Strategi PSSI di Era Erick Thohir: Narasi Hebat atau Reputasi Sementara?

Sepak bola merupakan olahraga yang paling populer di Indonesia, dengan jumlah penggemar hingga jutaan orang dari Sabang sampai Merauke. Olahraga ini sangat disukai oleh berbagai kalangan. Di Indonesia, sepak bola memiliki basis pendukung yang sangat besar, menjadikannya salah satu elemen penting dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat. Antusiasme publik terhadap sepak bola nasional tercermin dari padatnya stadion saat pertandingan, ramainya diskusi di media sosial, hingga kuatnya loyalitas terhadap tim-tim lokal maupun tim nasional. Namun, popularitas tersebut belum sebanding dengan reputasi dan pencapaian Indonesia di kancah internasional. Berbagai tantangan seperti manajemen yang buruk, konflik internal, hingga insiden di dalam stadion yang telah mencoreng citra sepak bola Indonesia di mata dunia. Dalam situasi ini, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menghadapi tuntutan besar untuk tidak hanya membenahi sisi teknis, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik dan citra positif di mata dunia.
Selama beberapa dekade, citra sepak bola Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan seperti konflik internal federasi, lemahnya tata kelola, hingga tragedi kekerasan seperti di Stadion Kanjuruhan. Dalam era globalisasi dan digitalisasi seperti saat ini, krisis reputasi semacam ini tidak bisa hanya dihadapi dengan perbaikan teknis atau prestasi semata, melainkan juga memerlukan strategi komunikasi yang sistematis dan kredibel. Di sinilah muncul urgensi untuk meninjau bagaimana PSSI di era Erick Thohir menjabat sebagai Ketua Federasi, menggunakan pendekatan komunikasi untuk memulihkan kepercayaan publik dan membangun kembali reputasi nasional. Publik seolah menemukan kembali harapan lama yang sempat padam, terhadap wajah baru sepak bola Indonesia.
Melalui media sosial, kampanye visual, dan pesan-pesan emosional, PSSI kini menjangkau generasi muda dan kelompok pendukung yang sebelumnya mungkin apatis terhadap kebijakan organisasi. Erick Thohir secara aktif menggunakan kanal pribadi maupun institusional untuk menyampaikan pesan secara langsung kepada masyarakat. Ini menjadi strategi penting untuk membangun kedekatan emosional sekaligus kredibilitas.
Misalnya, dalam salah satu postingan Instagram pribadi milik Erick Thohir, beliau melibatkan Presiden Prabowo Subianto dalam kegiatan sepak bola nasional. Narasi visual ini bukan hanya menunjukkan dukungan negara terhadap olahraga, tetapi juga membangun kesan bahwa sepak bola kini menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional.
Langkah ini sejalan dengan prinsip Strategic Communication Theory yang menekankan bahwa reputasi sebuah lembaga tidak hanya ditentukan oleh capaian kinerjanya, tetapi juga oleh bagaimana capaian tersebut dikomunikasikan secara strategis, konsisten, dan emosional. Dengan melibatkan simbol-simbol negara, PSSI membangun persepsi bahwa transformasi sepak bola bukan sekadar agenda federasi, melainkan gerakan kolektif berskala nasional. Dalam kerangka ini, PSSI secara aktif merancang pesan publik, merespons krisis dengan pendekatan komunikatif, membangun identitas dan brand sepak bola Indonesia, serta memperkuat diplomasi olahraga sebagai bagian dari strategi reputasi global.
Dulu, PSSI cenderung kurang interaktif dengan publik. Sekarang, lewat media sosial, kampanye visual, dan pesan-pesan motivasional, publik seolah diajak ikut membangun ulang sepak bola Indonesia. Erick Thohir tidak hanya menjadi pejabat federasi, tapi juga menjadi public communicator. Ia aktif berbicara langsung ke masyarakat bukan lewat juru bicara yang kaku, tapi lewat bahasa yang lugas dan membumi. Melalui perspektif ilmu komunikasi, pendekatan Strategic Communication menjadi landasan untuk memahami bagaimana institusi seperti PSSI membentuk narasi, merespons krisis, dan membangun brand sepak bola Indonesia.
Namun, di balik euforia dan gegap gempita itu, timbul sebuah keresahan: apakah antusiasme ini dibangun di atas fondasi yang kokoh, atau sekadar luapan emosional sesaat? Apakah peningkatan citra dan dukungan publik ini adalah hasil dari perubahan nyata dalam manajemen komunikasi dan reputasi PSSI, atau hanya karena momentum keberhasilan sementara di lapangan?
Meski begitu, penting untuk mencermati bahwa antusiasme publik yang besar tidak serta-merta berarti reputasi institusional sudah sepenuhnya pulih. Banyak suara kritis masih muncul, terutama ketika performa Timnas kurang maksimal, atau saat isu transparansi kembali mencuat. Fenomena tersebut bukan hanya mencerminkan kecintaan masyarakat terhadap sepak bola, tetapi juga memperlihatkan bagaimana komunikasi publik yang strategis dapat menggerakkan emosi kolektif dan membentuk harapan baru terhadap masa depan sepak bola nasional.
Namun demikian, euforia dan dukungan publik tidak bisa dijadikan jaminan bahwa reputasi institusi telah sepenuhnya pulih. Justru di tengah gelombang harapan ini, PSSI perlu menjaga konsistensi pesan, transparansi, dan integritas agar kepercayaan yang mulai tumbuh tidak kembali luntur. Komunikasi yang dibangun tidak boleh berhenti pada momen Kualifikasi Piala Dunia 2026, tetapi harus terus berlanjut dalam strategi jangka panjang yang melibatkan publik sebagai bagian dari solusi.
Sepak bola Indonesia bukan sekadar olahraga melainkan identitas suatu negara. Maka, membenahi sepak bola tidak cukup hanya dengan membenahi permainan di lapangan, tetapi juga dengan membenahi cara kita berbicara, mendengar, dan membangun narasi tentangnya. Sebab dalam sepak bola modern, kemenangan tidak lagi cukup. Reputasi, transparansi, dan komunikasi adalah fondasi baru bagi masa depan sepak bola Indonesia yang ingin dihormati di mata dunia.
Dalam pandangan saya, langkah PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir sudah berada di jalur yang tepat, terutama dalam komunikasi publik yang kini lebih terbuka dan emosional. Terlihat dari salah satu konten instagram Erick Thohir yang melibatkan tokoh negara seperti Presiden Prabowo menjadi simbol bahwa sepak bola kini diposisikan sebagai kepentingan nasional. Namun, reputasi PSSI tak bisa hanya dibangun dari narasi dan pencitraan. Tanpa transparansi, reformasi manajerial, dan tata kelola yang bersih, dukungan publik bisa menjadi euforia sesaat. Reputasi sejati lahir dari konsistensi antara pesan yang disampaikan dan perubahan nyata yang dirasakan.
Bagi saya, membangun citra sepak bola Indonesia adalah soal membangun kepercayaan yang berkelanjutan bukan demi pencitraan global semata, tetapi demi menjawab kerinduan publik akan sepak bola yang jujur dan membanggakan.
Artikel Lainnya
-
53516/06/2024
-
11823/07/2025
-
137224/11/2020
-
Membangun Budaya Demokratis di Indonesia
272121/08/2024 -
Vocal Minority dan Dinamika Pilkada 2024
60310/09/2024 -
Tarik Ulur RUU PKS dan Rapuhnya Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
108515/07/2020