Demonstrasi, Provokasi, dan Krisis Nalar Publik dalam Dinamika Demokrasi Indonesia

Sebagai mahasiswa filsafat, ketika menatap realitas sosial-politik di Indonesia, khususnya peristiwa demonstrasi yang meletup pada 25 Agustus 2025 yang lau, saya tidak hanya melihat sekadar massa yang berkumpul, melainkan membaca gejala yang lebih dalam: krisis nalar publik, kerapuhan kepercayaan, dan pertarungan antara aspirasi tulus dengan manipulasi kuasa.
Analisis ini saya bangun bukan dari ruang hampa. Data saya peroleh dari berbagai sumber di media sosial dan kanal opini publik. Dari akun TikTok dan Instagram, saya menemukan banyak unggahan yang menarasikan jalannya demo, mulai dari potongan video lapangan hingga komentar warga net yang mengungkapkan keresahan. Misalnya, sejumlah postingan memperlihatkan bagaimana massa terbagi antara kelompok yang benar-benar ingin menyampaikan aspirasi dan kelompok yang hanya ikut-ikutan dalam arus provokasi.
Lebih jauh, saya juga mencatat pandangan dari para pengamat politik yang aktif di ruang digital. Salah satunya adalah Ferry Irwandi, yang melalui analisisnya menegaskan bahwa pada 25 Agustus 2025 tidak terlihat keterlibatan signifikan mahasiswa atau masyarakat sipil. Menurutnya, yang dominan justru kelompok-kelompok yang sengaja memanaskan situasi, tanpa persiapan logistik yang biasanya melekat pada aksi massa murni. Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa ada provokator yang memang diarahkan untuk menimbulkan kericuhan.
Selain itu, dari konten-konten yang viral di TikTok, saya menemukan isu lain yang berkembang, yakni kemarahan kelompok ojek online setelah melihat kabar bahwa Affan Kurniawan, salah seorang dari mereka, meninggal tertabrak kendaraan Brimob. Narasi ini kemudian menjadi bahan bakar emosional yang memicu massa lain bergerak menuju DPR.
Tak berhenti di situ, Instagram politikus dan pengamat lain juga menjadi bahan riset saya. Dari sana saya mendapati daftar 18 tuntutan yang tersebar di beberapa unggahan, mulai dari menolak RUU TNI, menurunkan tunjangan DPR, hingga isu-isu keadilan sosial lainnya. Informasi-informasi ini memperlihatkan betapa beragamnya motif yang hadir dalam demonstrasi tersebut, sehingga mudah sekali dimanfaatkan oleh oknum provokator.
Dengan demikian, refleksi saya sebagai mahasiswa filsafat tetap berpijak pada kenyataan yang saya gali dari ruang digital: media sosial seperti TikTok dan Instagram, serta opini para penganalisis politik. Justru di titik inilah saya melihat problem mendasar bangsa kita: suara rakyat yang seharusnya jernih dan terorganisir seringkali dibelokkan oleh narasi provokasi yang lebih cepat menyebar di media sosial.
Problem Mendasar: Ketidakjelasan Substansi dan Kerentanan Kolektif
Masalah utama dari demonstrasi kali ini ialah kaburnya garis antara aspirasi murni dengan provokasi terorganisir. Dari berbagai laporan, sebagian massa turun dengan tuntutan jelas, seperti RUU TNI, tunjangan DPR, hingga isu kematian Affan Kurniawan. Namun di sisi lain, ada infiltrasi provokator yang menggeser makna demonstrasi dari ruang artikulasi aspirasi menjadi panggung anarki: pembakaran, penjarahan, hingga penyerangan simbol-simbol pejabat.
Di sini, problem mendasar yang dapat kita tangkap adalah kerentanan kolektif bangsa terhadap manipulasi narasi. Demonstrasi yang seharusnya menjadi arena deliberasi publik (musyawarah jalanan dalam demokrasi) justru dibajak oleh agenda-agenda tersembunyi. Hal ini menandakan lemahnya struktur kepercayaan antara rakyat dan negara, serta minimnya kanal aspirasi yang sehat.
Benang Merah: Kepercayaan yang Runtuh
Jika ditarik benang merah, fenomena demonstrasi 25 Agustus 2025 ini sebenarnya mengulang pola lama: krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Hal ini tampak jelas dari narasi publik di media sosial. Dalam berbagai unggahan di TikTok dan Instagram, warganet menyoroti bagaimana DPR tidak lagi dipandang sebagai rumah rakyat, melainkan sebagai simbol elitisme politik yang jauh dari kepentingan publik. Ketidakpercayaan ini diperparah dengan maraknya konten viral yang menunjukkan tindakan aparat bersikap represif—mulai dari penembakan gas air mata secara membabi buta, hingga tuduhan bahwa aparat menembak peluru karet ke arah massa. Tuduhan ini dengan cepat menyebar di jagat digital dan bertransformasi menjadi narasi pelanggaran HAM.
Dalam kaca mata filsafat politik, khususnya teori demokrasi deliberatif yang digagas Jürgen Habermas, situasi ini memperlihatkan jurang yang lebar antara ideal musyawarah yang sehat dan praktik politik realitas Indonesia yang masih sarat kepentingan elitis. Dalam idealitasnya, demokrasi mengandaikan adanya ruang dialog publik yang rasional, di mana setiap warga bisa menyampaikan argumen tanpa takut ditekan. Namun, realitas di lapangan justru memperlihatkan dominasi kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi logika publik, melainkan menutupnya dengan aparat keamanan.
