Pencegahan Korupsi Melalui Pendidikkan Kurikulum di Sekolah Dasar
Kata ”korupsi” merupakan kata yang bukan lagi sesuatu yang asing dalam konteks bangsa Indonesia. Dikutip dari buku “Arti Korupsi dan Ciri-Ciri Korupsi” karangan R. Toto Sugiarto, korupsi menurut salah satu ahli yaitu Jeremy Pope, mengartikan korupsi sebagai perilaku yang dilakukan oleh pejabat, yang secara tidak wajar dan tidak sah membuat diri mereka serta orang lain mendapatkan keuntungan dengan menyalahgunakan wewenangnya.
Kasus korupsi kerap kali kita dengar maupun lihat melalui media massa seperti radio, televisi, surat kabar, dan internet. Sayangnya, aktor-aktor dari kasus korupsi ini justru merupakan orang-orang yang menjadi kepercayaan masyarakat karena memiliki posisi dan kedudukan yang sentral di Masyarakat. Sebut saja para elit negara yang memegang kekuasaan Trias Politika di Indonesia, seperti Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif baik di daerah hingga tataran pemerintah pusat. Hal ini seharusnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan, apalagi mereka ini harusnya menjadi teladan bagi masyarakat.
Menurut data yang dilansir dari KPK, pada tahun 2023 ini saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 2.707 laporan dugaan korupsi selama periode semester I 2023. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan, laporan tersebut berasal dari lingkungan pemerintahan.
Korupsi sebetulnya lahir dari problem-problem di masyarakat yang kita anggap sebagai suatu hal yang sepele, namun lambat laun akan menjadi akar dari permasalahan tindakan ini. Contoh : Pertama, dalam lingkungan keluarga. Misalnya orang tua yang terlalu menuruti keinginan anak secara berlebihan/terlalu memanjakan anaknya. Katakan saja anak yang menginginkan sesuatu yang lebih banyak dari anak lain misalnya dalam pembagian uang jajan yang tidak sama rata antara anak sulung dan anak bungsu, kemudian membiarkan anak mengambil uang orang tua tanpa sepengetahuan mereka. Diperparah dengan kenyataan bahwa orang tuanya pun tidak pernah memberikan nasehat/wejangan, sehingga anak terdoktrin untuk berpikir instan. Jadi tidak pernah ada usaha dari anak untuk mendapatkan sesuatu melalui proses karena selalu dimanja.
Kedua, dalam ruang lingkup pendidikan khususnya Sekolah Dasar. Budaya-budaya yang menyebabkan korupsi yang timbul dari lingkungan SD adalah budaya menyontek, terlambat, tidak mengerjakan tugas yang diberikan, tidak membawa buku pelajaran, berpakaian tidak sesuai dengan aturan sekolah yang ada, dan yang paling fatal adalah malas untuk datang ke sekolah. Perilaku kita yang selalu menggampangkan dan mentolerir kebiasaan-kebiasaan buruk ini juga menjadi salah satu penyebab “pembiasaan” budaya korupsi. Ketika pembiaran terhadap hal yang salah terus dilakukan, hal tersebut akan dianggap sebagai kebenaran. Jadi jangan heran jika praktik korupsi dilakukan di institusi negara oleh para elit dengan nilai korupsi milyaran hingga triliunan rupiah karena sudah dibiarkan sejak kecil yaitu melalui praktik-praktik yang kita anggap sepele seperti hal yang sudah disebutkan di atas.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa praktik korupsi ini bukan saja sekedar dimana pada saat orang memiliki kesempatan memegang kekuasaan, tetapi juga berangkat dari pola hidup di lingkungan masyarakat dan lingkungan Sekolah Dasar. Sehingga atas dasar kelalaian itu lahirlah persepsi dari sebagian besar masyarakat bahwa korupsi akan disebut korupsi apabila dilakukan oleh kaum elit yang memegang kekuasaaan di suatu negara, mereka lupa bahwa korupsi sejatinya sudah dimulai dari hal-hal kecil yang sebelumnya mereka anggap sebagai sesuatu yang lazim.
Dalam hal ini, yang perlu kita pahami bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan di lingkungan masyarakat khususnya kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada gejala-gejala korupsi mulai dari hal yang terkecil sampai pada hal besar akan mudah sekali direkam oleh manusia. Hal ini juga diperkuat oleh suatu teori psikologi yang dinamakan skemata.
