Melestarikan Alam dengan Landasan Tauhid dan Ilmu Pengetahuan

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Melestarikan Alam dengan Landasan Tauhid dan Ilmu Pengetahuan 26/01/2025 20 view Agama wikipedia.org

Isu lingkungan telah menjadi perhatian global dalam beberapa dekade terakhir. Dari pencairan es di Kutub Utara hingga peningkatan emisi karbon yang memengaruhi perubahan iklim, semua ini menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk lainnya di bumi.

Berbagai gerakan pelestarian lingkungan muncul di seluruh dunia, namun implementasinya masih jauh dari optimal. Masalah ini tak lepas dari kurangnya pemahaman serta penerapan yang salah terhadap teori-teori pelestarian lingkungan yang sebenarnya telah ada.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim sebagai mayoritas, juga dihadapkan pada beragam tantangan lingkungan yang tidak kalah kompleks. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, alih fungsi lahan, dan pencemaran merupakan isu-isu utama yang masih terus berlangsung. Ironisnya, ajaran Islam yang sangat menekankan harmoni dengan alam sering kali tidak terefleksikan dalam praktik sehari-hari masyarakat muslim. Padahal, ini merupakan masalah mendasar karena Islam sebenarnya menawarkan paradigma yang transformatif, yang apabila diterapkan dengan benar, dapat menjadi solusi terhadap krisis lingkungan ini.

Paradigma tersebut dapat dipahami dari prinsip tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemelihara, dan pengatur alam semesta. Prinsip tauhid menegaskan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, sekaligus mencakup hubungan horizontal antara manusia dengan sesama makhluk, termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan secara keseluruhan.

Dalam pandangan ini, tidak ada satu ciptaan pun yang lebih tinggi dari yang lain di bawah kuasa Allah. Semua makhluk berada dalam kesetaraan sebagai ciptaan yang tunduk pada kehendak-Nya, sementara manusia diberi amanah untuk menjaga harmoni di antara mereka. Memahami tauhid dengan benar berarti melepaskan gagasan hierarki eksploitatif, menggantikannya dengan penghormatan yang setara terhadap setiap unsur ciptaan Allah.

Kesetaraan ini mencakup seluruh ciptaan, termasuk binatang dan tumbuhan. Sebagai contoh, dalam QS. Al-An’am ayat 38 disebutkan bahwa “Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan.”

Ayat tersebut mengajarkan bahwa hewan juga memiliki komunitas dan keteraturan yang diciptakan oleh Allah. Keberadaan hewan bukanlah tanpa tujuan, melainkan bagian integral dari sistem kehidupan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Masalahnya adalah penghormatan terhadap binatang sering kali terabaikan, padahal pengakuan terhadap status mereka sebagai makhluk yang memiliki hak eksistensi adalah bagian dari solusi.

Namun, dalam realitasnya, manusia sering kali menganggap dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu, sehingga mengabaikan hak makhluk lain. Kritik utama yang dapat diajukan terhadap kesadaran manusia masa kini adalah kecenderungan untuk memandang binatang dan tumbuhan sebagai entitas yang tidak memiliki kesadaran.

Pandangan sains modern menunjukkan bahwa setiap spesies memiliki sistem komunikasi, interaksi, dan kemampuan adaptasi yang kompleks. Misalnya, penelitian tentang pohon-pohon di hutan mengungkapkan adanya wood wide web, yaitu jaringan akar bawah tanah yang memungkinkan pohon saling berkomunikasi dan berbagi sumber daya. Fakta ini sejalan dengan prinsip Islam yang mengajarkan bahwa semua makhluk Allah memiliki peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Kesadaran ini menjadi jalan keluar yang seharusnya mengubah cara manusia memandang posisi dirinya di alam semesta. Dalam perspektif Islam, manusia memang diberi amanah sebagai khalifah di bumi, tetapi amanah ini harus dijalankan dengan tanggung jawab, bukan keserakahan. Manusia tidak memiliki otoritas untuk merusak atau mengeksploitasi alam seenaknya, melainkan berkewajiban untuk menjaga dan melestarikannya.

Dengan mengintegrasikan perspektif Islam dan sains, kita dapat membangun paradigma baru yang lebih inklusif dan efektif dalam mengatasi krisis lingkungan. Islam menawarkan landasan etis melalui prinsip tauhid, sementara sains memberikan pemahaman tentang mekanisme alam dan interaksi antar spesies. Solusi ini menempatkan keduanya sebagai panduan untuk menjaga keberlanjutan bumi.

Pada akhirnya, diperlukan upaya kolektif untuk menerapkan paradigma ini secara nyata. Pendidikan lingkungan berbasis nilai-nilai Islam dapat menjadi salah satu langkah awal yang penting. Kurikulum di sekolah-sekolah Islam, misalnya, dapat memasukkan ajaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Di tingkat kebijakan, pemerintah dapat mengadopsi prinsip-prinsip ini dalam peraturan tentang pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.

Dengan demikian, perlu untuk merefleksikan kembali peran manusia sebagai makhluk yang diberi amanah untuk menjaga bumi. Paradigma baru yang mengintegrasikan prinsip Tauhid dengan temuan sains modern dapat menjadi jawaban atas krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini. Dengan memahami bahwa semua makhluk adalah ciptaan Allah yang setara, kita dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dengan alam dan memastikan kelangsungan hidup bagi generasi mendatang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya