Politik Rekognisi: Tanah Adat dan Identitas Budaya

Perampasan tanah adat selalu menyisakan traumatis mendalam bagi kehidupan mereka yang terdampak. Akses sumber daya alam menjadi harapan hidup masyarakat dirampas ketika gelombang ekspansi masuk. Tanah, air, tumbuhan, hutan-hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi sumber kelangsungan hidup manusia berubah menjadi ranah pertarungan darah dan air mata.
Akibatanya, bencana besar kerap terjadi. Bencana besar bukan kehendak alam itu sendiri melainkan suatu tindakan dilakukan oleh manusia tanpa melihat kaidah dalam mengelola sumber kekayaan alam sebagaimana mestinya.
Deforestasi mengubah hutan menjadi hamparan perkebunan sawit, proyek pertambangan, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Tanah-tanah subur tersebut dimanfaaatkan oleh masyarakat sekitar terutama masyarakat adat yang menganggap alam sebagai indentitas budayanya. Kritik semacam ini coba diungkapkan oleh Klinken (2007:30) meskipun begitu, warisan pengurasan sumber ekologis itu bukanlah satu-satunya faktor dan barangkali bahkan bukan faktor utama.
Negaralah yang mengeluarkan lisensi-lisensi untuk menebang hutang dan membangun perkebunan-perkebunan. Persaingan untuk mengendalikan negara biasanya merupakan bagian yang besar dari persoalannya, sama besar dengan perjuangan untuk memperebutkan tanah.
Meminjam kalimat salah satu cendekiawan Indonesia Daniel Dhakidae, "Tanah memiliki sejarah besar dan panjang dengan berbagai lika-liku, drama dalam tragika dan euforia". Dalam perebutan tanah, baik oleh sesama individu dalam masyarakat maupun perebutan paksa oleh negara. Dalam hal ini meliputi melucuti hak milik, land expropriation atau land dispossesion, serta perebutan paksa dalam arti pendakuan sepihak atas tanah, land appropriation, dan semuanya menjadi drama kehidupan yang mengalir darah dan air mata (Dhakidae, 2019).
Kisah-kisah mengiris hati di beberapa kawasan Indonesia selalu membuat kita sedikit miris. Penggusuran lahan-lahan produktif masyarakat kerap kali diubah menjadi pembangunan-pembangunan yang lebih berorientasi terhadap segelintir orang yang memiliki akses. Tita tahu, tanah dan hutan merupakan satu unsur yang tidak terpisahan dan merupakan sumber berkah kehidupan yang Tuhan limpahkan di muka bumi.
Provinsi Maluku, kepingan surga di timur nusantara, memiliki keanekaragaman hayati yang cukup melimpah. Selain menjadi habitat satwa endemik, lahan yang dijadikan pangkalan udara itu adalah tempat ritus bagi dilangsungkannya upacara adat Tordauk oleh masyarakat adat Marafenfen, yaitu berburu bersama-sama di padang savana yang telah menjadi Pangkalan Udara TNI Angkatan Laut tersebut.
Dibangunnya Pangkalan Udara menjadi bencana bagi masyarakat adat Marafenfen. Mereka menjadi semakin sulit dalam melaksanakan upacara adat seperti biasa karena hewan buruan sudah sangat jarang ditemukan bahkan hampir tidak ada. Selain itu, tergangunya sumber kebutuhan hidup mereka karena keterganguan terhadap hutan yang ada di wilayahnya.
Sejarah Singkat Konflik
Peristiwa perebutan tanah adat dan TNI AL sudah berlangsung cukup lama. Kisah ini dimulai pada tanggal 22 Januari 1992. Bermodal izin pakai lokasi melalui Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591/SK/50/92, TNI AL membangun bandara dan fasilitas lain. TNI AL mengklaim pembebasan lahan diawali pelepasan hak atas tanah oleh ketua Persekutuan Mayarakat Adat Desa Marafenfen dengan surat pelepasan 20 Agustus 1991.
Pembangunan tersebut tentunya mengancam kelangsungan hidup mereka terutama hutan adat yang selama ini mereka jadikan sebagai identitas masyarakat adat. Pelbagai penolakan dari masyarakat adat Marafenfen hadir atas keresahan yang mereka alami tersebut, membangunan gerakan penolakan, membuat surat terhadap Bupati hingga Gubernur, yang terbaru melakukan gugatan dan sayangnya mereka kalah dalam pengadilan yang diputuskan baru-baru ini. Namun, hal ini bukan berarti menyurutkan perlawanan mereka demi menjaga hutan adat yang mereka anggap sebagai identitas hidupnya
Politik Rekognisi: Pertarungan Tanah Adat dan Identitas
Sejarah telah mencatat perebutan tanah adat kerap kali menjadi suatu peristiwa yang tidak akan pernah surut. Kekuasaan tidak lepas dari tindakan penguasaan hutan dan tanah.
Di beberapa tempat, hutan dan tanah menjadi identitas bagi masyarakat adat. Identitas tersebut diperlihatkan oleh masyarakat adat Marafenfen berupaya untuk mendapatkan pengakuan (rekognisi) mengenai pemenuhan hak-hak dan kekhasan identitas budaya mereka. Pada kesempatan ini penulis akan menggunakan kerangka analisis yang dikemukakan oleh salah satu filsuf dari Jerman tokoh mazhab Frankfut generasi ketiga yaitu Axel Honneth dengan teorinya yaitu politik pengakuan.
