Dilema Antroposentris Terhadap Krisis Iklim

Penulis Lepas
Dilema Antroposentris Terhadap Krisis Iklim 08/12/2021 1208 view Budaya Pixabay.com

Perlu kita sadari kembali, bagaimana dunia ini tak seperti apa dalam pikiran pemilik modal dengan hobi eksploitasi lahan. Dunia memiliki sebab akibat, sehingga manusia mau tak mau dipaksa oleh alam agar prihatin dan memikirkan kembali kelestarian terhadap lingkungan.

Bahasan menarik ketika alam dan lingkungan itu memiliki keterkaitan secara kuat dengan kumpulan manusia di bumi. Bila saja, manusia menilik kembali penyampaian James Lovelock dengan teori Gaia-nya, maka para korporat akan dengan bijak untuk memandang alam.

Nampaknya internalisasi untuk sadar terhadap lingkungan tak juga sepenuhnya dipercayai oleh manusia hari ini. Padahal internalisasi untuk bisa percaya melalui materi dari pengetahuan pendidikan formal, sudah dahulu kita ketahui.

Namun, dinamika terus mengalami perubahan ketika Homo Sapiens dengan perkembangan pemikirannya untuk terus menciptakan sebuah perubahan, dari perspektif lingkungan mengalami paradoksal atas kondisi lingkungan hari ini. Positif dan negatif pastinya.

Manusia terus bertanya, bagaimana selayaknya kita hidup? Apakah kita bebas untuk mengeksploitasi lahan hijau demi kepentingan modernitas atas penilaian infrastruktur dengan kegemilangannya? Atau hanya kekeh pada tradisionalitas dengan mempertahankan keutuhan dan anti kepada perubahan?

Seabrek pertanyaan memantik pelbagai renungan, bagaimana seharusnya manusia itu bersikap untuk mengatasi meledak jumlah manusia, ditambah deforestasi yang di halalkan dengan dalih sebagai hal yang wajar. Modernitas dinilai memaksa untuk menyamaratakan atas sebuah aturan untuk menjadi satu aturan.

Konsep opportunity atas modernitas membuat bimbang para pegiat lingkungan. Ketika sumber daya alam rela untuk dibabat habis untuk diambil sumber daya alamnya, demi kebutuhan pembangunan, alhasil alam murka atas kerakusan umat manusia, seperti banjir bandang dan peningkatan suhu bumi.

Perasaan itu, sebelumnya sudah lama dirasa untuk melestarikan alam lebih baik. Ketika para cendekiawan menuduh iklim sebagai pengaruh konkret atas musnahnya umat manusia karena perubahan iklim 1200 SM. Hal tersebut sebagai sebuah landasan manusia modern menimbang-nimbang kembali atas apa yang dilakukan mereka terhadap alam.

Pengetahuan umat manusia menerangi ruang hidup manusia. Bagi Fransic Bacon (1602) pengetahuan adalah kuasa bagi manusia dalam menentukan konsep pemikiran dan gerakannya. Tak perlu kaget bila saja timbul pro dan kontra dalam menyikapi dinamika yang sedang terjadi hari ini.

Pengetahuan dan kekuasaan adalah harapan dan dilema ketika sebuah keberpihakan luput dari ruh seorang berilmu. Pembabatan lahan berhektar-hektar bukanlah tanpa dasar. Mereka memiliki seabrek keilmuan untuk membabat dan membangun berhektar tanpa keberpihakan pada kaum papa.

Salah satu novel fenomenal gubahan Jostein Garder berjudul World of Anna (2015). Annna selalu bertanya mengenai alam semesta dengan lawan bicaranya di buku, sebagai pengingat kita, bagaimana alam semesta memiliki keterkaitan luar biasa, dan kita pun tak bisa menafikan proses-proses tersebut.

Dalam novel tersebut, pernyataan menohok Nova ketika Anna memandang lamunannya, Nova menyampaikan, “Minyak bumi telah menjadi bencana buat negaraku. Kami menjadi kaya dengan cepat, tapi sekarang kami malah jadi miskin. Bagaimana bisa tetap kaya kalau kami tidak punya negara yang dapat ditinggali?”

Pernyataan Nova begitu menohok, ketika alam dan eksploitasi berlangsung untuk memenuhi modernitas. Ribuan lahan rela dibabat habis digantikan oleh beton dan semen, dengan klaim dapat membawa bangsanya menuju pemberdayaan kemajuan.

Peradaban dunia tak bisa jauh dengan pembabatan lahan. Peningkatan jumlah manusia hari ini, mamaksa manusia semakin banyak menggunakan lahan hijau untuk dibuat suatu tempat tinggal.

Eropa waktu itu, sangat begitu identik dengan pembabatan lahan guna kepentingan industrialisasi. Industrialisasi, menciptakan perubahan begitu besar. Sektor ekonomi dan sosial akan berimbas.

Lynn White pernah mengkritisi bagaimana peranan antroposentrimse dituding sebagai biang kerok kerusakan dan kehancuran ekologi. Manusia sebagai pemimpin di dunia menciptakan distorsi keberpihakan antara ekologi dan nilai kemanusiaan dan alam.

Beberapa pakar memberikan alternatif lain untuk menggunakan konsep analisa berupa biosentrisme dan ekosentrisme. Kedua aspek itu, dirasa dapat mengurasi sifat utilitarian hingga kerakusan umat manusia dalam mengilhami alam. Globalisasi dan modernitas memaksa beberapa negara untuk bersaing menanam beton sebanyak mungkin di tanah subur mereka.

Nampaknya antroposentrisme dengan tolak ukuran manusia sebagai subyek utama, memengaruhi beberapa dampak salah satunya legalisasi eksplotasi lahan untuk kepentingan manusia. Penggundulan hutan di belantara pulau Kalimantan, hingga Papua menjadi renungan bagi umat manusia.

Manusia diciptakan dengan kemampuan penalaran melalui akal dan kalbunya. Antroposentrisme bila dijadikan sebagai dasar analisis, maka pembabatan lahan deforestasi halal untuk dilakukan dengan dalih, manusia terus berkembang dan membengkak.

Konsep deep ecology penting untuk dipahami manusi hari ini. Deep ecology menegaskan secara gamblang bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bersanding dengan makhluk hidup lain, serta manusia secara mutlak bergantung pada makhluk ciptaan lainnya.

Etika tidak hanya difokuskan kepada hubungan manusia dengan manusia saja, akan tetapi etika kepada alam juga perlu dibentuk sebagai landasan dasar manusia untuk bertingkah menghargai alam dengan bijaksana. Kerakusan umat manusia kepada alam dikarenakan sebuah pamahaman mengenai biota dan lingkungan yang tak begitu kuat.

Aldo Leopold dalam land ethic (etika bumi) menekankan bahwa manusia dan makhluk seisinya adalah bagian dari komunitas alam sehingga tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika di kepala manusia hanya terlintas pada uang dan nilai lebih, konsep keindahan, keutuhan, dan stabilitas seluruh komunitas kehidupan akan beresiko terdampak krisis.

Maka, perlu ada sebuah kesepahaman bersama, bahwasannya nalar kritis terhadap lingkungan, perlu untuk digaungkan dengan alasan sebagai alarm bila terjadi kesewenang-wenangan manusia dalam memandang lingkungan sebagai obyek semata.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya