Kaum Muda dan Budaya Membaca Kita
Pandemi nyatanya membuat manusia tidak hanya berjarak dengan manusia lain, tetapi juga dengan buku. Perpustakaan-perpustakaan sepi dan sebagian besarnya ditutup.
Toko-toko buku mengurangi jam operasionalnya. Bahkan beberapa di antaranya harus memutuskan apakah harus berjualan secara daring atau menerima kenyataan tokonya akan gulung tikar.
Selain itu, pandemi―di mana kita dianjurkan untuk berdiam diri dan bekerja dari rumah― nyatanya telah membuat porsi waktu manusia untuk berselancar di media sosial, secara khusus kaum muda, meningkat dengan tajam. Akibatnya, orang lebih memilih mengakses informasi-informasi dari internet ketimbang membaca buku. Akan tetapi, sebuah pertanyaan penting muncul: ‘Apakah informasi-informasi dari internet baik dan bermanfaat bagi manusia?’
Bagi penulis jawabannya adalah “tidak” karena tidak semua yang ada di internet adalah benar. Maka, kaum muda seharusnya tidak berjarak dengan buku karena buku merupakan suatu produk intelektual yang berbobot dan mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berangkat dari persoalan di atas, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana caranya agar di masa pandemi kaum muda Indonesia bisa menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian dari budaya dan kebiasaan mereka.
Internet Menarik Banyak Orang
Pandemi Covid-19 telah menarik orang-orang ke internet jauh lebih masif daripada periode sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Criteo, sebuah perusahaan teknologi asal Prancis, waktu orang Indonesia yang dihabiskan untuk berselancar di media sosial meningkat sebesar 70 persen sejak Maret 2020. Hasil riset situs HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020” yang dirilis pada Januari 2020 melaporkan bahwa Indonesia masuk ke dalam sepuluh besar negara dengan waktu akses internet paling tinggi di dunia dengan rata-rata mencapai 3 jam 26 menit per hari. Angka itu berada di atas rata-rata global yang mencatat waktu 2 jam 24 menit per hari. Dengan demikian, Indonesia bisa digolongkan sebagai negara yang kecanduan media sosial.
Lantas, mengapa orang-orang Indonesia lebih tertarik dengan media sosial ketimbang membaca buku? Pertama, kebiasaan membaca belum atau bahkan sama sekali tidak menjadi budaya orang Indonesia. Dalam sebuah negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, yang sebagian besar penduduknya masih merupakan masyarakat kelas bawah, masyarakatnya masih terikat dengan tanah dan urusan bertahan hidup. Dalam hal ini, orang mengarahkan kerja dan tindakannya sepenuhnya kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti makan dan minum. Karenanya, membaca dianggap sebagai sesuatu yang terlampau “mewah” dan lalu disingkirkan dari kebiasaan masyarakat kita.
Itulah kenapa pembaca di Indonesia umumnya berasal dari kaum elite dan orang-orang kaya. Sementara, masyarakat biasa cenderung enggan untuk membaca buku.
Tambahan pula, budaya membaca kurang mengakar di dalam budaya kita karena masyarakat kita terlalu cepat beralih dari penuturan lisan ke teknologi audio-visual―yang mengandalkan kemampuan mendengar dan melihat―dan mengabaikan begitu saja proses menulis (dan membaca). Akibatnya, orang lebih mudah memahami apa yang ia lihat dan dengar ketimbang memahami apa yang ia baca. Itulah kenapa orang Indonesia tidak bisa membaca dalam waktu lama, tetapi bisa menonton video atau televisi berjam-jam lamanya.
Kedua, bacaan-bacaan yang tersedia di kalangan masyarakat kurang sesuai dengan minat dan tingkat pendidikan masyarakat. Pertama-tama, tingkat pendidikan di Indonesia nyatanya masih sangat rendah.
Banyak orang-orang Indonesia yang buta huruf dan berpendidikan rendah. Masyarakat yang buta huruf jelas tidak memiliki kemampuan untuk membaca. Sementara masyarakat yang berpendidikan rendah cenderung menganggap buku sebagai sebuah produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Akibatnya, mereka tertarik untuk menonton video di platform media sosial yang sifatnya audio-visual. Selain itu, kebanyakan buku-buku yang disediakan untuk masyarakat Indonesia ditulis dalam bahasa-bahasa yang kompleks. Akibatnya, masyarakat Indonesia enggan untuk membaca karena mereka sulit memahami isinya.
Ketiga, pendidikan Indonesia kurang menekankan aspek menemukan sesuatu. Menemukan sesuatu merupakan kemampuan untuk memahami apa yang dipelajari dan lalu mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, pendidikan masih berorientasi pada nilai di atas kertas. Akibatnya, setiap siswa dituntut untuk melakukan apa saja untuk meraih terget itu, termasuk menjiplak apa saja dari internet.