Axel Honneth adalah guru besar filsafat pada Universitas Frankfurt dan direktur Institute for Social Research di Frankfurt am Main, Jerman pada 2001. Honneth lahir pada tahun 18 Juli 1949, menempuh pendidikan di Bonn, Bochum, Berlin dan Muenchen (murid dari Jurgen Habermas). Ia juga mengajar di Free University Berlin dan The New School sebelum pindah ke Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt pada 1996.
Axel Honneth merupakan seorang teoretisi kontemporer. Ia dikenal sebagai tokoh Teori Kritis (Mazhab Frankfurt) generasi ketiga. Tesis Honneth yang sangat terkenal, yakni theory of recognition (teori pengakuan atau politik pengakuan). Adapun yang dimaksud politik pengakuan di sini, berkaitan dengan martabat manusia, bahwa pada dasarnya setiap manusia menginginkan untuk diakui “kekhasannya” atau “keunikannya” sebagai manusia. Dengan kata lain, setiap manusia menginginkan adanya rasa hormat dari manusia lain, dan hal inilah yang menjadi penggerak sejarah.
Dalam The Struggle for Recognition: Moral Grammar of Social Conflict (1995) nampak jelas bagaimana Honneth membangun teorinya dengan mendasarkan pada pemikiran Hegel. Honneth menjelaskan, bahwa Hegel merumuskan tentang kesadaran diri melalui suatu proses pengakuan yang bersifat timbal balik. Akan tetapi, relasi antara kesadaran diri dan pengakuan timbal balik ini tidak bersifat linier, melainkan ada konsep lainnya yang berada di antara kedua konsep tersebut, yaitu konsep struggle of recognition (perjuangan untuk mendapat pengakuan).
Lebih lanjut, Honnet kemudian membangun teorinya dengan mendasarkan pada tiga bentuk pengakuan timbal balik yang berpijak dari teori Hegel. Adapun maksud timbal balik adalah pertama yakni cinta yang mengandaikan antarsubjek dapat saling menerima dan mengakui satu sama lain. Kedua, adanya penghormatan antar sesama individu dan dalam bentuk hak-hak yang bersifat legal. Ketiga yakni terbentuknya solidaritas. Tentu saja ketika masing-masing subjek dapat mengenali, menghormati, dan adanya sikap menerima kekhasan ataupun identitas dari masing-masing subjek.
Dalam pemahaman rekognisi Axel Honneth, absennya pengakuan menyebabkan adanya disrespect. Dalam ranah hukum misalnya, hukum harus mampu menjamin kesetaraan termasuk untuk berkontribusi atau berpartisipasi dalam politik dan sebagainya. Ketiadaan rekognisi mengakibatkan suatu pihak terekslusi dari kesetaraan (Honneth, 1995). Dengan demikian, ketiadaan pengakuan akan mengakibatkan suatu pihak terlukai, dan menyebabkan lahirnya perlawanan.
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adat Marafenfen untuk menyuarakan hak atas pengakuan tanah adat dengan terancamnya dari pengkalan udara TNI AL. pengambilan tanah adat yang menjadi bandara sejatinya meminggirkan identitas mereka dalam hal ini pengakuan akan budaya yaitu hutan dan tanah yang menjadi identitasnya sejak dulu terjaga hilang berganti menjadi puing-puing bangunan.
Dalam konteks ini, seperti yang dijelaskan Honnet mengakui bahwa menghormati atas apa yang dimiliki oleh setiap subjek dalam hal ini masyarakat adat Marafenfen. Absennya hal tersebut menjadi percikan lonjakan besar, yaitu pertarungan penguasaan tanah dan hutan adat menjadi arena pertempuran manusia.
Perampasan hutan-hutan adat selalu saja meminggirkan masyarakat adat sekitar yang menghuni bertahun-tahun. Perubahan lahan adat menjadi pelbagai macam pembangunan meminggirkan mereka dari identitas mereka yaitu hutan dan tanah. Sebagaimana yang dikatakan Sobrevila dalam The Role Of Indigenoud Peoples In Blodversit Conservation, yang menyatakan bahwa 80% ekosistem terbaik yang tersisa di muka bumi dijaga dan dipelihara oleh masyarakat adat.
Oleh karena itu, sudah menjadi kebanggaan bahwa hutan-hutan yang berada di beberapa pulau di Indonesia yang dijaga oleh masyarakat adat dari beragam ancaman krisis ekologi yang kelak akan melanda. Hari ini kita lihat apa yang terjadi di wilayah timur Indonesia yaitu Maluku. Perlawanan masyarakat demi mempertahakan hutan dan tanah adat dari ancaman kelak yang akan dialami oleh mereka. Bagi masyarakat adat Marafenfen, hutan dan tanah adat merupakan identitas budaya mereka. Jika kelak mereka berhenti berjuang, maka mereka akan kehilangan identitas budayanya yang akan diwariskan bagi generasi mendatang.
Artikel Lainnya
-
151620/11/2020
-
58814/08/2022
-
103623/05/2023
-
Mengenang Wiji Thukul dan Semangat Pergerakan Mahasiswa
223528/08/2020 -
Azanlah dengan Indah, agar Kami Pun Senang Mendengarnya
107305/03/2022 -
Memenuhi Hak-Hak Narapidana Perempuan
169027/11/2021