“Don’t Rich People Difficul”

Admin The Columnist
“Don’t Rich People Difficul” 17/04/2021 2878 view Iktirad Iyeng Pinterest.com

Don’t­ Rich People Difficul

Persis. Begitu tulisan yang saya ringkus dari pantat truk pengangkut pasir. Di atas tulisan itu ada gambar wajah seorang perempuan berkerudung putih. Sehingga kalimat “Don’t Rich People Difficul” seolah berasal dari mulutnya.

Truk itu tidak tua amat, tapi cat kuningnya sudah mulai terkelupas. Panu-panu karatan menyembul keluar di sana-sini seolah berebut tempat dengan totol-totol gumpalan pasir berwarna kuning. Geyal-geyol di sebuah jalan sempit, tulisan yang menempel di pantat truk itu cukup mengintimidasi siapapun yang berkendara di belakangnya.

Bila anda bingung memahami maksud petikan kalimat itu, kita sama. Saya juga begitu pada mulanya. “Mungkin maksudnya, ‘Jangan memperkaya orang miskin’…”, duga saya. Tentu dengan menambah huruf “t” di belakang kata “difficul”.

Tapi tafsiran ini tidak terlalu meyakinkan. Kata “rich” berarti “kaya” yang merupakan kata sifat, bukan kata kerja “memperkaya” seperti yang saya duga tadi. Sedangkan “difficul(t)” artinya susah, bukan miskin. Sehingga tulisan di pantat truk, “Don’t Rich People Difficul(t)”, tidak bisa diartikan sebagai “Jangan Memperkaya Orang Miskin”. Terlebih ada gambar perempuan sederhana berkerudung putih di atasnya. Lalu apa maksud tulisan itu?

Ingatan saya terbang ke tahun 2012 ketika harus bolak-balik Jogja-Madiun setiap akhir pekan. Dari ritual itu saya menjadi tahu, jangan pernah berharap bisa memahami tulisan-tulisan di pantat truk sembari mengekang diri dengan aturan baku. Karena goresan-goresan para filsuf jalanan itu hanya bisa dipahami secara liar dan imajinatif.

Anda boleh saja mengernyitkan dahi. Tapi tulisan “Milk Original Crocodile Forget” akan lebih pas jika dipahami sebagai ‘susu asli Boyo(-)lali’ ketimbang ‘lupakan susu buaya asli’ ala Google Translate.

Dengan sedikit melepasliarkan imajinasi, saya menjadi paham maksud tulisan “Don’t rich people difficul”. Artinya “jangan kaya (dibaca dengan menambahkan huruf “k” di akhir kata ‘kaya’ sehingga menjadi ‘kayak’) orang susah.” Lalu gambar perempuan berkerudung putih melengkapi makna pesan itu.

Perempuan berkerudung putih menasehati orang-orang miskin yang hidupnya susah untuk menjaga harga diri. “Meski kamu orang melarat”, begitu kira-kira katanya, “…tapi jangan pernah berperilaku seperti orang melarat yang selalu mengemis pertolongan pada orang berduit, jika tak ingin kemerdekaan mu terenggut”.

Menjelang Hari Kartini seperti sekarang ini, pesan itu membawa saya pada semangat perlawanan yang dimiliki oleh R.A Kartini. Perempuan berkerudung putih itu bukan Kartini, tapi ia memiliki kesamaan dengan kartini. Ia juga mewakili semangat perlawanannya mereka yang lemah terhadap orang-orang yang kuat.

Kartini dalam bayangan saya adalah seorang perempuan lemah terhimpit struktur budaya. Akan tetapi, meski lemah, ia tetap melawan dengan cerdik. Ia tidak mengikuti “seharusnya” sambil menawarkan “yang lain” yang lebih baik untuk dirinya dan orang-orang lemah yang lain.

Semangat ini juga sama dengan perempuan berkerudung putih di pantat truk pengangkut pasir itu tadi. Kalau masyarakat sekarang ini mengatakan seharusnya orang-orang miskin menyerahkan harga diri mereka kepada orang kaya, tidak demikian perempuan berkerudung putih itu. Semua orang kere harus bisa menjaga harga dirinya supaya tidak terbeli oleh orang berduit, supaya hidup tetap bebas merdeka.

Sebuah perlawanan cerdik dari si sopir truk. Tidak perlu susah-susah tampil di tv, channel YouTube-nya om Deddi Corbuzer maupun Kakak Atta Halilintar, cukup menggambar sosok perempuan berkerudung putih dengan goresan kalimat nyentrik di pantat truknya. Walau hanya itu, ia mampu menyadarkan banyak orang lemah bagaimana caranya untuk tetap hidup bebas merdeka, termasuk saya sendiri.

Lalu siapa bilang orang-orang lemah tidak mampu melawan? Anda-anda mungkin termasuk orang yang menganggap mereka yang miskin, terpinggirkan, tidak berpendidikan, dan memiliki status sosial rendah tak akan pernah mampu melawan ketika ditindas sehingga harus dikasihani. Jika iya begitu, maka anda salah. Orang-orang lemah melawan dengan caranya sendiri.

James Scott, seorang antropolog, bercerita perlawanan orang-orang yang lemah di bukunya, Weapons of the Weak. “Di Sedaka…”, ucapnya, “saya melihat hal yang berbeda, petani-petani lemah di sana melakukan perlawanan setiap hari dengan cara mereka”, kira-kira begitu ia berkisah.

Sedaka adalah sebuah desa di Kedah, Malaysia. Sebelum tahun 1985 Scott hidup di sana dua tahun untuk mempelajari respon petani gurem terhadap pajak, biaya sewa dan bunga pinjaman yang mencekik. Sama seperti Kartini dan si sopir truk tadi, perlawanan mereka amat cerdik. Terkadang dengan mencuri kecil-kecilan, di saat lain bergunjing sesama mereka. Cara-cara yang mudah dan minim risiko ini nyatanya tidak terlalu buruk untuk dikerjakan.

Cerita orang-orang lemah yang melawan tidak hanya sampai di situ. Ada sekelompok masyarakat di Jawa Timur yang lahannya dirampas paksa oleh negara untuk dijadikan perkebunan tebu sekitar awal tahun 2000an. Lalu pada sebuah malam, salah seorang dari mereka pergi bersepeda sambil menghisap sebatang rokok. Seorang diri saja tanpa mengajak siapapun. Ndilalah rokok di tangannya itu tertiup angin dan jatuh di dedaunan kering kebun tebu. Api kemudian menyala, perkebunan tebu habis porak-poranda.

Cerdik, bukan? Modal perlawanannya cuma sebatang rokok, dilakukan sambil bersepeda menikmati angin malam. Si pelaku tersebut hampir mustahil tertangkap, bagaimana cara membuktikan rokok si anu yang membakar perkebunan tebu itu? Tapi ini semua berhasil membuat perusahaan rugi besar dan trauma.

Model perlawanan orang-orang lemah ini terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Suatu ketika saya menggunakan ojek online (Ojol). Si driver cerita kalau beberapa hari lalu mereka habis protes ke perusahaan tempat mereka bermitra karena membuat kebijakan serampangan. Demi memenangkan persaingan bisnis, si perusahaan Decacorn merekrut driver perusahaan lawan besar-besaran sehingga jumlah driver melonjak, pemasukan driver yang lama jadi nyungsep.

Saya sebetulnya sudah tahu kalau nasib driver Ojol mulai merana. Seorang teman pernah bercerita, “Kalu dulu pas awal-awal, Sabtu dan Minggu saja, jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Pulang-pulang bawa 1,4 juta. Kalau sekarang seret”.

Tapi yang menarik dari percakapan saya dengan driver Ojol tadi tak lain dari cara mereka melawan. “Ya dibuka aja aplikasinya di Play Store, trus rame-rame kasih bintang 1. Kalau dua minggu nilainya 3, skala 1-5, aplikasinya otomatis dihapus google”, terangnya dengan santai. Dihapusnya aplikasi tersebut sama dengan hilangnya aset digital perusahaan. Menakutkan. Kebijakan perusahaan decacorn yang perkasa itu pun tumbang oleh ribuan jempol orang-orang lemah. Ironis sekaligus menggelikan.

Cerita lain datang dari film Watchdoc, Perlawanan Dari Dapur. Nefa dan Aboy adalah pengusaha kecil makanan beku. Mereka merasa kecewa bermitra dengan Go Food. Sesuatu yang di luar dugaan saya dan juga mungkin anda juga. Maklum, media-media menyebut Go Food telah sukses membuat UMKM bermandikan uang.

Tapi kenyataan sungguh berbeda. Goo Food itu, cerita Nefa dan Aboy, meminta bagian dua puluh persen dari penjualan, uang penjualan baru cair di tiga sampai empat hari kemudian, dan sialnya, setiap diskonan ditanggung oleh penjual. Dan harap dicatat, porsi keuntungan dua puluh persen milik Go Food tak boleh terusik dalam perdiskonan itu.

Perlawanan Nefa dan Aboy juga cerdik. Cukup berhenti bermitra dengan Go Food, lalu gunakan platform media sosial yang sudah ada. Hasilnya, keuntungan yang diperoleh membuat mereka tersenyum.

Artinya, orang-orang lemah di masyarakat digital perkotaan ternyata cuma butuh jempol dan beberapa “klik” saja untuk melawan para raksasa. Amat cerdik karena mudah, resiko kecil, namun efektif.

Diam-diam saya merenung. Ternyata api perlawanan Kartini terus menyala di banyak tempat. Baik di desa maupun kota, dari jalanan maupun dapur.

Lalu saya teringat sebuah pesan di grup WhatsApp. Seorang teman sedang mencari pekerja yang sanggup tetap bekerja di sabtu dan minggu. “Maklum, kami-kami ini juga digencet oleh atasan”, kira-kira begitu jelasnya mengapa ia harus memaksa calon pegawainya itu untuk tetap bekerja pada akhir pekan.

Saya jadi sadar, siapa ‘orang lemah’ itu amat relatif. ‘Orang kuat’ bisa menjadi orang lemah pada situasi yang lain. Tapi tenang. Saya tak akan bertanya, apa yang akan anda lakukan jika dalam posisi orang lemah, menyalakan api Kartini atau menggencet yang lain?***

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya