Melacak Pangkal Penyebab Banjir Kalsel

Mahasiswa
Melacak Pangkal Penyebab Banjir Kalsel 25/01/2021 1333 view Opini Mingguan CNN Indonesia

Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering mengguyur Indonesia. Hampir setiap kita menyaksikan berita banjir di sejumlah daerah yang berujung kerugian. Kerugian materi, jiwa, dan sosial semuanya berawal dari banjir.

Awal tahun 2021 merupakan awal terjadinya musibah beruntun di Indonesia. Kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182, erupsi Merapi, wafatnya ulama Indonesia yang kompeten secara beruntun, gempa Mamuju, banjir Kalsel, dan seterusnya. Atas nama kemanusiaaan, kegiatan donasi untuk korban bencana terus mengalir. Belum lagi, wabah Covid-19 enggan keluar dari Indonesia meski vaksin sudah tersedia. Dilansir dari suara.com, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejak 21 hari pertama Indonesia dilanda 185 bencana. Semuanya ini memberikan kabar duka untuk warga Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui darimana pangkal terjadinya banjir, lebih berfokus pada banjir Kalsel. Seperti yang diketahui, diskusi terkait bencana banjir selalu ramai dibicarakan. Bahkan publik pun ikut-ikutan beropini terkait sebab terjadinya banjir sesuai dengan kapasitas ilmu mereka.

Kalimantan merupakan salah satu wilayah yang memiliki luas area hutan hijau tropis terbesar di Indoneisa. Jika digabung dengan wilayah Sumatera dan Papua, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam penyediaan oksigen, ekosistem, dan kestabilan iklim untuk dunia. Belum lagi potensi biodiversitas dan bahan tambang yang terkandung di dalam. Deforestasi menjadi mimpi buruk bagi kita karena sama saja membawa bencana alam yang bertubi-tubi. Selain itu, biodiversitas pun menjadi sulit ditemukan karena ulah kezaliman manusia dalam memanfaatkan alam.

Banjir Kalsel pada 12-13 Januari 2021 sampai sekarang menjadi perdebatan panjang. Ada orang berpendapat bahwa banjir disebabkan oleh faktor alam atau curah hujan yang tinggi. Namun, tidak sedikit orang berpendapat banjir disebabkan oleh ulah manusia sebagai hukuman dari Tuhan. Menurut hemat penulis semuanya ini benar adanya. Namun ada satu poin penting ketika faktor alam dan ulah manusia berfusi menjadi bencana alam yang dahsyat, yaitu deforestasi.

Penulis sepakat dengan pernyataan M. Jefri Raharja, Manajer Kampanye Walhi Kalimantan Selatan. Jefri melaporkan bahwa deforestasi menjadi pangkal terjadi banjir di Kalimantan Selatan. Pasalnya, ketika hutan ditebang secara liar dan dialihfungsikan menjadi lahan pemukiman, pertanian, dan perkebunan menyebabkan air hujan tidak lagi masuk ke dalam tanah. Celakanya, Kalimantan saat ini menjadi lahan perkebunan sawit dan tambang batu bara yang sama sekali menyisakan kerusakan lingkungan, berupa lahan kritis (Kompas.com, 21/1/2021).

Jefri menyampaikan data terkait deforestasi Kalimantan. Ia mencatat bahwa luas lahan perkebunan meningkat sebesar 14 persen dalam periode 2009-2011, terus meningkat menjadi 72 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Lahan bukan tambang meningkat sebesar 13 persen dalam kurun 2 tahun. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat terjadi penurunan signifikan luas hutan alami di daerah aliran sungai (DAS) Barito sebesar 55,5 % sepanjang 1990-2000.

Hal ini diperkuat oleh data LAPAN terkait deforestasi Kalimantan. LAPAN mencatat selama periode 2010-2020, luas hutan primer berkurang sebesar 13 ribu hektar. Luas hutan sekunder berkurang sebesar 116 ribu hektar, sawah 146 ribu hektar, dan semak belukar 47 hektar. Sementara luas lahan perkebunan bertambah sebesar 219 ribu hektar, termasuk 650 hektar berada pada DAS Barito (PikiranRakyat.com, 21/1/2021).

Bukti data tentang deforestasi hutan di Kalimantan di atas menjadi perhatian bagi kita semua. Pasalnya, pada abad ke-21 kita sedang menghadapi bencana perubahan iklim akibat pemanasan global. Kita semua tahu bahwa pangkal pemanasan global ialah penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi. Kegiatan deforestasi bisa berupa pembakaran dan penebangan hutan serta alih fungsi lahan. Lantas seperti apa hubungan antara hutan dan perubahan iklim.

Singkatnya, hubungan antara hutan dan perubahan iklim saling mempengaruhi. Jika hutan tetap terjaga kelestariannya, maka risiko perubahan iklim bisa diminimalisir. Sudah menjadi kewajiban bagi hutan yang menjamin makanan, air bersih, oksigen, mineral, dan kebutuhan lainnya untuk memenuhi hajat hidup makhluk hidup, termasuk manusia. Kelangsungan ekosistem global juga bergantung pada hutan.

Jika hutan ditebang dan dibakar semau-maunya hawa nafsu manusia, maka risiko perubahan iklim turut meningkat. Ketika hutan menjadi gundul, maka bencana erosi tanah, tanah longsor, dan banjir akan siap menerjang pemukiman manusia. Sedangkan bila terjadi kebakaran hutan, maka racun dari kabut asap membuat manusia menderita gangguan pernapasan dan hewan dan tumbuhan pun mati terbakar. Akibatnya, sirkulasi atmosfer terganggu karena tanpa hutan distribusi hawa panas menjadi kacau.

Belum lagi, dampak sosial merupakan akibat tak langsung deforestasi hutan. Sebagian besar kebutuhan masyarakat Kalimantan berasal pada hutan. Kebutuhan pangan, sandang, dan papan mereka semuanya berasal dari hutan. Jika terjadi kerusakan hutan akibat deforestasi , tentu berdampak terhadap perekonomian mereka. Alhasil, mereka pindah ke kota terdekat dan menambah beban ruang kota itu sendiri. Akibatnya, kota semakin rentan terhadap masalah kriminalitas, pengangguran, kemiskinan, dan penyakit menular.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya