Memaknai Lame Duck pada Pilkada Jakarta

Praktisi Hukum
Memaknai Lame Duck pada Pilkada Jakarta 28/08/2024 191 view Politik wsj.com

Hari-hari ini, konstelasi politik nasional makin memanas. Selain memang momentumnya, ruang diskursus politik kita selalu diasupi dengan bicara pemilihan umum kepala daerah di Indonesia 2024 yang digelar secara serentak pada 27 November 2024. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada 2024 ini digelar untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2022, 2023, 2024, dan 2025.

Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2024 merupakan yang kelima kalinya diselenggarakan di Indonesia, serta merupakan yang pertama kalinya melibatkan seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, terkecuali provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang gubernurnya tidak dipilih. Geliat pilkada 2024, makin hari makin mengelitik saja. Pasalnya salah satu grand design issue yang dimainkan dari dalam istana dan dioperasikan secara senyap (silent operation) adalah wacana kotak kosong. Inilah salah satu hidden agenda dari istana yang dimainkan oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan KIM Plus.

Hal ini memang sangat menyedihkan untuk orang-orang pengamat politik dan pemerhati demokrasi di Indonesia, terutama pada momentum pilkada 2024. Yang lebih menyedihkan lagi, tanpa kita sadari dan harus diakui bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Manuver-manuver yang dilakukan oleh para elit partai politik kita berlansung sangat cepat, bahkan gerakan politiknya (gerpol) sangat terstruktur, tersistematis dan masif. Dikatakan masih karena, wacana lawan kotak kosong ini sudah merebak di berbagai daerah dan hulunya di istana.

Hari-hari ini, partai politik kita tidak lagi memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat, bahkan dalam proses melakukan sistem penjaringan pemimpin yang nantinya akan mereka pilih, sudah tidak melibatkan rakyat. Mestinya, masyarakat kita harus mendapatkan pendidikan politik agar mereka dapat menentukan pemimpin mereka sendiri. Jangankan hal itu, pendidikan politik terhadap rakyat saja, sudah jarang dilakukan bahkan hampir tidak ada.

Ruang politik kita hari ini seperti padang rumput yang gersang. Bahkan jauh lagi dari itu. Peran partai politik mestinya mendoktrin rakyat dengan pendidikan politik, harapan ini seperti oase yang tumbuh di tengah padang pasir. Kemudian, terjadi sebuah harapan yang baru yaitu, padang rumput yang gersang menjadi padang rumput yang tumbuh subur dari rerumputan yang hijau. Adakah harapan atau mimpi partai seperti ini? Saya rasa tidak ada. Bahkan ideologinya saja adalah ideologi semu. Toh para elit-alit oligarki dan kartel politik ramai-ramai mendirikan partai hanya untuk merebut kekuasaan dan merebut sistem pembagian kue. Mirisnya, ketika sudah mendapatkan jatah, diam dan membangun strategi baru untuk mempertahankan kekuasaan.

Seperti yang terjadi hari ini! ketika semua partai itu terkukungkung oleh satu elit yang ingin berkuasa dan membangun dinasti politik baru. Mohon maaf, niatmu untuk melawan harus dikuburkan dalam-dalam di dalam sanubarimu. Seperti dikatakan Bahlil Lahadalia, misalnya. Hati-hati dengan Raja Jawa ini! Dengan sendirinya ia tidak melawan dan menguburkan idealismenya. Padahal Bapak Republik kita, Tan Malaka mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.

Demokrasi kita juga ibarat rumah tanpa pintu. Semua orang bisa keluar masuk begitu saja. Selama kekuasaan di tangan satu pihak, maka semua aturan bisa tabrak seperti undang-undang, etika politik, dan nilai-nilai yang termaktub dalam demokrasi itu sendiri. Yah itulah keadaan demokrasi kita saat ini.

Ada satu adagium klasik yaitu munculnya istilah lame dack (bebek lumpuh) dalam ruang diskursus perpolitikan kita. Di Indonesia istilah ini belum begitu populer terutama pada posisi kelas masyarakat akar rumput (grass root). Istilah "lame duck" pertama kali digunakan di Inggris pada abad ke-18, terutama di kalangan bisnis dan pasar saham.

Saat itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan investor yang tidak dapat memenuhi kewajiban finansial mereka. Namun, seiring waktu, istilah ini mengalami pergeseran makna dan mulai digunakan dalam dunia politik untuk menggambarkan seorang pejabat yang sedang menunggu akhir masa jabatannya.

Jika istilah ini kita alamatkan pada konstelasi politik pilkada Jakarta. Maka menarik untuk diulas lebih jauh dan mendalam. Dalam politik, bebek lumpuh (lame duck) atau politikus yang segera pergi (outgoing politician) adalah seorang pejabat terpilih yang penerusnya telah terpilih atau akan menggantikannya. Seorang politikus yang segera pergi sering kali dipandang kurang berpengaruh dengan politikus lainnya karena waktu terbatas mereka meninggalkan jabatan. Terlebih pada situasi suksesi kepemimpinan politik pilkada Jakarta.

Dapat kita menarik benang merahnya, misalnya seorang politikus yang sebelumnya sangat handal dan lincah, kemudian menjadi lame duck ini acapkali dianggap tidak efektif ataupun produktif lagi. Sehingga para elit politik ataupun partai cenderung membangun agenda politik baru. Karena bagi mereka politikus yang sudah kelihatan seperti bebek lumpuh tidak dapat diterima oleh partisannya. Istilah ini sangat tepat untuk kondisi pilkada Jakarta, yang makin hari, makin terlihat KIM dan KIM Plus tak ada kompetitornya dalam perhelatan politik pada 27 November mendatang.

Kelihatannya, kalau pun ada kandidat yang muncul sudah barang tentu itu adalah strategi politik, toh kuda hitamnya sudah kelihatan. Ataupun jika ada juga, partai-partai lain yang membangun poros baru, tetap sama saja akan membuang energi besar pada perhelatan kali nanti. Pada situasi ini, "lame duck" itu bukan lagi sebaga yang membuat kita semua mabuk, akan tetapi, situasi ini seperti kita menelan pil pahit. Yah! Memang kenyataanya begitu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya