Medsos, Hoax dan Pendidikan Karakter

Telah menulis di berbagai media massa; Kontributor Buku Antologi Jangan Jual Integritasmu
Medsos, Hoax dan Pendidikan Karakter 24/12/2019 2052 view Pendidikan flickr.com

Menghadapi era revolusi industri 4.0 hari ini membuat berbagai negara di dunia semakin berlomba dengan para kompetitor guna memenangkan pertarungan. Warga dunia pun kini memusatkan perhatian pada ketersediaan beragam produk digital.

Keberadaan ponsel hingga smartphone yang memudahkan aktivitas manusia akhirnya membuat rasa ketergantungan manusia semakin tinggi. Sebab, di dalam smartphone telah tersedia berbagai fitur dan aplikasi. Salah satunya adalah internet. Tak disadari, penggunaan internet hari-hari ini semakin tinggi, jika tidak bisa dibilang semakin menggila.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan ada 171,17 juta pengguna internet di Indonesia pada 2018. Angka ini berdasarkan hasil survei penetrasi dan perilaku pengguna internet di Indonesia oleh APJII. Jumlah ini setara dengan 64,8 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 246,16 juta menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

Penggunaan internet yang semakin tinggi, memudahkan orang untuk berselancar di dunia maya atau media sosial (medsos). Para pengguna internet pun diberi sebutan warganet atau netizen. Mereka seperti warga global, karena bisa berkoneksi dengan semua orang di belahan dunia manapun. Awalnya orang menggunakan media sosial untuk mempermudah komunikasi, tetapi lama kelamaan penggunaan media sosial pun untuk mencari informasi, bersosialisasi diri, bahkan ada yang menggunakan medsos untuk berbisnis.

Ironisnya, ada pula yang membuat informasi bohong, saling mem-bully, menghujat, memfitnah, mengancam, meneror, dan lain sebagainya. Tentu masih segar dalam ingatan kita, berita bohong alias hoax yang sempat membuat heboh jagad maya maupun nyata di Indonesia beberapa waktu lalu.

Ratna Sarumpaet menyebar hoax kemudian diikuti dengan penyebar lain dan terjadilah hoax berjamaah. Dampaknya, kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi gaduh. Apalagi, saat itu jelang Piplres. Olehnya kemudian disebut Ratu Hoaks. Ia kemudian dijebloskan ke dalam jeruji besi.

Menyoal Hoax

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks atau hoax adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Sementara menurut Werme (2016), hoaks adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut, sejak Agustus 2018 hingga April 2019 menyebut, terdapat 1.731 hoax. Dalam pada itu, Anto Satrio Nugroho (2017:12) menyebut ciri-ciri berita hoaks antara lain: Pertama, didistribusikan via email atau media sosial karena efeknya lebih besar. Kedua, berisi pesan yang membuat cemas, panik para pembacanya.

Ciri ketiga dari hoaks adalah diakhiri dengan himbauan agar si pembaca segera meneruskan warning tersebut ke forum yang lebih luas. Hoaks memanfaatkan iktikad baik si pembaca, sehingga pembaca email tanpa meneliti terlebih dahulu kebenaran beritanya, langsung segera menyebarkannya ke forum yang lebih luas. Akibatnya lalu lintas peredaran data di internet makin padat dengan berita yang tidak benar. Keempat, Biasanya pengirim awal hoaks ini tidak diketahui identitasnya.

Untuk menjerat para pelaku dan penyebar hoaks, hampir semua negara diseluruh dunia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hoaks. Di Indonesia, penebar hoaks akan dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Pun demikian, upaya mengatasi pembuatan dan penyebaran hoaks tidak sebatas memberi hukuman, tetapi perlu ada upaya pencegahan sejak dini agar semakin banyak orang tidak menyebar kebohongan. Lantas, apa yang perlu dilakukan? Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hoaks.

Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho, misalnya dalam kompas.com, Minggu (8/1/2016), menguraikan lima langkah sederhana yang bisa membantu dalam mengidentifikasi mana berita hoaks dan mana berita asli. Pertama, hati-hati dengan judul provokatif. Kedua, cermati alamat situs. Ketiga, periksa fakta. Keempat, cek keaslian foto dan kelima, ikut serta grup diskusi anti-hoax.

Pendidikan Karakter

Meski begitu, hemat saya, hal itu belum cukup, jika generasi hari ini tidak dididik dengan nilai “kejujuran”. Karena lawan dari kebohongan yang sesungguhnya adalah kejujuran. Lalu, bagaimana mendapat dan melakukan kejujuran? Pertama, sesungguhnya keluarga dan lingkungan sekitar harus menjadi tempat setiap orang dididik dan mendapat pelajaran tentang kejujuran. Kedua, peran negara melalui sekolah-sekolah tentang kejujuran.

Kita lihat, pendidikan karakter hari ini patut diapresiasi, meski mendapat kritikan sana-sini soal penghapusan PMP dan Pendidikan Moral di bangku pendidikan dasar dan menengah. Meski demikian, pendidikan karakter mesti mendapat tempat di dunia Pendidikan.

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Samani Muchlas dan Hariyanto 2012:52) menyebut Pendidikan Karakter yang bersumber dari Agama, Pancasila, Budaya, dan Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikasi, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab.

Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, hemat penulis, perlu ditanamkan dan dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan kita, terutama nilai kejujuran. Kita tentu tidak berhadap generasi Indonesia hari ini menjadi generasi kebablasan yang hanya menguras dan menghabiskan tenaga, pikiran, waktu dan biaya untuk menyebar hoaks di medsos yang kemudian memicu adanya konflik dan menganggu kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan generasi bangsa yang mampu memanfaatkan medsos untuk membangun kualitas diri, mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan bagi masyarakat luas demi Indonesia cerdas, maju, aman dan damai pada masa yang akan datang. Merdeka!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya