Memaknai Etika, Inspirasi Epikurianisme
Epikurianisme adalah ajaran etika yang berasal dari seorang filsuf Yunani kuno bernama Epikurus. Epikurus lahir di kota Yunani, pulau Samos pada tahun 314 SM. Ia hidup pada zaman sesudah pemikir-pemikir besar seperti Plato dan Aristoteles. Dalam banyak hal ia mendapat pengaruh dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Ironisnya, sampai dewasa ini pemikiran dan gagasan Epikurus tidak begitu dikenal bahkan tidak sepopuler Plato dan Aristoteles. Namun pada zamannya, Epikurus adalah figur yang menarik baik kepribadian maupun pemikirannya, sehingga para muridnya sangat menghormatinya.
Gagasan etika Epikurus pada titik tertentu ingin menunjukkan jalan bagi manusia untuk tidak sekedar hidup, melainkan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Ada pun kebahagiaan dalam konsep Epikurus secara sederhana, ialah kesenangan. Baginya, kesenangan merupakan kebaikan pertama dan utama. Nilai tertinggi ini dirumuskan sebagai ketiadaan rasa sakit pada tubuh dan kekacauan pada jiwa. Langkah hidup ditetapkan, kesenangan dicari, tetapi bila mendatangkan penderitaan lahir dan batin, kesenangan itu dihindari. Karenanya, kebahagiaan sebagai arah hidup. Kebahagian menjadi hasil dari usaha untuk mencapai kebahagiaan hidup. Pendek kata, atensi etika Epikurus ialah kebahagiaan dalam kenikmatan.
Implikasi lain dari gagasan etika Epikurus ialah peranan akal budi. Ia sangat menekankan kebijaksanaan (phronesis). Orang bijaksana adalah seniman hidup. Sebagai orang bijaksana manusia pandai menata hidup dan memiliki kesanggupan untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang perlu, yang tidak sekedar memilih kesenangan temporal, tetapi kesenangan yang berlangsung sepanjang hidup. Selain itu, orang bijaksana pandai membatasi kebutuhan-kebutuhannya agar dapat menikmati kepuasan. Pendeknya, sebagai seniman hidup, manusia dengan akal budinya pandai melakukan kalkulasi kebutuhan dan mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif dari berbagai kenyataan.
Di tengah perkembangan peradaban manusia yang semakin maju (terbaru revolusi 4.0) tidak sedikit orang mengabaikan etika dan moralitas. Persoalan etis dan moral dianggap suatu hal yang intuitif alias mengawang-awang, di mana ujung-ujungnya sekedar tindakan evaluatif karena datangnya selalu terlambat. Gambaran semacam ini, menjadikan etika dan moral sekedar wacana yang tidak berarti bahkan omong kosong. Pengabaian terhadap etika dan moral baik pada level konsep dan tindakan berimplikasi pada maraknya berbagai tendensi seperti individualis, egosentris, konsumeris, materialis, hedonis dan sebagainya. Bisa dipertanyakan, bagaimana etika dan moral menjawabi hal-hal demikian.
Fakta memperlihatkan bahwa masing-masing orang mempunyai cara tersendiri dalam mencapai kebahagiaan hidup. Sebagai mahkluk yang otonom, manusia memiliki kebebasan dalam merealisakan dirinya, termasuk menentukan arah dan orientasi hidupnya. Mirisnya, pencarian secara personal pada titik tertentu dapat saja menjatuhkan manusia pada kecenderungan privatistik.
Kebahagiaan menjadi hal yang digandrungi dan diperuntukkan bagi diri sendiri. Tidak terlalu heran bila begitu banyak orang yang egonya tinggi sekali. Dalam gejala yang demikian, orang tidak lagi mempedulikan orang lain di sekitarnya. Semakin orang bernafsu mencapai kepuasan yang tak akan selesai, semakin besar pula perhatiannya bagi kepuasan privatnya. Bahayanya, bila orang sekitarnya tidak lagi mendapat tempat, kehadiran mereka bisa jadi dimaklumi sebagai lawan atau saingan dalam memperoleh kepuasan.
Epikurus sendiri dalam ajarannya memberi perhatian pada relasi persaudaraan dan persahabatan. Konsep kebahagiaan dalam kenikmatan pun teridentifikasi dalam relasi persahabatan. Maksudnya ialah, orang mau hidup bersama, menjalin persaudaraan dan kerja sama serta mencintai sesama, karena manusia mengalami kebahagiaan dan kesenangan di dalamnya.
Relasi persahabatan itu sendiri dengan sendirinya mengadaikan adanya relasi dengan orang lain. Manusia mengalami kepenuhannya sebagai manusia justru dalam relasinya dengan orang lain. Mencintai orang lain berarti mengakui bahwa orang lain menjadi bagian dari hidup manusia. Etika sendiri berperan besar dalam menjaga keharmonisan hidup bersama. Etika dalam hal ini dimengerti sebagai suatu prioritas nilai yang menjadi pegangan bagi tiap individu dalam relasinya dengan sesama.