Dengan perspektif filsafat politik, dapat dikatakan bahwa provokasi tumbuh subur karena ada ruang kosong: rakyat tidak percaya pada DPR, tidak percaya pada transparansi hukum, dan merasa tidak punya kanal formal untuk menyampaikan aspirasi. Ketika saluran resmi macet, media sosial mengambil alih sebagai arena pertempuran narasi. Namun di ruang digital itu pula, kebisingan, manipulasi, dan emosi massal mudah diproduksi oleh pihak yang memiliki agenda tertentu.
Usulan Filosofis: Menghidupkan Rasionalitas Publik
Sebagai mahasiswa filsafat, saya berpendapat bahwa solusi terhadap demonstrasi dan konflik negara-rakyat tidak cukup hanya berupa regulasi baru atau penambahan aparat keamanan di jalanan. Itu semua ibarat obat simptomatik: hanya meredakan gejala, tapi tidak menyentuh akar masalah. Yang lebih mendesak ialah pembangunan rasionalitas publik. Masyarakat perlu diperlengkapi dengan daya kritis, sehingga tidak mudah larut dalam provokasi atau manipulasi narasi yang sengaja diproduksi oleh kepentingan tertentu. Hal ini menuntut investasi serius negara dalam pendidikan politik, literasi digital, serta pembiasaan ruang diskusi publik yang sehat, baik di kampus, komunitas warga, maupun platform digital.
Namun, tanggung jawab tidak berhenti di masyarakat. Negara pun harus membenahi kanal aspirasi formal. DPR dan lembaga-lembaga eksekutif harus menghadirkan forum musyawarah publik yang hidup, transparan, dan tidak hanya menjadi ritual formalitas. Forum dengar pendapat, uji publik RUU, hingga platform digital resmi pemerintah seharusnya menjadi ruang yang sungguh-sungguh diakses rakyat, bukan hanya sekadar catatan administratif yang kemudian diabaikan. Di sinilah aktualisasi prinsip demokrasi deliberatif ala Habermas bisa diuji: apakah negara benar-benar mau memberi ruang bagi argumentasi rasional warga, atau hanya mengutamakan bargaining elitis.
Dari sisi aparat keamanan, polisi harus dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai pelindung masyarakat, bukan instrumen penakut. Setiap kali aparat menembakkan peluru,meski peluru karet ke arah rakyat, bukan hanya tubuh manusia yang terluka, tetapi juga legitimasi moral negara yang terkoyak. Jika negara ingin memulihkan kepercayaan, maka paradigma keamanan harus bergeser: dari “mengendalikan massa” ke “mengawal aspirasi”. Polisi tidak boleh lagi dilihat sebagai garis depan kekerasan, melainkan sebagai mediator yang menjamin keamanan warga dalam menyampaikan aspirasi politiknya.
Untuk Indonesia ke depan, solusi yang lebih struktural ialah menguatkan nalar komunikasi antara rakyat dan negara. Tanpa komunikasi yang jujur, setiap aspirasi berpotensi tersumbat dan akhirnya melahirkan anarki di jalanan. Demokrasi yang sehat tidak pernah lahir dari jalanan yang terbakar, tetapi dari ruang dialog yang berani, terbuka, dan rasional.
Di sisi lain, saya mengusulkan agar negara mulai membangun ekosistem literasi digital yang kritis. Media sosial tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai kanal hiburan, melainkan sebagai arena politik baru. Maka, literasi digital bukan sekadar kampanye “bijak bermedsos”, melainkan kemampuan membaca provokasi, mengenali framing, dan memilah aspirasi tulus dari disinformasi. Inilah yang saya sebut sebagai “rasionalitas publik 4.0”kesadaran kritis warga dalam menghadapi banjir informasi.
Perbandingan dengan 1998
Jika dibandingkan dengan demonstrasi 1998, ada perbedaan fundamental. Tahun 1998, mahasiswa dan rakyat memiliki tuntutan tunggal yang jelas: reformasi dan turunnya Soeharto. Terdapat persatuan aspirasi yang kokoh, meski dibayar dengan darah.
Sementara pada demo Agustus 2025, kita menyaksikan fragmentasi tuntutan, dari isu RUU TNI, tunjangan DPR, hingga kasus kematian individu. Fragmentasi ini membuka celah bagi provokator untuk menyusup. Jika 1998 adalah “revolusi konsensus”, maka 2025 lebih mirip “kekacauan narasi” yang kehilangan satu titik pijakan.
Ahkirnya, sebagai mahasiswa filsafat , saya melihat demo 25 Agustus 2025 yang lalu bukan sekadar letupan emosional, melainkan tanda bahwa bangsa ini masih berada dalam transisi demokrasi yang rapuh. Problem mendasar ada pada krisis kepercayaan dan lemahnya kanal dialog. Benang merahnya adalah jatuhnya wibawa negara di mata rakyat, yang membuka ruang bagi provokasi dan anarki.
Artikel Lainnya
-
41804/01/2025
-
92326/03/2022
-
185218/03/2020
-
Catatan Redaksi: Simalakama Kebijakan Larangan Mudik
231811/04/2021 -
Physical Distance, Yes! Emotional Distance, No!
242725/04/2020 -
Ambruknya Iman Manusia Pada Modernitas Pasca Korona
328525/04/2020