Membendung Kebangkitan Oligarki

Penulis
Membendung Kebangkitan Oligarki 02/12/2019 1444 view Opini Mingguan Flickr.com

Cengkraman oligarki dalam demokrasi di Indonesia semakin menguat. Pemilu langsung, yang memiliki spirit mengembalikan kedaulatan rakyat, belum cukup tangguh untuk membendung para oligarki untuk kembali berdansa di panggung negara.

Narasi dan spirit reformasi, yang telah berlangsung lebih dari dua dekade, terlihat semakin memudar. Beramai-ramai dilupakan karena dianggap bisa menghambat ambisi kekuasaan.

Pemilu tahun 2019 bisa merefleksikan hal tersebut. Para kontestan, baik pilpres maupun pileg, dikerubuti oleh orang-orang yang tidak pernah berganti. Eloe lagi, eloe lagi! Bungkusnya mungkin berbeda, tapi dalamnya, sama-sama.

Oligarki, yang dalam KBBI didefinisikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu, perlu dianggap sebagai ancaman bagi hadirnya demokrasi yang sehat dan berkualitas.

Ironisnya, praktek oligarki ini, ternyata mulai menjangkiti Presiden Jokowi. Dia tampaknya sadar -kekuasaan yang saat ini berada dalam gengamannya- perlu dioptimalkan untuk menciptakan elit politik baru. Khususnya dalam lingkaran terdekatnya.

Hal ini bisa dilihat dari ketertarikan Gibran Rakabuming Raka, Putra pertama Joko Widodo, untuk maju dalam bursa calon Walikota Solo. Padahal selama ini, Jokowo diapresiasi karena dia lahir sebagai pemimpin yang diciptakan oleh rakyat. Dia bukan produk dari lingkaran oligarki.

Begitu pun putra-putrinya yang beraktivitas dalam dunianya masing-masing. Dua putra Jokowi bahkan lebih dikenal sebagai dua pebisnis muda yang ulet dan sukses. Ketidakterlibatan mereka dalam politik praktis sejatinya merupakan legasi berharga untuk menghindari pelanggengan oligarki. Tetapi kenyataanya, kekuasaan mulai menggoda Jokowi dan keluarganya.

Praktik seperti di atas, tampaknya menjadi salah satu rumus baku yang dilakukan elit politik untuk mempertahankan agar kekuasaan tidak lari dari dirinya. Lihat saja partai-partai politik yang menjadi penyuplai elit di negeri ini. Banyak partai politik yang dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (khususnya oleh pendirinya). Orang-orang terdekat, termasuk keluarganya, lantas ditarik ke dalam partai tersebut.

Akibatnya, partai politik menjadi begitu tertutup. Hingga tersendat-sendat dalam melakukan regenerasi. Ketika oligarki telah bercokol dalam tempat-tempat strategis (eksekutif, legislatif, partai politik, dsb), akan semakin berat upaya untuk menghilangkannya.

Jeffrey A. Winters (2011: 35-36), dalam bukunya Oligarchy, menjelaskan tentang empat tipe oligarki. Pertama, adalah warring oligarchy (oligarki panglima). Dalam tipe ini, perpecahan antara oligarki berlangsung maksimal. Aliansi yang terbangun tidak akan stabil karena selalu terjadi persaingan keras yang akan menyebabkan pergeseran secara terus-menerus.

Tokoh-tokoh yang unggul diantara oligarki hanya akan menikmati dominasi sementara. Sebab selanjutnya, dia akan digantikan oleh tokoh-tokoh lainnya.

Kedua, rulling oligarch (oligarki penguasa kolektif). Ketika oligarki mempertahankan peran personal dalam pemaksaan, namun aturan dilakukan secara kolektif melalui institusi yang menggunakan norma dan kode etik.

Ketiga, adalah sultanic oligarchy (oligarki sultanistik). Jeffrey A. Winters, menggunakan penjelasan Chehabi dan Linz (1998), menjelaskan bentuk ini hadir ketika monopoli, dalam bentuk pemaksaan, berada dalam satu tangan oligarki dan bukan dalam bentuk negara yang dibatasi oleh undang-undang.

Keempat, civil oligarchy (oligarki sipil). Oligarki jenis ini menyerahkan kekuasaannya pada lembaga non-pribadi dan terlembaga. Fokusnya adalah pada pertahanan pendapatan.

Untuk mengatasi agar tradisi oligarki tidak terus-menerus dipertahankan dalam kehidupan politik bangsa ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.

Pertama, memperkuat pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap penyelenggara negara. Jika ditemukan ada indikasi praktik oligarki, rakyat harus berteriak lantang hingga elit mau mendengarnya.

Kedua, memperkuat aturan yang mempersempit ruang bagi oligarki. Bukan justru mendorong hadirnya peraturan-peraturan yang berpotensi menghasilkan oligarki yang baru. Contohnya, terkait wacana sekelompok kecil yang menginginkan jabatan presiden menjadi 3 periode. Hal ini tentu berbahaya bagi demokrasi sekaligus memberi ruang bagi terus bercokolnya oligark di pusat-pusat kekuasaan.

Ketiga, mendorong elit politik (khususnya presiden) untuk tidak takut terhadap tekanan politik di sekitarnya yang memperkuat oligarki. Misalnya, meskipun berasal dari sipil, ternyata Jokowi masih sangat terikat dengan militer. Sehingga memberikan posisi-posisi strategis bagi mereka yang berlatar belakang militer.

Begitu pun terhadap mereka yang berlatar belakang polisi, pengusaha, dan sebagainya. Sebab secara tidak langsung, ketergantungan tersebut akhirnya akan menjadikan negeri ini diurus oleh kelompok yang sama. Dan hal tersebut akhirnya tidak memberikan dampak signifikan bagi kemajuan bangsa ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya