara jadi mandul dalam menghadapi kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Melihat itu semua, semoga negara membuka mata agar makin prihatin memperjuangkan hak beragama kaum minoritas di negara ini.
Seperti kata tokoh pluralisme Indonesia Ahmad Syafii Maarif bahwa negara harus mendorong setiap Pemerintah Daerah untuk hadir dan berlaku adil terhadap tindakan diskriminasi kepada jemaah Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Mereka kan juga warga negara kita. Andai kata bukan warga negara kita pun, sebagai sesama manusia tidak boleh dibiarkan begitu (lih.KBR, 2020).
Negara dikatakan baik bila segenap warganya dipelihara, dilindungi dari berbagai ancaman kekerasaan, pemaksaan, pembantaian, dan diskriminasi. Kalau memang praktik-praktik seperti diskriminasi kelompok minoritas masih merajalela, hal itu mengindikasikan bahwa negara sedang dalam keadaan sakit.
Dalam negara Indonesia yang luas dan beraneka ragam suku, bahasa, dan ras seperti Indonesia ini, memang harus menuntut sikap yang terbuka dan saling menerima pluralitas itu. Negara ini akan menyebarkan aroma keharmonisan bila kebhinekaannya menjadi dasar pijakan untuk mengikat dan merekat kesatuan bangsa. Maka penyelenggara negara harus menciptakan atmosfer yang kondusif bagi terciptanya kedamaian setiap warga negara, tak terkecuali Ahmadiyah dan Syiah.
Perlunya Refleksi
Dengan itu, peryataan Gus Yaqut yang ingin mengafirmasi hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah penting sekali direfleksikan. Mengapa masih ada umat beragama di negara ini hak beragamanya masih belum diakui? Apakah kita masih belum memiliki kesadaraan akan arti kemerdekaan? Kesadaraan kebangsaan macam mana, bila di negeri ini masih ada umat beragama yang hak mengekspresikan imannya tetap belum merdeka?
Bukankah dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia mengatakan bahwa “Semua manusia mempunyai kebebasan sendiri untuk menjalani agama dan beribadat menurut agamanya” (lih. Halili, dkk, 2013). Kalau memang tidak demikian, benar sekali kata Gus Yaqut; bahwa masih banyak kelompok minoritas yang merasa terasingkan di dalam kampung halaman mereka sendiri.
Sekali lagi negara yang baik adalah negara yang selalu melindungi rakyatnya. Seperti kata Aristoteles bahwa negara adalah sebuah komunitas yang dibentuk untuk sebuah kebaikan (lih. Pasaribu, 2016). Bukan mencurigai, menyiksa, menelantarkan, dan toleran dengan tindakan kekerasan.
Untuk memulihkan persoalan-persoalan HAM di negara ini, khususnya warga Syiah dan Ahmadiyah maka perlu diadakan rekonsiliasi yang berlandaskan pada keterbukaan, perjumpaan, serta perombakan cara berpikir kita tentang mereka yang berbeda (Ahmadiyah dan Syiah).
Dengan demikian, hemat saya rekonsiliasi bisa direalisasikan melalui kebesaran hati untuk menyatakan, mengakui, serta mengafirmasi mereka yang berbeda itu dengan adil, jujur, dan terbuka. Seharusnya persoalan kaum minoritas (Ahmadiyah dan Syiah) dan kaum minoritas harus diakhiri melalui jalan rekonsiliasi seperti itu. Keberadaan kaum minoritas (Ahmadiyah dan Syiah) adalah sebuah realitas sosial yang tak terelakkan.
Dengan itu, marilah kita sama-sama mendukung kebijakan yang ingin diterbitkan Oleh Gus Yaqut untuk mengafirmasi hak keagamaan warga Ahmadiyah dan Syiah. Karena mereka juga adalah warga negara Indonesia.
Artikel Lainnya
-
122613/06/2020
-
88321/10/2021
-
1132815/04/2020
-
Menjadi Pahlawan Bagi Diri Sendiri
91909/11/2022 -
Sekuritisasi COVID-19 dan Urgensi Kerjasama Regional Asia
225627/05/2020 -
115413/09/2020