Menurut Piaget (2012), skemata merupakan representasi bentuk dari seperangkat persepsi, ide, dan aksi yang diasosiasikan, dan merupakan dasar pembangunan pemikiran. Teori skemata ini dapat sangat mudah diadopsi terutama oleh anak-anak, yang masih sangat mudah untuk dicuci otaknya dengan pemikiran-pemikiran baru, saking sempitnya sudut pandang mereka. Maka jika ditarik dari konteks budaya korupsi, harusnya para orang tua dan guru SD lebih hati-hati di dalam mendidik anak, terutama dalam cara mereka bertindak dan bertutur kata.
Oleh sebab itu tulisan ini hendak menjawab pertanyaan masyarakat tentang bagaimana cara mengatasi budaya korupsi? Untuk menjawab hal ini, selain peran dari para orang tua terlebih khusus kita ingin membahas tentang peran guru Sekolah Dasar beserta dengan kurikulum yang memadai sehingga dapat mengakomodir sarana dan prasarana untuk menerapkan budaya antikorupsi. Hemat saya, kita jarang menyoroti tentang bagaimana peran guru dan kurikulum bagi pengembangan budaya anti korupsi. Sehingga dalam tulisan ini kita akan menawarkan salah satu solusi untuk menyelesaikan permasalaha ini melalui pendidikan dan kurikulum di Sekolah Dasar.
Seperti yang kita ketahui bahwa Sekolah Dasar merupakan tingkatan pendidikan yang paling bawah namun sangat penting dalam mengatur pola belajar dan pikir di tingkat selanjutnya bahkan berdampak hingga dunia kerja. Oleh karena itu metode pembelajaran pencegahan budaya antikorupsi ini harus dibuat semenarik mungkin dan memuat unsur-unsur yang mendoktrin pemikiran siswa bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang selain melanggar norma, ia juga merupakan tindakan pelanggaran hukum yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Berikut adalah metode-metode yang menurut penulis ampuh untuk memberikan doktrin pada siswa terkait budaya antikorupsi ini.
Pertama, menonton film. Film adalah gambar hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif sering disebut sebagai sinema atau tontonan. Tontonan anak dapat memengaruhi psikologinya. Melansir dari Association for Natural Psychology, anak yang terlalu banyak menyaksikan tontonan anak memiliki gaya hidup yang lebih pasif. Nah, metode film ini dikemas dengan cara yang menarik yaitu dengan membahas bahwa korupsi adalah hal yang paling hina dan terkutuk di dalam masyarakat. Kemudian tindakan korupsi akan menerima hukuman yang sangat berat, contohnya gambaran hukuman gantung dan tembak mati bagi seorang koruptor di dalam film tersebut. Ini dapat memberikan efek psikologis pada anak sehingga mereka kemungkinan besar akan menghindari bahkan melawan korupsi secara radikal.
Kedua, melalui pementasan drama. Pementasan drama juga merupakan salah satu metode yang hampir mirip dengan film, namun ia dapat dilihat secara langsung dan dapat dirasakan secara lebih intens. Drama ini juga dapat diperankan oleh para pendidik dalam hal ini guru dan staf pegawai Sekolah Dasar. Drama yang dilakukan adalah bagaimana proses/praktek hukuman bagi para koruptor. Korupsi yang dimaksud bukan hanya korupsi di kalangan atas / “white collar” tetapi juga berasal dari kalangan bawah, dan juga di dalam ruang lingkup pendidikan khususnya Sekolah Dasar.
Kurikulum sebagai standar pendidikan ditentukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Berubahnya metode pendidikan tergantung dari kurikulum yang diterapkan. Metode-metode pembelajaran seperti di atas seharusnya juga dijadikan salah satu mata pelajaran khusus yang membahas tentang buruknya budaya korupsi di Indonesia serta dampak-dampaknya. Hal ini dilakukan untuk mencegah korupsi sejak dini. Sehingga bagi saya metode ini tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak ada support langsung dari pemerintah secara universal melalui kurikulum dan mata pelajaran, karena perilaku korupsi merupakan masalah yang sangat serius dan memiliki dampak yang sangat besar bagi stabilitas negara.
Artikel Lainnya
-
108627/09/2021
-
99911/01/2021
-
563823/11/2019
-
Hari Buku Nasional: Permasalahan Buku Bajakan yang Tak Kunjung Usai
85913/05/2022 -
101125/10/2021
-
Public Discourse: Gonjang Ganjing Tapera
220108/06/2020