Offside Perppu Covid-19

Melalui Perppu No.1/2020, Pemerintah membentuk jaringan pengaman (safety net) untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas keuangan ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan pendapatan negara serta meningkatnya belanja dan pembiayaan negara akibat penanggulangan Covid-19.
Tak tanggung-tanggung, Perppu No.1/2020 memberikan sebuah garansi bahwa setiap tindakan termasuk keputusan pemerintah terhadap stabilitas keuangan dan pemulihan perekonomian selama penanganan pandemi Covid-19 bukan merupakan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana tersebut pada Pasal 27 ayat (3). Dengan demikian, keputusan pemerintah tidak bisa dimintakkan pertanggungjawaban hukum (liability) apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penanganan pandemi Covid-19.
Perppu No.1/2020 telah memberikan legitimasi kekuasaan yang berlebihan (excessive use of power) kepada pemerintah. Padahal, David Hume telah menukilkan bahwa "hukum selalu membatasi setiap kekuatan yang diberikannya". Inde datae leges be fortior omnia posset yang berarti hukum dibuat, jika tidak, maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas.
Dengan demikian, tidak ada kekuasaan yang absolut. Tetap harus ada check and balance. Bukankah Lord Acton telah mewanti-wanti bahwa "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely".
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu bukan merupakan objek gugatan Peradilan TUN tidaklah masuk akal dan beralasan (kennelijk onredelijk). Bahkan, menimbulkan norma yang tidak terstruktur (instructure problem).
Pertama, secara hirarki perundang-undangan, ketentuan Pasal 27 ayat (3) Perppu No.1/2020 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara bersama kedudukannya sama dihadapan hukum (equality before the law) dan tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Dalil ini berlaku, baik untuk orang biasa maupun pejabat pemerintahan.
Tidak peduli masyarakat biasa atau pejabat negara sekalipun, apabila melakukan kesalahan atau melanggar hukum wajib bertanggungjawab atas perbuatannya sebagaimana postulat hukum een person slechts strafbaar kan zijn terzake van een feit, hetwelk hij heeft begaan (Seseorang dapat dihukum, karena sesuatu peristiwa dan kelakuan yang ia sendiri adakan).
Itulah arti penting dari persamaan di hadapan hukum yang diakui dan dijamin oleh konstitusi tanpa adanya pengecualian. Siapapun dia, tidak boleh ada warga negara yang merasa kebal hukum di Negara Hukum Indonesia.
Kedua, ketentuan Pasal 27 ayat (3) Perppu No.1/2020 bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum administrasi negara, yaitu asas geen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid (tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Artinya, setiap penggunaan kewenangan oleh pejabat pemerintah selalu disertai tanggungjawab.
Secara filsafati, Pemerintah dalam menjalankan jabatannya bisa terdapat penyalahgunaan wewenangnya atau melakukan perbuatan melawan hukum. Setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum dapat dituntut, baik melalui peradilan tata usaha negara maupun peradilan umum.
Dalam hukum administrasi negara (in casu kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 572K/PID/2003), ada dua bentuk pertanggungjawaban hukum pejabat negara terhadap tindakan atau keputusannya, yaitu pertanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban pribadi.
Pertanggungjawaban jabatan adalah pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan pejabat sepanjang atas nama jabatan dan jika ada ganti-rugi, maka dibebankan pada Badan atau APBN/APBD. Apabila terjadi perbuatan sewenang-wenang atau kesalahan administrasi dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan pertanggungjawaban pribadi adalah pertanggungjawaban pejabat atas tindakan amoral, menyalahgunakan situasi, dan perbuatan melawan hukum. Sehingga apabila tindakan itu bermaksud memperkaya diri sendiri atau orang lain dan mengakibatkan kerugian negara, maka dapat dijerat dengan UU Tipikor dan dituntut secara pidana melalui peradilan umum atau peradilan tipikor.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pertangungjawaban tersebut memiliki dua makna, yaitu (1) kewajiban untuk bertanggungjawab atas Undang-Undang yang dilaksanakan dan (2) kewajiban bertangungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dari pengunaan/penyalahgunaan kewenangan tersebut.
Ketiga, keputusan pemerintah dalam keadaan pandemi Covid-19 jika dikaitkan dengan Pasal 49 UU No.5/1986 jo. UU No.9/2004 jo. UU No.51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) terkait keputusan dalam keadaan darurat tidak bisa digugat di Peradilan TUN, harus ditafsirkan secara harmoniserende, yaitu mengubungkan antara satu UU dengan UU lainnya yang saling berkaitan, yakni UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) sebagai landasan hukum keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan.
Keputusan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud Pasal 49 UU PTUN dalam terminologi UU AP adalah diskresi dalam keadaan darurat (in casu Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5)). Tindakan yang dilakukan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Tujuannya adalah memberikan kemanfaatan umum dan berlandaskan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) in casu Pasal 9 ayat (4) UU AP.
Pejabat yang menggunakan diskresi dalam keadaan darurat cukup menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang ditimbulkan, dan menyampaikan laporan secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU AP.
Apabila penggunaan diskresi dalam keadaan darurat terjadi penyimpangan hukum dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sesuai dengan adegium Point d'interet, point d'action, yang berarti barang siapa yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan. Maka keputusan tersebut dapat digugat ke Peradilan TUN, baik terhadap keputusan yang bersifat konkrit, individual, dan final (Pasal 50 UU PTUN), maupun pengujian ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 21 UU AP).
Mahkamah Agung sendiri dalam Yurisprudensi No.534/K/SIP/1973 menyatakan "penilaian faktor sosial dan ekonomi adalah wewenang pemerintah dalam melakukan perbuatan kebijaksanaan penguasa, Pengadilan tidak berwenang meninjaunya, kecuali bila dilampauinya batas kepatutan dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat".
Secara doktriner, Lie Oen Hock menyebutkan hakim melalui peradilan dapat menetapkan sendiri makna ketentuaan UU yang tidak jelas dalam suatu UU dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis, baik recht maupun wetshistoris. Secara normatif, dasar hukumnya adalah Pasal 10 jo. Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman.
Sesuai dengan prinsip due process of law, yang berwenang menguji dan memutus keputusan pemerintah itu kompetensi pengadilan atau bukan adalah Pengadilan itu sendiri, bukan tafsir subjektif pemerintah. Impunitas continuum affectum tribuuit delinquendi (impunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan untuk melakukan kejahatan), impunitas semper ad deteriora inviat (impunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar).
Artikel Lainnya
-
93412/10/2022
-
28119/09/2023
-
141831/03/2020
-
Al Kindi: Muslim yang Menyelaraskan Agama dan Filsafat
621130/04/2022 -
Problematika PJJ dan Dana Desa
196722/08/2020 -
Legal Standing Saksi Testimonium de Auditu dalam Praktik Peradilan Pidana
121006/05/2022