Lucunya Penegakan Hukum di Negeri Haha Hihi
Bukan karena banyaknya grup lawak,
maka negriku selalu kocak
Justru grup-grup lawak hanya mengganggu dan banyak yang bikin muak
Negeriku lucu, dan para pemimpinnya suka mengocok perut
Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan
Banyak yang terur pamer keberanian
dengan kebodohan yang mengharukan
Banyak yang terus pamer kekerdilan dengan teriakan yang memilukan
Banyak yang terus pamer kepengecutan
dengan lagak yang memuakkan. Ha ha ...
Penegak keadilan jalannya miring
Penuntut keadilan kepalanya pusing
Hakim main mata dengan maling
Wakil rakyat baunya pesing. Hi hi ...
Kalian jual janji-janji untuk menebus kepentingan sendiri
Kalian hafal pepatah-petitih untuk mengelabui mereka yang tertindih
Pepatah petitih, ha ha ... ("Negeri Haha Hihi", Gus Mus)
Beberapa bait petikan Puisi K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus yang ditulis era 1980-an berjudul “Negeri Haha Hihi”, rasanya masih relevan untuk menggambarkan penegakan hukum di negeri ini. Indonesia memang sudah terkenal lucu sejak dulu. Apa saja bisa jadi bahan lawakan. Para mafia hukum kelas kakap secara terang-terangan mengelabuhi hukum dan mengikis marwah teori hukum di depan ibu pertiwi yang darurat akan keadilan.
Kasus Novel Baswedan yang harusnya ditangani serius pun seolah menjadi candaan. Sudah seperti pentas stand up, lucu penuh dengan keanehan di luar nalar. Para pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang seharusnya mendapatkan tuntutan setimpal, begitu licin mengelabuhi hukum hanya mendapat tuntutan satu tahun penjara.
Satu tahun tuntutan tentu terlampau ringan untuk sekelas kejahatan yang nyaris merenggut nyawa penyidik senior KPK. Sungguh ironis memang, kasus yang baru menemui titik terang pelakunya setelah sekian lama menunggu. Pelakunya pun diburu selama tiga tahun, semenjak peristiwa penyiraman pada 17 April 2017, malah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya satu tahun.
Tuntutan ringan tersebut merupakan potret buram penegakan hukum di Indonesia. Dan ini adalah pembelajaran hukum yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Model penegakan hukum seperti ini dikhawatirkan bukan malah menimbulkan efek jera terhadap pelaku, malah memicu kejahatan-kejahatan berikutnya yang lebih gila, karena menganggap remeh.
Sekelas Novel Baswedan yang notabene penyidik senior KPK saja model penegakan hukumnya begitu. Apalagi, kalau korbannya orang biasa, bisa jadi dianggap kasus angin lalu yang hilang ditelan waktu. Padahal di negara yang menjunjung tinggi hukum ini, tak ada istilah “tebang pilih” atau pandang bulu dalam proses penegakan hukum. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya.
Publik masih sangat ingat dan mungkin tak akan lupa, kasus teror terhadap Novel Baswedan tidak hanya sekali ini saja. Sebelumnya pada 2012 ia diserang sekelompok pendukung Amran Batalipu saat memimpin operasi penangkapan terhadap mantan Bupati Buol. Kemudian pada 2015, Novel Baswedan juga diteror dengan kasus penembakan tersangka pencuri sarang burung wallet pada 2004 saat menjabat kasat Reskim Polres Bengkulu. Lalu pada 2016 Novel Baswedan ditabrak mobil saat berangkat menuju KPK menggunakan sepeda motor hingga luka-luka (Kompas, 12 April 2017, h.1).
Novel Baswedan mungkin satu dari banyak kasus korban kriminalisasi atau teror terhadap pegiat anti-korupsi. Tapi, ini menjadi bukti bahwa menjadi superhero bidang pemberantasan korupsi di negeri haha hihi amatlah berat. Apalagi pelaku yang bermain di dalamnya bukanlah kelas teri. Melainkan sudah level elite yang begitu lihai mengelabuhi ribuan pasal-pasal penegakan hukum.
Tuntutan yang terlalu ringan selain telah menghina asas keadilan, juga dikhawatirkan akan semakin sulit menangkap aktor intelektual, dalang di balik kasus penyiraman terhadap Novel Baswedan. Dan masyarakat Indonesia sangat berharap majelis hakim akan memutuskan hasil persidangan secara adil tidak tersandera oleh kepentingan apapun.
Untuk mewujudkan keadilan hukum tentunya perlu pantauan dan juga pengawasan seluruh rangkaian persidangan baik dari Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Kejaksaan, Komnas HAM, Ombudsman RI, dan organisasi advokat. Media dan masyarakat juga selalu mengawal proses pengungkapan kasus Novel Baswedan hingga tuntas.
Dan harapannya Majelis hakim mampu mengadili secara independen tanpa intervensi dari pihak manapun. Selain memberi rasa keadilan bagi korban juga memberi pelajaran dan teladan hukum bagi masyarakat.
Artikel Lainnya
-
183027/09/2019
-
278931/07/2022
-
117316/08/2024
-
Kebaya Sebagai Warisan Budaya dan Busana Keanggunan Perempuan Indonesia
12026/10/2024 -
78609/11/2022
-
Pemulihan Hubungan dalam Paradigma Keadilan Restoratif
106202/01/2022