Gejala lain ala modernitas ialah maraknya budaya konsumeristis. Kemajuan memang menawarkan berbagai kemudahan dan turut memberi kepuasan, tetapi hadirnya farian materi pemuas tersebut justru membuat manusia malah berkompetisi mencarinya. Trend menumpuk beragam materi sekedar permaian prestise. Spektrum kebutuhan disetir oleh prinsip memiliki dan memiliki, tanpa menilai vital tidaknya suatu hal. Bila ditarik lebih jauh, sesungguhnya fenomena seperti itu memperlihatkan bagaimana manusia telah terjebak dalam kendali sitem-sistem produksi.
Produk-produk yang tercipta dan yang selalu baru menjadi semacam stimulus untuk membangkitkan hasrat konsumeris. Kebutuhan manusia dimonopoli sedemikain rupa untuk selalu memenuhi tuntutan kontinuitas kepuasan yang ditawar berbagai produk. Akibatnya, kualitas kebahagiaan menjadi sangat kerdil dan temporal bahkan pada saat yang sama mengekploitasi jati diri kemanusiaan.
Epikurus dalam ajarannya memang bersifat privatistik. Artinya, yang dicari hanya kebahagiaan pribadi. Perilaku konsumeris dan hedonis pada titik tertentu memang memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi yang dimaksudkan oleh Epikurus terkait kebahagiaan ialah kesenangan yang mendalam di mana jiwa ada dalam keadaan damai dan tenang serta bertahan selama hidup. Karenanya, unsur penting untuk hidup bahagia ialah keutamaan. Mengapa dikaitkan dengan keutamaan? Untuk melihat benang merahnya, maka perlu digarisbawahi bahwa etika epikurian sangat menekankan kemampuan manusia untuk menjadi pribadi yang bijaksana serta memiliki kesanggupan untuk mengelola hidup dengan rationya agar dapat mencapai kebahagiaan sejati. Orang bijaksana adalah seniman hidup.
Kebijaksanaan membantu manusia untuk membedakan antara yang baik dan tidak baik. Etika sejatinya bukan sekedar tentang baik dan buruk, tetapi mempertimbangkan alasan mangapa suatu hal baik dan mengapa dikatakan buruk. Kebahagiaan pertama-tama bukan soal memuja-menyembah segala kesenangan terutama yang sifatnya temporal ala kaum konsumeris. Kebahagiaan dan kesenangan dapat diperoleh dengan self-control dan kalkualsi kebutuhan. “Bagi kami”, demikian titah Epikurus dalam salah satu pernyataannya, kesenangan berarti tidak merasa sakit dalam tubuh dan tidak resah dalam jiwa. Karena hidup penuh kesenagan tidak diperoleh dengan pesta minum dan makan terus-menerus, tidak dengan menikmati remaja laki-laki dan wanita cantik, juga tidak menikmati ikan yang enak dan makanan mewah apa saja, melainkan hanya dengan pemikiran terang yang mencari akar dari segala keinginan dan dorongan menghindar dan mengusir gagasan-gagasan aneh.
Kebahagiaan tidak selalu ditemukan dalam berbagai pemuasan, tetapi secara mendalam ditemukan dalam kesederhanaan dan keteraturan hidup. Dengan ini, etika menemukan peranannya sebagai suatu seni.
Akhirnya, harus diakui bahwa etika tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Selama manusia hidup, selama itu pula etika tetap relevan dalam kehidupannya. Sebagai sesuatu yang relevan, etika dan moral tidak bisa dicap begitu saja sebagai sesuatu yang omong kosong, sebab nilai-nilai etika dan moral adalah elemen yang mensyaratkan eksistensi manusia untuk menjadi lebih manusiawi. Dari sendirinya, disadari bahwa konsep etika dan moral tidak sekedar untuk menikmati kebahagiaan dalam kesenangan ala epikurian. Etika dan moral lebih dari itu, menjelma menjadi seperti lentera yang membimbing manusia kepada kebijaksanaan hidup.
Melalui nilai-nilai etika dan moral manusia tentu diharapkan mampu membedakan anatara yang baik dan buruk, yang benar dan salah serta menjalani hidup dengan kebenaran dan kebajikan.
Artikel Lainnya
-
38007/04/2024
-
54716/09/2024
-
103212/06/2022
-
Memaknai Hari Kartini di Tengah Pandemik Corona
103827/04/2020 -
335217/04/2021
-
Sinetron Azab; Hidayah atau Tata-cara Komedi Bekerja
289717/07/2020