Internet Adalah Monster
Kaum muda yang tidak membaca buku adalah generasi yang mudah terombang-ambing oleh apa saja yang mereka terima. Mereka dengan mudah terhanyut dalam berbagai informasi, terlepas dari benar tidaknya informasi tersebut. Kebenaran kemudian menjadi sesuatu yang relatif karena kaum muda diterpa oleh berbagai macam informasi dari internet yang tidak terhitung jumlahnya. Akibatnya, mereka tidak bisa memilih informasi mana yang benar dan mana yang tidak benar, atau mana yang dapat dipercaya dan mana yang tidak dapat dipercaya.
Menjelang pemilihan umum, misalnya, berbagai berita bohong bertebaran di mana-mana. Orang memakai berita-berita itu entah untuk mendukung argumennya ataupun untuk menjatuhkan para lawan politiknya. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah belah.
Selain itu, internet bekerja dengan mesin algoritma yang dapat mengetahui selera seseorang berdasarkan apa yang ia lihat, baca dan bagikan di internet. Akibatnya, setiap orang yang memiliki kepentingan yang sama dipertemukan dan dipersatukan. Orang Islam dengan sesama orang Islam; orang Kristen dengan sesama orang Kristen; dan seterusnya. Setelah dipersatukan, mereka beramai-ramai menyerang kelompok lain yang berbeda dari mereka. Hal ini akan menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat dan membuat paham-paham negatif seperti, rasisme, kekerasan, kebencian, fitnahan, dan terorisme dengan mudah dipercayai dan diadopsi oleh kaum muda.
Persoalan di atas bagi penulis sudah mencapai level darurat di Indonesia. Bagi penulis, orang tidak boleh tergantung kepada internet dan segera beralih ke buku. Lantas, bagaimana caranya agar di masa pandemi kultur membaca bertumbuh di antara kaum muda?
Pertama, kaum muda membutuhkan sebuah komunitas membaca. Di masa pandemi, anak-anak muda membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar membaca buku. Bagi penulis, hal itu adalah komunitas.
Sebuah komunitas membaca sangatlah penting karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Komunitas juga memungkinkan adanya pertukaran ide dan gagasan di antara para pembaca.
Selain itu, ada tipe pembaca tertentu yang membutuhkan sebuah suasana yang berbeda dalam membaca. Jika selama ini ia membaca seorang diri, di dalam ruang yang tertutup, maka di dalam komunitas ia akan menemukan suasana yang sama sekali berbeda di mana ia akan membaca bersama orang lain.
Akan tetapi, bagaimana mungkin membentuk suatu komunitas membaca di masa pandemi yang mengharuskan kita berjarak? Bagi penulis, sama dengan aktivitas lainnya, komunitas membaca bisa dijalankan secara online, misalnya melalui diskusi bersama dan sebagainya. Selain jangkauannya yang luas, ini juga memungkinkan anak muda untuk menjangkau sebuah komunitas hanya dari rumahnya.
Kedua, bagi penulis membaca bukanlah sebuah kata akhir. Masih ada sebuah proses penting setelah membaca, yakni mentransfer informasi dan pengetahuan baru dari proses membaca itu kepada orang lain. Mengapa ini penting? Bagi penulis menyerap berbagai informasi dan pengetahuan baru tanpa membagikannya kepada orang lain membuat pengetahuan-pengetahuan baru itu tidak berguna bagi lingkungan dan orang lain.
Dalam proses ini pun, apa yang telah diperoleh dari proses membaca mesti dirumuskan dengan baik. Kualitas isi sebuah lisan maupun tulisan tidak terletak pada kata-kata indah dan ruwet, melainkan pada kejelasan dan kelugasan isi lisan dan tulisan tersebut. Intinya, bahwa pengetahuan yang kita serap dari proses membaca mesti disampaikan dengan sederhana, jelas, dan lugas agar bisa sampai kepada orang lain secara efektif.
Mengapa hal ini penting? Pertama, agar kualitas bacaan yang tersedia untuk kaum muda Indonesia benar-benar berbobot dan dapat dipercaya sehingga kaum muda tidak terpapar informasi-informasi yang menyesatkan. Kedua, kualitas bacaan yang baik―dalam arti yang sederhana dan mudah dimengerti―akan dengan mudah diserap oleh sebagian kaum muda Indonesia yang masih berpendidikan rendah atau tidak bersekolah.
Artikel Lainnya
-
87001/12/2021
-
141928/06/2020
-
73430/03/2022
-
Tangentopoli, Korupsi, dan Belanja Sektor Publik
165406/08/2021 -
Remaja Merokok Ancaman Bagi Masa Depan Bangsa
35614/11/2023 -
33824/04/2025
